Menilik Konsep Demokrasi dalam Ragam Kehidupan Kampus

Irvan Ulvatur Rohman
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Ponorogo
Konten dari Pengguna
18 Oktober 2021 17:05 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irvan Ulvatur Rohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jika berbincang mengenai dunia perguruan tinggi, kiranya tidak ada pembicaraan yang memang benar-benar berujung. Pasalnya, seperti yang sering tergaung dalam berbagai dimensi--kampus sebagai ladang pencetak generasi intelektual, kiranya memiliki beberapa privilege yang tidak main-main. Sebagai contoh, mahasiswa sebagai pelajar yang berproses pada perguruan tinggi, acapkali disematkan sebagai agent of change dan agent of social control .
ADVERTISEMENT
Memang hal tersebut tidak salah, mengingat seperti tilikan dari Arief Budiman yang mengatakan bahwa mahasiswa merupakan kelompok termuda dalam jajaran cendekiawan. Artinya, mahasiswa tidak hanya punya kewajiban insidental untuk kemudian menyelesaikan program studinya, sungguh bukan hanya itu! Melainkan mahasiswa juga punya kaidah formal untuk menjadi agen perubahan sosial, hadir di tengah-tengah kemelut problematika sosial, dan urun daya guna mengentaskannya.
Maka tidak heran bilamana terdapat ungkapan menarik yang juga menjadi cikal bakal dari tema tulisan pada kesempatan kali ini. Yakni kampus sebagai miniatur negara, lantas bagaimana sebenarnya konsep dari kampus sebagai miniatur negara? Apakah bisa kampus menginternalisasikan prinsip-prinsip kenegaraan secara ideal? Atau jangan-jangan hanya sekadar klise demi mendulang nama baik almamater itu sendiri?
ADVERTISEMENT
Pertama, dan yang paling utama untuk sama – sama kita telaah adalah objek yang terdapat dalam sisi kampus dapatlah dipersepsikan sebagai organ-organ yang akan melanjutkan titah generasi bangsa ini, ya tidak lain dan tidak bukan, mereka disebut sebagai mahasiswa. Seperti yang telah tergambarkan di awal, bahwa tugas mahasiswa bukan hanya menyelesaikan fungsi akademisnya semata, melainkan punya fungsi autentik untuk menjadi motor perubahan sosial.
Bagaimana jadinya, jika mahasiswa tidak punya instrumen yang berlandaskan pada nilai representatif kondisi negara jika di kampus saja tidak pernah diinternalisasikan? Kedua, untuk mengkaji secara lebih mendalam--dalam negara kita sendiri, yakni Indonesia yang dengan bangga menerapkan sistem demokrasi pada dimensi politik kenegaraan. Barangkali, hal inilah yang menjadi inisiasi berdirinya lembaga-lembaga instrumental di negara, yang oleh teori Montesquieu dikenal dengan tiga pembagian kekuasaan ; legislatif, yudikatif, dan eksekutif.
ADVERTISEMENT
Ternyata, di dunia kampus saat ini, juga demikian terdapat pola yang membagi kekuasaan menjadi tiga, di mana eksekutif dipegang oleh Badan Eksekutif Mahasiswa, legislatif dipegang oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa, dan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Mahasiswa. Meskipun dalam kenyataannya, tidak semua perguruan tinggi dapat mengoptimalkan kekuasaan yudikatif secara holistik. Terlepas dari pembagian kekuasaan, yang perlu diingat adalah sebenarnya seberapa efektifkah penerapan sistem demokrasi yang ada di kampus itu sendiri?
Berapa tingkat partisipasi aktif dari segenap mahasiswa dalam mewujudkan demokrasi di masing – masing kampusnya? Istilah demokrasi sendiri semenjak dahulu kala, yang bila dijewantahkan berasal dari bahasa Yunani demos, berarti rakyat dan kratein, berarti memerintah. Secara tekstual, bila dua kata itu digabungkan, menjadi pemerintahan dari rakyat.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut lagi, dalam tilikan Abraham Lincoln yang menyebut demokrasi sebagai kekuasaan rakyat, kemudian termaktub secara mantap melalui tagline “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Lantas, ketika definisi tersebut diartikan pada tataran perguruan tinggi, apakah konsep dari Abraham Lincoln berubah bunyi menjadi “dari mahasiswa, oleh mahasiswa, dan untuk mahasiswa”. Yang terkonklusikan juga sebagai kekuasaan mahasiswa?
Tentu iya, jika diartikan secara ringkas dan pragmatis. Perlu diingat juga, bahwa dalam dunia kampus terdapat kekuasaan struktural yang diampu oleh para civitas akademika. Artinya, sivitas akademika di sini tidak hanya boleh menjadi agen pasif, melainkan hadir sebagai agen aktif tanpa unsur mengintervensi pembelajaran politik di ranah kemahasiswaan.
Lain lagi, problematika yang menyeruak dewasa ini pada konstelasi kehidupan mahasiswa adalah kurang tertariknya mahasiswa terhadap dinamisasi kehidupan demokratis di kampus. Asumsi ini sebenarnya bukan hanya sekadar praktis belaka, kita melihat bagaimana kecenderungan mahasiswa terhadap stabilisasi politik di perguruan tinggi, cenderung rendah.
ADVERTISEMENT
Apakah ini salah mahasiswa yang bersangkutan? Tentu tidak, sebab semua ini berlandaskan pada sistem yang ada. Berangkat dari titik tersebut, saya hendak meng-highlight suatu teori mengenai demokrasi prosedural dan demokrasi substansial yang dicetuskan oleh Zaprulkhan. Bahwa yang dimaksud dengan demokrasi prosedural dapat tercermin pada ajang regenerasi kepemimpinan di segala sektor yang ada, mulai dari tahap awal sampai dengan terpilihnya seorang pemimpin tersebut. Kalau dikorelasikan pada dunia kampus, maka ajang kontestasi politik berbentuk pemilu dalam proses memilih ketua BEM maupun Pengurus Perwakilan Mahasiswa di lingkup legislatif.
Beda halnya ketika menerjemahkan demokrasi substansial, di mana kehidupan pada suatu sistem atau konstelasi sistem, memang menekankan pada nilai – nilai demokrasi, macam kebebasan berpendapat, musyawarah, dan lain sebagainya. Barang kali, inilah konsensus yang perlu menjadi atensi bersama, kehidupan demokrasi di kampus dapat diwujudkan secara kolektif, manakala tumbuh kesadaran secara kolektif pula.
ADVERTISEMENT
Diperlukan formula – formula bertajuk improvement persuasive dalam menghadapi polemik ini. Barangkali, perlu adanya kerja sama integratif antar komponen – komponen yang ada, baik mahasiswa itu sendiri melalui Organisasi Kemahasiswaan maupun civitas akademik sebagai struktural. Dalam hal ini, organisasi mahasiswa patut memberikan sosialisasi lebih komprehensif lagi, tidak hanya sekadar berhenti pada suksesi program kerja yang sifatnya legal – formal. Malah seharusnya, menjadikan program – program kerja tersebut sebagai instrumen yang dapat menjembatani antara kepentingan inheren mahasiswa secara lebih holistik.
Hendra Nurtjahyo pernah mengonsepsikan sebuah wacana menarik, kira – kira dia menyoroti demokrasi melalui pengertian yang lebih umum dan filosofis. Dalam pengertian tersebut, ide demokrasi adalah suatu prinsip etika yang digunakan dalam bidang politik pemerintahan. Jadi, demokrasi sendiri dianggap memiliki napas substansi etik inheren di dalamnya, sehingga demokrasi tidak hanya menjadi sebuah sistem saja, melainkan terdapat etika dan moral di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Proses belajar pada perguruan tinggi, hendaknya perlu pula menerapkan konsep demokrasi. Bukan hanya terbatas pada kehidupan berorganisasi mahasiwa. Sangat disayangkan, bilamana dosen sebagai pengampu pembelajaran, malah cenderung bersikap otoriter dalam proses belajar. Harus mematuhi peraturan yang ada, tanpa alasan yang jelas pula. Ingat, mahasiswa tidaklah sebatas belajar hal-hal formal yang terlabeli pada setiap mata kuliah. Mahasiswa perlu mendapatkan suplemen pendidikan demokratisasi yang melalui proses-proses musyawarah.
Terakhir, sebagai penutup tak elok rasanya bila segenap mahasiswa dalam kancah perguruan tinggi, melabeli dirinya sebagai kaum cendekiawan. Kemudian tidak ingat atau jangan-jangan tidak lupa terhadap fungsi yang melekat dalam dirinya. Mahasiswa juga bagian dari kelompok masyarakat, mahasiswa akan kembali pada masyarakat, mahasiswa pula akan menjadi pioneer dalam masyarakat itu sendiri. Kalau kata mbak Najwa Sihab, “Ilmu jangan hanya dijadikan objek hafalan. Ilmu itu untuk memahami dan menuntaskan persoalan.”
ADVERTISEMENT
Oleh : Irvan Ulvatur Rohman, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Ponorogo