Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Sang Proklamator, Sukarno
16 Agustus 2017 14:41 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari Ir. Sukarno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kepada Amerika, ia lantang berujar: “Kita seterika!”. Terhadap Inggris, ia berseru: “Kita linggis!”. Sementara kepada Malaysia, ia juga menabuh genderang perang: “Kita ganyang!”.
ADVERTISEMENT
Sukarno memang piawai berorasi. Ketika di podium, ia menjadi singa yang dapat membakar amarah massa rakyat terhadap kesewenang-wenangan kolonial. Kecanggihannya dalam berdiplomasi juga luar biasa.
Tak hanya soal kepemimpinan, kisah Sukarno tentang kebiasaannya mendekati perempuan juga berlimpah. Kala masih berusia 14 tahun, Sukarno tak sungkan untuk mendekati noni-noni muda Belanda. Perbedaan warna kulit tak menjadi aral baginya, yang penting taksir dulu, ditolak belakangan.
Baginya, dekat dengan noni-noni Belanda tersebut penting untuk mengerdilkan sifat inferioritas dirinya. Diplomasi ranjang, bisalah kita sebut demikian.
“Hanya inilah satu-satunya jalan yang kuketahui untuk memperoleh keunggulan terhadap bangsa kulit putih,” kata Sukarno kepada Cindy Adams dalam Sukarno: An Autobiography as told to Cindy Adams (1965). Adapun beberapa nama noni ia dekati antara lain adalah Rika Melhusyen, Pauline Gobe, Laura Kraat, dan Mien Hessel’s.
ADVERTISEMENT
Sukarno seperti dianugerahi segala sifat untuk menjadi pemimpin. Perawakan yang gagah, otak yang cerdas, dan nakal pula dalam “berdiplomasi”. Hanya saja, seiring namanya mewangi, Sukarno justru menjadi gelap mata karena kekuasaan. Ia bahkan sempat memenjarakan beberapa rekan yang dulu berjuang bersamanya.
Sutan Sjahrir, misalnya, dijatuhi hukuman penjara karena bersebrangan pandangan politik dengan Sukarno. Pun demikian dengan Mohammad Natsir, yang menolak keras ide Nasakom Sukarno, juga dipenjara. BM Dyah, HB Jassin, Buya Hamka, Muchtar Lubis, bahkan Mohammad Hatta, tandem sejatinya, juga diperlakukan sama: dipenjara hanya karena mengkritik ide Sukarno.
Kisah tentang Sukarno memang tidak selamanya ideal. Akan tetapi, ingatan tentangnya tak akan dapat dilupakan bangsa ini. Tidak bisa tidak, dialah Bapak Proklamator Indonesia.
ADVERTISEMENT