Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mendesaknya Implementasi Ekonomi Hijau di Indonesia
18 Maret 2024 15:15 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Muhammad Irvan Mahmud Asia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masa depan planet bumi akan ditentukan sejauh mana orientasi pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia tidak lagi didasarkan pada eksploitasi bumi. Sejak revolusi industri hingga kini, eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang tak terbarukan terus berlangsung, dan dampaknya sumber daya lingkungan semakin memburuk.
ADVERTISEMENT
Atas nama pembangunan ekonomi, hutan dibabat, mineral dan batu bara dikeruk tanmpa henti, laut di cemari dan sebagainya. Eksploitasi ini, alih-alih tercipta pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, yang terjadi adalah pertumbuhan ekonomi yang timpang, antara Barat dan Timur, antara kelas kapitalis dan rakyat kecil, dan seterusnya.
Eksploitasi alam hanya dinikmati sekelompok kelas. Namun bencananya dinikmati oleh semua orang terutama kelas menengah kebawah. Mulai bencana hidrometereologi, pencemaran udara, tanah yang tandus, dan sebagainya. Korbannya - paling terdampak adalah rakyat kecil. Sunggu tidak adil.
Fenomena pemanasan global, perubahan iklim telah membuat pengambil kebijakan – pemerintah Indonesia, menyadari paradigma pembangunan ekonomi harus diubah dan kesadaran ini secara global sebenarnya sudah mulai muncul sejak lama. Namun tidak diikuti dengan kebijakan perubahan konkrit.
ADVERTISEMENT
Barulah di abad 21, mulai dikembangkan konsep pembangunan berkelanjutan yakni suatu pembangunan rendah karbon yang berorientasi pada pertumbuhan hijau. Dalam pertumbuhan tersebut, ekonomi yang harus dijalankan adalah Ekonomi Hijau (Green Economy), selanjutnya disingkat GE. Pembangunan berkelanjutan dimaknai sebagai suatu pembangunan yang sesuai kebutuhan dan tetap memberikan jaminan bagi generasi selanjutnya dalam pemenuhan kebutuhan.
Konsep GE adalah pendekatan yang lebih terintegrasi dan komprehensif dalam pembangunan ekonomi dengan menggabungkan faktor sosial dan lingkungan, untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, mengutip Armand Kasztelan (2017) dalam tulisannya Green Growth, Green Economy and Sustainable Development: Terminological and Relational Discourse bahwa pertumbuhan ekonomi yang dikehendaki adalah suatu pertumbuhan hijau yakni berkontribusi terhadap penggunaan modal alam secara bertanggung jawab, mencegah dan mengurangi polusi, dan menciptakan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan sosial secara keseluruhan dan akhirnya memungkinkan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
GE akan mengubah struktur ekonomi yang tidak berkelanjutan ke arah yang konsisten dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Mencapai pembangunan hijau berkelanjutan membutuhkan efisiensi produksi, efisiensi energi, energi terbarukan, material baru, dan teknologi baru. Pembangunan berkelanjutan memberikan konteks penting bagi pertumbuhan hijau dan GE (lihat Matthew N. O. Sadiku, at al. 2019. Green Growth. p, 83.)
Awal Mula
Istilah ekonomi hijau pertama kali diperkenalkan pada tahun 1989 oleh sekelompok ekonom lingkungan terkemuka Inggris dalam sebuah laporan berjudul “Blueprint for a Green Economy” yang ditujukan pada pemerintah Inggris. Laporan tersebut menyarankan bahwa pembangunan berkelanjutan dan dampak dari pembangunan berkelanjutan berfungsi sebagai pengukuran kemajuan ekonomi, penilaian proyek, dan kebijakan yang dilakukan pemerintah.
Tahun 2008, istilah GE kembali dimunculkan dalam diskusi kebijakan terhadap krisis global. Diskusi ini diinisiasi oleh United Nations Environment Programme (UNEP) untuk memperjuangkan GE sebagai agenda penting dalam pembangunan. Dan pada 25 September 2015, konsep ini diselaraskan dengan agenda tujuan pembangunan berkelanjutan yang disahkan oleh 193 perwakilan berbagai negara. Dengan kata lain, sebagai upaya menyelaraskan bisnis dan pembangunan dengan mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK), mengekstraksi sedikit SDA, serta mengurangi limbah dan memperkecil kesenjangan sosial.
ADVERTISEMENT
UNEP mendefenisikan GE sebagai kegiatan ekonomi rendah karbon, menghemat sumber daya, dan inklusif secara sosial. Inklusif secara sosial yang dimaksud adalah merancang kegiatan ekonomi yang secara langsung dapat memberikan ruang akses yang lebih baik dan berkelanjutan terhadap sumber daya dan penciptaan lapangan kerja. Pengertian GE juga tidak lepas dari aspek perlindungan sumber daya manusia serta pengurangan angka kemiskinan. Hal ini berbeda dengan pembangunan konvensional yang mengandalkan praktik tidak berkelanjutan dengan melakukan penghancuran SDA.
Dalam pembangunan ekonomi berbasis GE, ada lima prinsip dasar yang harus menjadi pegangan: mampu menciptakan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat; menciptakan kesetaraan untuk berbagai generasi; memelihara, memulihkan, dan berinvestasi dalam berbagai kegiatan yang berbasis sumber daya alam; mendukung tingkat konsumsi dan produksi yang berkelanjutan; dan didukung oleh sistem yang kuat, terintegrasi, dan akuntabel.
ADVERTISEMENT
Tantangan dan Peluang
Penerapan GE di Indonesia memiliki tantangan tersendiri baik datangnya dari pemerintah maupun kesadaran kolektif bangsa ini. Pertama, masih bergantung pada sumber daya alam terutama sumber energi tak terbarukan seperti batu bara. Transisi GE yang sedang dikerjakan pemerintah masih terhambat oleh tergantungnya ekonomi Indonesia dari batu bara baik untuk ekspor maupun untuk energi dalam negeri.
Kedua, kurangnya pemanfaatan potensi energi baru terbarukan (EBT). Dalam acara Grand Launching Proyek Investasi Berkelanjutan, 21 Maret 2022, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan Indonesia memiliki potensi energi terbarukan sebesar 437,4 Gigawatt. Namun, Indonesia baru bisa memanfaatkan 2,5% atau sekitar 10,4 Gigawatt.
Berbagai sumber EBT seperti energi matahari berpotensi memiliki 207,8 Gigawatt dan baru dimanfaatkan 0,07%; energi tekanan air, memiliki potensi 94,6 Gigawatt dan baru dimanfaatkan 8,16%; energi panas bumi memiliki potensi 23,9 Gigawatt, baru dimanfaatkan 8,9%; dan saterusnya. Patut disayangkan kalau kemudian investasi EBT dalam beberapa tahun terakhir tidak mencapai target. Misalnya tahun 2020, target investasi EBT US$2,02 miliar dan hanya terealisasi US$$1,4 miliar. Tahun 2021 targetnya US$ 2,04 miliar dan realisasi US$1,6 miliar. Tahun 2022, target investasi EBT US$3,93 miliar dan terealisasi US$1,6 miliar. Praktis hanya tahun 2017 target investasinya mencapai US$2 miliar, tahun selanjutnya terus menurun (Kementrian ESDM, 2023).
ADVERTISEMENT
Padahal Pemerintah Indonesia sudah menargetkan porsi EBT dalam bauran energi nasional harus naik dari 13% pada 2017 menjadi 23% pada 2025. Salah satu sebab EBT tidak berjalan karena rendahnya pembiayaan. Berdasarkan studi International Renewable Energy Agency (IRENA), untuk mendorong percepatan transisi energi Indonesia butuh investasi USD 314,5 miliar selama periode 2018-2030, atau rata-rata sekitar USD 17,4 miliar per tahun. Investasi ini diperlukan untuk mendorong penjualan kendaraan listrik di pasar domestik, meningkatkan kapasitas pembangkit EBT, serta membangun berbagai infrastruktur untuk mendukung distribusi EBT sampai konsumen. Menurut IRENA, hambatan terbesar transisi energi di Indonesia adalah pendanaan dan investasi. Sumber pembiayaan perlu diperluas dan kapasitas pembiayaan lokal perlu ditingkatkan (lebih lengkap lihat laporan IRENA “Indonesia Energy Transition Outlook” Oktober 2022).
ADVERTISEMENT
Pemerintah memang terus melakukan berbagai upaya untuk mengoptimalkan EBT. Salah satunya dengan Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Melalui Perpres ini, pemerintah akan mempensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Pasal 3 ayat (1) Perpres ini menyebutkan “dalam rangka transisi energi sektor ketenagalistrikan, Menteri menyusun peta jalan percepatan pengakhiran operasional PLTU yang dituangkan dalam dokumen perencanaan sektoral”. Peta jalan yang dimaksud adalah pengurangan emisi GRK PLTU, percepatan pengakhiran operasional PLTU, dan keselarasan kebijakan lainnya.
Ketiga, literasi masyarakat. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengatakan literasi masyarakat mengenai GE masih minim. Ini akan menyulitkan pemerintah untuk mengajak masyarakat menggunakan produknya. Lebih dalam, pemerintah sendiri juga belum total dalam menjalankan literasi ini atau jangan-jangan justru pemerintah sendiri juga yang tidak menggunakan GE. Contoh terkecil, pemerintah saat mengadakan rapat di kantor dan atau hotel masih dominan menggunakan bahan plastik, tidak mematikan lampu penerangan saat meninggalkan kantor dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, GE akan memberikan beragam peluang. Pertama, menciptakan lapangan kerja baru. Menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, investasi pada GE akan menciptakan lapangan kerja 7 sampai 10 kali lipat lebih banyak dibandingkan investasi konvensional dikarenakan pekerjaan-pekerjaan di sektor hijau lebih menggunakan tenaga kerja manusia (padat karya). Penambahan lapangan kerja ramah lingkungan sampai 1,8 juta pada 2030. Kedua, mengurangi limbah. Dengan GE, limbah akan berkurang antara 18% hingga 52% dibandingkan bisnis konvensional pada tahun 2030. Ketiga, ketahanan pangan lebih stabil. Dengan GE, Indonesia dapat membuat ketahanan pangan menjadi lebih baik. Jika transisi ini sukses, maka ketahanan pangan akan lebih stabil karena perubahan iklim yang berdampak negatif terhadap hasil tani maupun laut dapat dicegah. Keempat, meningkatkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, rata-rata 6,1-6,5%/tahun sampai tahun 2050. Berdasarkan data Kementrian PPN/Bappenas, GE dapat meningkatkan PDB hingga Rp 593 triliun-Rp 638 triliun di tahun 2030. Kelima, bisa menurunkan intensitas emisi hingga 68% di 2045, penyelamatan emisi GRK hingga 87-96 miliar ton – selaras dengan target net zero emissions ditahun 2060.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya semua tujuan baik ini, diperlukan komitmen pemerintah di semua level tingkatan, bagaimana menerjemahkan pembangunan rendah karbon sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 menjadi kebijakan – aksi nyata seperti kebijakan mendorong usaha-usaha hijau dengan cara memberikan insentif-stimulus hijau, penguatan kapasitas, praktik terbaik, dan peluang pendanaan. Pemerintah memainkan peran kunci dalam memastikan kualitas institusi/lembaga publik, untuk mendukung proyek pertumbuhan GE, baik secara kelembagaan, finansial dan entitas pelaksana. Semoga!.