Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Etika dan Demokrasi Hak Atas Pangan
25 Mei 2024 11:38 WIB
·
waktu baca 7 menitDiperbarui 4 Agustus 2024 9:23 WIB
Tulisan dari Muhammad Irvan Mahmud Asia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pangan adalah kebutuhan esensial bagi setiap orang. Celakanya, tidak semua orang bisa mengakses pangan yang sehat dan bergizi setiap saat, kelaparan masih menjadi momok bagi sebagian warganya. Prevalensi kerawanan pangan di Indonesia tergolong sedang, namun di beberapa daerah, ada yang ekstrim.
ADVERTISEMENT
Bentuk ekstrim yang dimaksud adalah kematian. Selama September-Oktober tahun 2023, 23 orang meninggal dunia di Distrik Amuma Kabupaten Yahukimo Papua Pegunungan. Sementara di Distrik Agandugume dan Distrik Lambewi Kabupaten Puncak Papua Tengah 6 orang meninggal. Fakta ini juga terjadi di daerah lain.
Indonesia termasuk negara dengan tingkat kerentanan kelaparan kategori sedang. Mengacu data Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2017, terdapat 20 juta orang Indonesia yang kurang makan, mereka berangkat tidur dalam keadaan perut lapar. Data Global Hunger Index (GHI) tahun 2023 menempatkan Indonesia tertinggi kedua di Asia Tengggara (setelah Timor Leste) sebagai negara dengan kategori kelaparan “sedang” diangka 17,6. Angka ini membaik dibandingkan rentang 2000-2015 yang tergolong “serius”, dengan skor di atas 20. GHI mengukur tingkat kelaparan dengan mengacu pada 4 indikator: prevalensi kurang gizi; prevalensi anak dengan tinggi badan di bawah rata-rata/kerdil; prevalensi anak dengan berat badan di bawah rata-rata/kurus; dan angka kematian anak.
ADVERTISEMENT
Ini semakin menebalkan indeks ketahanan pangan kita yang sangat rendah. Global Food Security Index (GFSI) tahun 2022 merilis Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 113. GFSI mengukur ketahanan pangan berdasarkan keterjangkauan harga pangan, ketersediaan pasokan, kualitas nutrisi dan keamanan makanan, serta ketahanan sumber daya alam.
Jika tidak ada perubahan, upaya Zero Hunger tahun 2030 dan Indonesia Emas tahun 2045 akan mustahil dicapai. Anak-anak Indonesia tidak bisa bersaing dengan anak-anak dari Thailand, Vietnam, Filipana, Malaysia dan lainnya karena stunting. Anak-anak Indonesia bertumbuh dengan otak yang tidak produktif.
Ini tentu sebuah ironi, mengingat Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya hayati dan dikenal dengan berbagai keanekaragaman pangannya. Tentu ada yang salah dalam tata kelola pangan nasional kita. Lebih luas, akar dari kesalahan tata kelola tersebut bersumber dari praktik demokrasi yang sebatas “prosedural”.
ADVERTISEMENT
Substansi demokrasi dalam praksisnya seperti kekuasaan yang melayani masih jauh dari praktik demokrasi kita. Ini sangat kontras dengan tesis Amartya Sen, pemenang Nobel Ilmu Ekonomi (1998) bahwa dalam negara yang demokrasinya fungsional, maka tidak akan ada kelaparan atau krisis panganNilai demokrasi di Indonesia tidak fungsional sebagai sistem peringatan dini untuk kelaparan dan krisis ketahanan pangan.
Bencana kelaparan adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) karena hak atas pangan yang harusnya diperoleh setiap warga negara sebagaimana dimandatkan konstitusi gagal dilindungi oleh pemerintahan yang berkuasa. Dalam Deklarasi Universal HAM (PBB, 1948) disebutkan pangan masuk sebagai hak fundamental. Pangan diakui sebagai sarana untuk mencapai suatu standar hidup yang layak, yang dengan sendirinya merupakan bagian dari HAM. Deklarasi ini mempunyai nilai etika dan isi yang mengikat bagi negara-negara penandatangan. Selain hak atas pangan, perjanjian ini mengakui hak dasar setiap orang untuk dilindungi dari kelaparan. Sayangnya, dari 142 negara yang menandatangani perjanjian tersebut, progresivitasnya dalam pemenuhan hak-hak tersebut tergantung pada sumber daya ekonomi yang dimiliki masing-masing negara (Prosalus, 2009).
ADVERTISEMENT
Hak atas pangan terkait erat dengan HAM yang paling penting yaitu hak untuk hidup, karena alasan sederhana bahwa tanpa makanan tidak mungkin manusia bisa bertahan. Karena kehidupan bergantung pada makanan, juga bergantung pada pemenuhan hak atas pangan, maka pelanggaran terhadap hak tersebut adalah bukan hanya pelanggaran formal terhadap hukum internasional namun secara etik juga terkategorikan pelanggaran.
Oleh karena itu, elemen etika yang terkait dengan pangan, menjadi terlihat dan dimengerti jika dilihat dari perspektif HAM dan dalam hal ini Borghi dkk (2004) dengan tegas menyatakan hak atas pangan adalah hak yang paling utama dalam HAM yang sensitif dan signifikan secara etis. Kemiskinan dan kelaparan dalam perspektif etika HAM berkaitan dengan etika ekonomi.
ADVERTISEMENT
Saat ini, hal ini lebih sering terlihat adalah pertimbangan etis permasalahan pangan, terutama aspek mengenai produksi dan konsumsi, dalam kerangka praktik berkelanjutan dan pengelolaan yang menjamin keanekaragaman hayati lingkungan dan menghormati adat istiadat dan budaya masing-masing komunitas.
Menyetir Juan Fernando Marrero Castro dan María José Iciarte García (2021) bahwa etika yang mendasari demokrasi adalah kebebasan yang menyiratkan pengetahuan mendalam tentang apa artinya menjadi manusia, pengakuan terhadap orang lain, dan mengistimewakan hubungan antar sesama manusia di atas barang atau benda. Ini akan menjadi klaim etis yang harus dilakukan oleh negara manapun, betapapun buruknya negara tersebut, karena tuntutan ini tidak bergantung pada sumber daya tetapi pada prinsip dan cara mengatur kehidupan sosial. Individu dengan segala tuntutan sosialnya sangat bergantung pada ekonomi.
ADVERTISEMENT
Etika memberikan tuntutan yang kuat pada perekonomian, karena ia bertindak sebagai rem sejauh ia dapat membedakan antara aktivitas yang sah dan yang terlarang dan menyensor bentuk-bentuk tertentu dari distribusi kekayaan sejauh itu menciptakan rasa malu bahwa kegiatan ekonomi yang menimbulkan seperti polusi udara atau kemiskinan harus dihindari. Oleh karena itu, etika tanpa kegiatan perekonomian tidak mampu melaksanakan tuntutan yang diinginkannya.
Karenan pangan adalah HAM, maka setiap warga negara berhak mengajukan tuntutan dan protes pada pemerintah. Jika institusional demokrasi serta supremasi hukum makin layu dan urusan pangan hanya dianggap perkara sepele, sulit untuk melihat persoalan kelaparan dan krisis pangan teratasi. Dalam konteks inilah seperti kata Amartya Sen hanya sistem yang bekerja paling baiklah yang bisa membenahi masalah.
ADVERTISEMENT
Presiden terpilih Prabowo Subianto setelah dilantik pada Oktober 2024 tidak melakukan perubahan radikal baik paradigma, kebijakan, personalia, tidak membuka diri terhadap penghormatan dan esensi kebebasan HAM, maka pemenuhan hak atas pangan, dan berbagai peristiwa kelaparan akan terus berlanjut.
Pemerintahan mendatang harus memahami betul, hak pangan yang cukup tidak boleh disamakan dengan tugas kesejahteraan negara, namun harus dipahami bahwa negara berkewajiban memastikan tidak ada seorang pun yang menderita kelaparan; menyediakan makanan yang cukup, aman dan bergizi bagi yang tidak mampu; mencegah segala bentuk diskriminasi dalam akses terhadap pangan atau sumber daya yang digunakan untuk memproduksinya, seperti tanah (lahan), pupuk yang mudah didapatkan saat musim tanam, benih yang berkualitas, ketersediaan air yang memadai, alsintan yang tepat guna, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, konsumen kelas menengah kebawah dihimpit dengan kenaikan bahan pokok. Hampir semua, jika tak semuanya harga sembako terus merangkak naik dalam 2 tahun terakhir yang membuat warga kesulitan untuk mengakses pangan dalam jumlah yang cukup sepanjang waktu.
Amartya Sen (1981) dalam bukunya “Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation” menjelaskan bahwa fenomena kelaparan atau krisis pangan terjadi akibat ketidakseimbangan mekanis antara produksi pangan dan jumlah penduduk. Fakta ini bahkan bisa terjadi bersamaan dengan pangan yang berlimpah namun individu dan keluarga kehilangan daya beli untuk membeli pangan.
Tesis ini sejalan dengan penegasan FAO (1996) bahwa sekalipun ada pasokan makanan yang cukup, masih banyak orang mengalami kerawanan pangan karena tidak mempunyai pendapatan yang cukup untuk membeli makanan yang mereka butuhkan atau kekurangan sumber daya untuk berproduksi atau sehingga tidak dapat menjalani hidup dengan sehat. Oleh karena itu, pencegahan kelaparan sangat bergantung pada mekanisme politik yang ada untuk melindungi hak-hak individu dan keluarga. Tindakan apapun yang berkontribusi terhadap peningkatan produksi, diversifikasi dan pertumbuhan tidak akan mengurangi orang yang kelaparan manakala hak-hak ekonomi yang harus dijamin oleh negara seperti penciptaan lapangan kerja dengan upah yang layak tidak dilakukan. Di sinilah letak peranannya demokrasi sebagai suatu sistem politik dan rancangan kebijakan yang pro pada pemberantasan kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, jika ada kritik, terutama dari petani yang lahannya diserobot atau diambil paksa oleh kekuatan-kekuatan tertentu, pemerintah harus melakukan perbaikan atas kritik, bukan respon dengan kekerasan dan pemenjaraan. Lebih spesifik, praktik kriminalisasi atas kritik dari petani diakomodasi untuk pelaksanaan kekuasaan otokratis. Inilah kemerosotan penegakan hukum terjadi secara bersamaan dengan serangkaian kebijakan makro ekonomi dan pertanian pangan yang salah, mulai dari upaya untuk meningkatkan produksi pangan, distribusi, sistem pasokan dan konsumsi, telah menyebabkan memburuknya ketersediaan pangan, kerawanan pangan.
Dalam konteks inilah, pemerintahan Prabowo Subianto yang akan datang tetap membutuhkan kekuatan penyeimbang--oposisi. Oposisi sangat diperlukan baik dari partai maupun kekuatan-kekuatan masyarakat sipil sebagai mekanisme checks and balances atas eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan.
ADVERTISEMENT