Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.7
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Revisi UU TNI: Bahaya Laten Dwi Fungsi ABRI dan Pentingnya Supremasi Sipil
18 Maret 2025 12:38 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Irsad Ade Irawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang saat ini sedang dibahas menimbulkan berbagai kritik dari kalangan akademisi, aktivis demokrasi, dan masyarakat sipil. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi kembalinya praktik Dwi Fungsi ABRI yang bertentangan dengan semangat reformasi 1998. Penguatan supremasi sipil atas militer menjadi kunci dalam menjaga demokrasi agar tidak kembali ke era otoritarianisme. Sejarah mencatat bahwa supremasi sipil yang kuat mampu mencegah intervensi militer dalam politik, sebagaimana terlihat dalam sistem demokrasi yang berkembang di berbagai negara.
ADVERTISEMENT
Kritik terhadap Revisi UU TNI
Revisi UU TNI yang diusulkan mencakup beberapa poin kontroversial, seperti memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil. Hal ini bertentangan dengan amanat reformasi yang memisahkan peran militer dari urusan sipil. Selain itu, revisi ini berpotensi membuka kembali ruang bagi militer untuk berperan dalam politik dan administrasi negara, yang dapat mengancam supremasi sipil.
Dalam revisi UU TNI, terdapat beberapa pasal yang dianggap berbahaya oleh berbagai kelompok masyarakat sipil dan aktivis pro demokrasi . Berikut adalah pasal-pasal yang menjadi sorotan;
1. Pasal 7 Ayat 2
• Pasal ini mengatur kewenangan TNI dalam operasi militer selain perang. Terdapat penambahan fungsi pengawasan dan perbantuan TNI dalam berbagai bidang, termasuk ruang siber, penanggulangan narkotika, serta perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan kepentingan nasional di luar negeri. Perluasan tugas ini dianggap dapat mengarah pada militerisasi yang berlebihan dan mengurangi fokus TNI sebagai alat pertahanan negara.
ADVERTISEMENT
2. Pasal 47
• Pasal ini berkaitan dengan penempatan prajurit aktif TNI di jabatan sipil. Dalam revisi, cakupan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit diperluas dari sebelumnya 10 kementerian atau lembaga menjadi 15, termasuk Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal ini dikhawatirkan akan mengembalikan dwifungsi ABRI, di mana militer terlibat dalam urusan sipil.
3. Pasal 53
• Pasal ini mengatur batas usia pensiun prajurit TNI, yang direncanakan akan diperpanjang hingga 62 tahun. Langkah ini dianggap dapat menyebabkan penumpukan perwira non-job dan mempengaruhi kualitas kinerja lembaga negara, karena banyak perwira akan ditempatkan di posisi sipil yang tidak sesuai dengan fungsi mereka.
Kritik terhadap pasal-pasal ini mencerminkan kekhawatiran bahwa revisi UU TNI dapat membawa kembali praktik militerisme dan melemahkan prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia. Reformasi 1998 telah menghasilkan pemisahan antara TNI dan Polri, serta pembatasan militer hanya pada pertahanan negara. Namun, usulan revisi ini justru berpotensi mengaburkan batas tersebut dan menghidupkan kembali praktik lama di mana militer memiliki peran dominan dalam berbagai aspek pemerintahan. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip demokrasi yang mengedepankan kontrol sipil atas institusi militer.
ADVERTISEMENT
Bahaya Laten Dwi Fungsi ABRI
Dwi Fungsi ABRI adalah doktrin yang memungkinkan militer berperan dalam pertahanan dan pemerintahan sipil. Dalam praktiknya, doktrin ini menciptakan militer yang terlalu dominan dalam kehidupan politik dan ekonomi. Pada era Orde Baru, peran militer dalam birokrasi menghambat demokrasi, meredam kebebasan sipil, dan sering kali digunakan sebagai alat represi terhadap oposisi politik.
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa ketika militer memiliki peran ganda, akuntabilitas dan profesionalisme mereka menjadi lemah. Misalnya, selama Orde Baru, banyak posisi penting di pemerintahan diisi oleh perwira militer aktif, yang mengurangi efektivitas pengawasan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Dengan demikian, upaya untuk menghidupkan kembali praktik serupa melalui revisi UU TNI sangat berbahaya bagi demokrasi Indonesia.
Perbandingan dengan Negara Lain
ADVERTISEMENT
Beberapa negara telah menunjukkan bahwa supremasi sipil yang kuat atas militer adalah kunci dalam menjaga demokrasi. Misalnya, di Amerika Serikat, konstitusi dengan tegas menempatkan militer di bawah kontrol sipil. Presiden sebagai pemimpin sipil memiliki wewenang penuh atas militer, dan militer tidak boleh terlibat dalam urusan politik domestik. Selain itu, kebijakan seperti Undang-Undang Posse Comitatus melarang penggunaan militer dalam tugas penegakan hukum domestik, kecuali dalam keadaan darurat yang sangat khusus.
Sebaliknya, negara-negara yang gagal dalam menegakkan supremasi sipil sering kali mengalami ketidakstabilan politik. Thailand, misalnya, menghadapi intervensi militer yang berulang kali menggulingkan pemerintahan sipil melalui kudeta. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa supremasi sipil yang kuat, militer dapat dengan mudah mengambil alih kekuasaan dan menghambat perkembangan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Revisi UU TNI yang memungkinkan keterlibatan militer dalam jabatan sipil bertentangan dengan semangat reformasi dan berpotensi menghidupkan kembali praktik Dwi Fungsi ABRI yang telah merugikan demokrasi di masa lalu. Supremasi sipil atas militer adalah prinsip fundamental dalam demokrasi yang harus dijaga agar militer tetap profesional dan tidak terlibat dalam politik. Belajar dari pengalaman negara lain, Indonesia harus tetap berkomitmen pada prinsip ini untuk memastikan bahwa demokrasi tetap berjalan dengan sehat dan stabil.