Heinrich Boie, Calamaria dan Ular Surapari

Irvan Sidik
Peneliti Herpetofauna Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi-BRIN
Konten dari Pengguna
6 Mei 2024 15:15 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irvan Sidik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Riwayat Heinrich Boie

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam paper yang ditulis oleh Fransen, Holthuis & Adema (1997) mengenai biografi para kolektor fauna untuk Museum Leiden sebelum tahun 1900, salah satunya adalah Heinrich Boie yang banyak andil terhadap sejarah penamaan spesies ular di Indonesia. Heinrich Boie, zoologiwan berkebangsaan jerman lahir pada 4 Mei 1794 di Meldorf, sebuah kota kecil dalam wilayah Schleswig-Holstein. Nama Heinrich Boie (selanjutnya, disingkat H. Boie) tidak lepas dari pemberian nama ular yaitu Calamaria, genus ular ini pertama kali tertuang dalam catatan lapangan yang masih ditulis tangan oleh H. Boie dalam bentuk surat-surat yang dikirimkan kepada Friedich Boie (adiknya). Kelak semua catatan lapangan H. Boie mengenai hasil penelaahan spesimen ular yang dikumpulkannya disusun kembali menjadi manuskrip oleh Friedich Boie untuk diterbitkan pada jurnal Isis von Oken. Selain itu, manuskrip yang belum diterbitkan oleh H. Boie, tentang “Erpetologie de Java” juga masih tersimpan dengan baik di Naturalis Biodiversity Center, Leiden. Oleh karena itu, deskripsi mengenai spesies ular yang merupakan hasil penelaahan Heinrich Boie ditulis sebagai H. Boie in F. Boie.
ADVERTISEMENT
Pada mulanya H. Boie belajar ilmu hukum di Kiel dan Göttingen, akan tetapi ketertarikannya terhadap ilmu kehidupan alam (natural history) semakin tinggi setelah mendengar ceramah yang diutarakan oleh Johann F. Blumenbach dan Friedrich Tiedemann. Dan pada tahun 1817, H. Boie pun telah menjadi kurator koleksi zoologi di Universitas Heidelberg. Ketika pendirian Rijksmuseum van Natuurlijke Historie (RMNH), di Papengracht/Rapenburg, kota Leiden, Belanda pada tahun 1820 (sekarang, di Pesthuis, Leiden dengan nama Naturalis Biodiversity Center), H. Boie diundang oleh Coenraad Jacob Temminck, yang mana direktur museum tersebut menawarkan jabatan sebagai kurator vertebrata dan langsung diterimanya. Selang setahun kemudian tepatnya 19 Juni 1821, H. Boie pun diangkat pada posisi tersebut dan ditunjuk sebagai asisten C.J. Temminck. Setelah meninggalnya dua orang zoologiwan yang banyak berjasa terhadap dunia herpetofauna di Indonesia dan terbilang masih sangat muda yaitu, Heinrich Kuhl berkebangsaan Jerman (17 September 1797-14 September 1821) dan Johan Conrad van Hasselt berkebangsaan Belanda (24 Juni 1797-8 September 1823) di Buitenzorg (sekarang, Bogor), keanggotaan the Natuurkundige Kommissie, suatu komisi bergengsi yang berkaitan dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam disodorkan kepada H. Boie. Kesempatan ini memberikan peluang yang berharga baginya untuk mempelajari sejarah alam (fauna) dari kawasan East Indies (Hindia Belanda), dimana saat itu termasuk koloni Belanda dengan wilayah yang sebagian besar terdiri dari Kepulauan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 29 November 1825, H. Boie bersama dua ahli naturalis lainnya yaitu Salomon Müller dan Heinrich Christian Macklot, dikirim ke Hindia Belanda oleh C.J. Temminck dalam rangka ekspedisi mengumpulkan spesimen untuk RMNH sebagai bagian dari Natuurkundige Kommissie (Komisi Ilmu Pengetahuan Alam) dan tiba di Batavia (sekarang, Jakarta ) pada tanggal 6 Juni 1826. Kebanyakan spesimen yang dikumpulkan oleh H. Boie adalah fauna ular dari daerah Jawa Barat, seperti halnya Heinrich Kuhl dan J.C. van Hasselt, kesehatan H. Boie tidak cukup bisa bertahan lama terhadap iklim tanah Jawa, dia pun akhirnya menyerah dan meninggal pada tanggal 4 September 1827, dalam usia 33 tahun akibat terserang malaria dan sakit pada organ empedunya. H. Boie kemudian dimakamkan di kompleks makam kuno di dalam areal Kebun Raya Bogor. Namun demikian, setelah hanya sedikit lebih dari satu tahun, 16 bulan, waktu yang dihabiskannya di Jawa, H. Boie mengumpulkan banyak spesimen dan menelaah pekerjaan taksonominya secara menakjubkan, yang kemudian spesimen-spesimen tersebut dikirim ke Belanda untuk koleksi RMNH.
ADVERTISEMENT

Calamaria dan Surapari

Deskripsi ular Calamaria yang ditulis oleh H. Boie didasarkan atas spesimen Calamaria linnaei dari Pulau Jawa (Jawa Barat), selanjutnya lokasi penemuan spesimen dipakai sebagai rujukan untuk spesies tipe (type species) dan Jawa digunakan sebagai rujukan untuk lokasi tipe (type locality) dari spesimen tersebut. Pengelompokan ular Calamaria di Indonesia secara komprehensif sudah ditulis oleh Neely De Rooij (1917) dalam bukunya yang fenomenal berjudul “The Reptiles of Indo-Australian Archipelago II: Ophidia” lengkap dengan kunci identifikasinya saat itu. Sampai saat ini masih banyak orang yang tidak mengetahui nama lokal ular Calamaria, tetapi dalam buku De Rooij sebenarnya telah disebut dengan kata “Surapari”. Adapun pemberian nama lokal yang biasa orang pribumi daerah Jawa Barat saat jaman kolonial (Belanda) jika menemukan atau melihat ular tersebut adalah “surapari” atau bahasa sundanya oray leuleus (oray = ular dan leuleus = lemas). Hal ini sesuai dengan kondisi tubuhnya yang lemah, lentur dan memiliki sifat pemalu tidak berperilaku agresif seperti ular-ular lainnya (kobra, sanca, dll).
ADVERTISEMENT
Ular surapari (Calamaria) memiliki karakter spesifik yang tidak terdapat pada spesies ular pada umumnya, dari ujung moncong sampai pangkal ekor berukuran sama lebarnya, badannya tergolong “Gilig” yaitu berbentuk silinder dan membulat. Ukuran kepalanya kecil tidak dapat dibedakan dengan bagian leher dan lebih memipih, karena terbiasa untuk menyelusupkan diri dengan kepalanya ke dalam tanah yang gembur (Gambar 1). Kepala yang memipih tersebut telah bermodifikasi sebagai ular yang mempunyai relung habitat di dalam tanah (burrowing snakes). Matanya kecil, ciri khas ular yang lebih sering ditemukan saat hari menjelang gelap atau beraktifitas malam hari (nocturnal). Demikian pula, lubang hidungnya terbilang berukuran amat kecil, sehingga seolah-olah tidak memiliki lubang hidung. Badan hingga bagian ekornya berbentuk silinder yang diselubungi oleh sisik-sisik amat halus. Ekornya berbentuk lancip atau tumpul, berukuran amat pendek jika dibandingkan dengan panjang badannya. Warna tubuhnya akan menarik untuk dilihat, seolah berpendar cemerlang seperti warna pelangi jika terpantul oleh sorot cahaya. Ular Surapari tergolong ular yang tidak berbahaya dan tidak berbisa, karena tidak memiliki gigi taring dan kelenjar bisa. Keunikan lain yaitu jika dihitung secara melintang pada semua bagian manapun tubuhnya, sisik-sisiknya dari belakang kepala sampai ujung badan sebelum celah anus berjumlah 13 sisik.
Gambar 1. Bentuk tubuh ular surapari (sumber foto: Irvan Sidik).