Menghentikan Langkah Mantan Napi Koruptor Menjadi Caleg

M Irwan P Ratu Bangsawan
Prodi Hukum Fakultas Bisnis dan Humaniora Universitas Siber Muhammadiyah, Yogyakarta
Konten dari Pengguna
5 Oktober 2023 9:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Irwan P Ratu Bangsawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gedung Mahkamah Agung Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Mahkamah Agung Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mahkamah Agung (MA) akhirnya mengabulkan permohonan uji materi terkait Pasal 11 ayat 6 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 tahun 2023 dan Pasal 18 ayat 2 PKPU Nomor 11 tahun 2023. Putusan ini berdampak signifikan terhadap kemampuan mantan koruptor untuk maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) pada pemilu 2024.
ADVERTISEMENT
Permohonan uji materi ini diajukan oleh dua mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad dan Saut Situmorang, bersama dengan organisasi masyarakat sipil seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), serta Transparency International Indonesia (TII).
Dalam putusannya, MA memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mencabut Pasal 11 ayat 6 PKPU Nomor 10 tahun 2023 dan Pasal 18 ayat 2 PKPU Nomor 11 tahun 2023. Alasan utama yang dijadikan dasar hukum adalah bahwa kedua pasal ini dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pasal 11 ayat 6 PKPU Nomor 10 tahun 2023 menyatakan bahwa seorang mantan terpidana dapat maju sebagai caleg setelah melewati jangka waktu 5 tahun sejak selesai menjalani pidana penjara. Namun, ketentuan ini menjadi tidak berlaku jika ditentukan lain oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk pidana tambahan pencabutan hak politik.
Ilustrasi Penjara. Foto: Shutter Stock
Mahkamah Agung berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, serta putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
Pasal 18 ayat 2 PKPU Nomor 11 tahun 2023, yang berhubungan dengan persyaratan bagi mantan terpidana yang ingin mencalonkan diri secara perseorangan, juga dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 182 huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan putusan Mahkamah Konstitusi.
Putusan MA ini mencerminkan peran penting lembaga peradilan dalam menjaga integritas dan moralitas dalam politik. MA menilai bahwa syarat-syarat yang ketat dalam proses pencalonan diperlukan untuk memastikan bahwa warga negara memiliki pilihan yang berintegritas tinggi saat memilih wakil rakyat mereka.
Dengan menghapuskan kelonggaran bagi mantan narapidana koruptor untuk maju dalam kontestasi politik, Mahkamah Agung berusaha untuk mendorong pemberantasan korupsi dan lebih mengutamakan kepentingan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Ini adalah langkah signifikan dalam upaya memerangi korupsi di Indonesia dan memastikan bahwa caleg yang terpilih adalah mereka yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat, bukan individu yang terlibat dalam tindak pidana korupsi. Dengan demikian, Indonesia telah mengambil langkah besar menuju politik yang lebih bersih dan berintegritas.

Implikasi Politis

Komisioner KPK 2015-2019 Saut Situmorang didampingi Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana usai memberikan berkas uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 dan 11 ke Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (12/6/2023). Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
Keputusan MA ini adalah langkah yang signifikan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama-tama, ini menunjukkan komitmen yang lebih kuat dari lembaga peradilan untuk mencegah potensi koruptor kembali ke posisi kekuasaan.
Korupsi telah lama menjadi masalah serius di Indonesia. Maka, melarang mantan napi koruptor untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif adalah langkah yang sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi.
Selain itu, dari sudut pandang politik, keputusan ini mengirimkan pesan kuat kepada masyarakat bahwa integritas dan akuntabilitas adalah hal-hal yang sangat dihargai dalam politik.
ADVERTISEMENT
Dengan menghapuskan peluang bagi eks napi koruptor untuk menjadi caleg, sistem politik Indonesia berupaya untuk memastikan bahwa wakil rakyat yang terpilih memiliki rekam jejak yang bersih dan dapat diandalkan.
Namun, keputusan ini juga memicu pertanyaan tentang hak politik dan rehabilitasi mantan narapidana. Ada pandangan yang berpendapat bahwa setiap warga negara berhak untuk berpartisipasi dalam proses politik, terlepas dari masa lalunya. Mereka berargumen bahwa pelarangan ini dapat dianggap sebagai diskriminatif.
Ilustrasi Penjara. Foto: Shutter Stock
Selain itu, langkah ini juga menyoroti pentingnya peraturan hukum yang konsisten dan selaras di seluruh tingkatan pemerintahan. Keputusan MA menyatakan bahwa pasal-pasal terkait dalam peraturan pemilu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ini menunjukkan perlunya koordinasi yang lebih baik antara berbagai lembaga pemerintah dalam menentukan aturan politik.
ADVERTISEMENT
Singkat kata, larangan bagi mantan napi koruptor untuk menjadi caleg adalah sebuah langkah penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Keputusan ini memiliki dampak sosial dan politik yang signifikan, mengirimkan pesan tentang pentingnya integritas dalam politik.
Namun, perdebatan tentang hak politik dan rehabilitasi tetap relevan, dan perlu ada perhatian khusus terhadap penyelarasan peraturan hukum di semua tingkatan pemerintahan. Semua ini merupakan langkah menuju pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel di masa depan.