Dia Adalah Adikku

Irwan Aulian Mulyana
Content Writer
Konten dari Pengguna
6 Januari 2022 19:19 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irwan Aulian Mulyana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Lodewijk Hertog on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Lodewijk Hertog on Unsplash
ADVERTISEMENT
Saat ini, adikku bersekolah di salah satu SD swasta di daerah tempat tinggalku. Setiap hari, aku selalu rutin mengantar dan menjemput adikku ketika pergi dan pulang sekolah. Hubungan kami sangat dekat, aku sangat menyayangi adikku. Terkadang aku selalu menasihatinya agar dia selalu mengutamakan kebahagiaan keluarganya, dibandingkan kebahagiaan orang lain, maupun dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang kakak dan adik, kami sering bertukar makanan, minuman, hadiah, dan barang lainnya. Aku selalu menjadi tempatnya untuk bercerita. Dia selalu berbicara mengenai masalah yang dia alami kepadaku. Baik itu kejadian yang dia alami ketika di sekolah, maupun ketika bermain bersama teman-temannya. Tetapi, semua itu tidak berjalan sesuai harapan kami. Suatu masalah datang untuk menerjang dan menguji hubungan persaudaraan kami.
Seperti biasanya, aku menjemput adikku saat dia pulang sekolah. Aku menunggu sangat lama di depan gerbang sekolah. Tidak seperti biasanya, dia pulang telat pada hari itu. “Kok, lama ya? Engga kayak biasanya dia telat gini” ucapku mengeluh.
Angka pada layar handphone milikku sudah menunjukkan jam 2 siang. Aku telah menunggunya selama 2 jam, tetapi dia masih belum keluar dari kelas. Aku tetap duduk terdiam menunggunya di atas jok motor Harley Davidson milikku, hingga bokongku sudah terasa tepos. Akhirnya, aku memutuskan untuk masuk ke dalam sekolahan adikkku. Ketika hendak masuk, aku bertemu dengan salah satu penjaga sekolah. Aku pun langsung bertanya mengenai keberadaan adikku kepadanya. “Maaf, Pak. Di dalam sana, apakah masih ada murid yang masih belajar?” Tanyaku pada penjaga sekolah tersebut.
ADVERTISEMENT
Penjaga sekolah itu menjawab, “sepertinya udah engga ada lagi, Dik. Tadi saya juga udah memeriksa semua ruangan, udah engga ada murid lagi” ucapnya kepadaku.
Oh, seperti itu ya, Pak. Terima kasih ya” ujarku padanya sambil berpamitan.
Penjaga sekolah itu balik bertanya kepadaku, “emangnya kenapa, Dik?” Tanya dia dengan penuh penasaran.
“Itu loh, Pak. Adik saya belum keluar juga. Padahal, saya udah nunggu dia sejak dua jam yang lalu di depan gerbang. Apa mungkin dia udah pulang duluan ya, Pak? Yaudah deh, gapapa. Saya pamit aja ya, Pak” jawabku ketika menjawab pertanyaan tadi.
“Iya, Dik. Hati-hati di jalan ya” jawabnya sambil melambaikan tangan. Aku pun bergegas untuk segera pulang ke rumah. Di perjalanan, aku pun tidak berhenti untuk melihat-lihat ke arah kiri dan kanan di sepanjang bahu jalan. Aku berharap jika kami bisa berpapasan dan bertemu ketika hendak menuju rumah.
ADVERTISEMENT
Sepanjang perjalanan hingga sampai di rumah, aku belum juga bertemu dengan adikku. Aku merasa sangat panik, aku pun langsung memarkir motor Harley Davidson milikku di garasi rumah. Aku bergegas untuk menemui ayah dan ibuku, karena ingin berbicara kepada mereka mengenai adikku yang tidak ada di sekolahan. Aku lari terbirit-birit bagaikan seseorang yang ingin pergi ke toilet, karena sudah tidak tahan lagi untuk menahan sisa-sisa makanan yang ingin keluar yang sudah tecerna oleh usus. Sebelum meraih pintu, aku tersandung ketika menaiki anak tangga yang ada di rumahku. “Gedubrak.. Duh, sakit” teriakku saat terjatuh. Lututku memar dan berdarah, kuku pada jempol kaki patah karena terkena ujung anak tangga itu.
Aku membuka pintu rumahku dan langsung memanggil ayah serta ibuku dengan nada yang tinggi, tetapi dengan cara yang sopan. Mereka pun keluar dan menghampiri aku yang sedang kesakitan. Aku menjelaskan semuanya kepada mereka mengenai kondisi adikku. Setelah mereka mendengar semua penjelasanku, mereka pun ikut panik dan langsung bergegas mencari adikku ke semua sudut kota. Sudah 2x24 jam berlalu, tetapi kami belum berhasil menemukan adikku. Akhirnya, ayah dan ibuku melapor ke pihak yang berwajib untuk menangani masalah ini.
ADVERTISEMENT
Aku sangat merasa kesepian ketika berada di rumah setelah kejadian itu. Biasanya adikku selalu berada di sampingku ketika aku akan terlelap dan bangun tidur. Dia selalu menggodaku dan menjahiliku ketika aku ingin tidur. Dia kerap kali memasang alarm dengan suara yang sangat keras, hingga menyiram wajahku dengan air ketika hendak membangunkan aku. Suatu waktu, dia selalu aku beri perintah untuk mengambil satu gelas susu ataupun snack yang ada di dalam kulkas di lantai bawah. Aku rindu semua hal itu darinya. “Kamu ada di mana sih, De? Semua orang khawatir tau sama kamu. Cepet pulang ya. Kakak kangen sama kamu, De” ucapku dengan nada yang rendah dan secara tidak sengaja meneteskan air mata.
ADVERTISEMENT
Malam itu aku tidur sendirian, karena tidak ada adikku yang biasanya menemani. Aku memadamkan lampu di kamarku. Setelah itu, aku menarik selimut tebal berwarna merah muda, tetapi bukan selimut milik tetangga. Aku menarik selimut tersebut untuk menghangatkan tubuhku. Hal itu aku lakukan karena pada malam itu udara terasa sangat dingin, sama seperti sikapnya kepadaku.
Cricitt.. Cricitt..” Suara seekor tikus yang terdengar masuk ke dalam kamarku. Aku menghiraukan suara itu dan melanjutkan tidurku. Menurutku, itu hanya suara seekor tikus usil yang sering melubangi beberapa kaos kaki dan celana dalam milikku.
Aw..” Teriakku dengan nada sangat keras. Aku merasa kesakitan karena salah satu jari kaki digigit oleh tikus itu. Aku pun langsung bangun dari mimpi indahku. Padahal saat itu, aku bermimpi sedang berkencan, sambil menikmati makan malam bersama kekasihku, yaitu Ryujin ITZY.
ADVERTISEMENT
Aku terus mencari tikus tersebut karena merasa sangat kesal. Di saat aku sedang beristirahat karena kelelahan setelah mencari adikku yang tidak kunjung pulang, aku malah digigit oleh tikus jahil itu saat aku sedang mengalami mimpi indah. “Hey, di mana kau tikus? Aku akan menangkap dan menjual kamu ke tukang bakso yang sering mencampur dagingmu dengan borax” kataku dengan nada sedikit kesal. Aku berkata seperti itu karena aku hanya berniat untuk menakut-nakuti tikus tersebut.
Tidak lama kemudian, tikus itu mendekat dan menghampiri aku. Aku segera mungkin menggenggam guling dan bantal, karena aku takut jika tikus itu kembali menggigitku. Maka dari itu, aku mempersiapkan guling dan bantal itu untuk memukulnya nanti. Tetapi di luar dugaan, dia malah berbicara kepadaku. Dia berbicara layaknya seorang manusia. “Jangan pukul, aku mohon” ucapnya kepadaku saat itu.
ADVERTISEMENT
Aku sangat terkejut, tidak mungkin seekor binatang bisa berbicara layaknya manusia. Aku merasa sangat ketakutan dan khawatir. Sedikit demi sedikit, aku menjaga jarak dari tikus tersebut. Dia berbicara kembali, “ini aku, Kak. Aku ini adikmu” ucapnya dengan suara yang hampir tidak bisa aku dengar. Aku hanya bisa terdiam dan tidak percaya dengan hal tersebut. Pikiranku saat itu sangat kacau. Aku sempat berpikir, mungkin saat ini aku sedang tidru dan mengalami mimpi. Sangat mustahil ada seekor binatang yang bisa berbicara layaknya seorang manusia.
Tikus itu terus mendekat kepadaku, “ini aku, Kak. Kenapa aku bisa berubah seperti tikus gini. Kak, aku takut” ujar tikus kecil tersebut sambil menangis. Secara perlahan, aku pun mendekati dia dan mencoba memegang tikus itu secara perlahan.
ADVERTISEMENT
Kenapa kamu bisa berubah seperti seekor tikus gini, De? Apa yang terjadi? Coba jelasin ke kakak” ucapku sambil mengelus tikus yang merupakan jelmaan adikku. Tikus itu pun menjelaskan semuanya. Menurutnya, setelah dia memakan bakso yang ada di kantin sekolah, tiba-tiba saja badannya terasa gatal. Tidak berapa lama, tubuh dia mengecil dan sekujur badannya berbulu.
Setelah mendengarkan penjelasan adikku, aku mulai percaya padanya. Aku pun berusaha mencari cara agar tubuh adikku kembali seperti sediakala. Malam itu, aku mulai merawat adikku yang merupakan seekor tikus. Mulai dari memberi dia makan, minum, dan membersihkan badannya. Tetapi, aku tidak memberi tahu tentang hal ini kepada ayah dan ibuku. Menurutku, mereka tidak akan percaya begitu saja tanpa adanya bukti yang kuat.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari telah berlalu, aku menjalani hari-hari itu dengan menjaga adikku yang saat ini merupakan seekor tikus. Aku terus mencari cara agar adikku bisa kembali seperti semula. Tetapi, hal tidak terduga menghampiri aku. Suatu hari, aku merasakan sesuatu bergerak pada bokongku ketika aku baru saja bangun tidur. Bulu di badanku terasa lebih tebal dari sebelumnya. Kuku di tangan dan kaki terasa lebih tajam. Ternyata bentuk tubuhku ikut berubah. “Ini sulit dipercaya. Kenapa tubuhku ikut berubah seperti seekor binatang? Apa yang menimpa diriku ini?” Tanyaku pada diriku sendiri.
Adikku yang merupakan seekor tikus, saat ini sedang tertidur di sampingku. Aku tidak tahu apa yang akan dia katakan jika terbangun dari tidurnya nanti. Aku takut jika dia tidak bisa mengenali diriku lagi. Tidak berapa lama, adikku terbangun. Pada awalnya dia terkejut, tetapi dia langsung bertanya kepadaku. “Apa itu kamu, Kak? Kenapa kakak berubah kayak kucing?” Tanya dia pada saat itu.
Photo by Biel Morro on Unsplash
Aku pun menjawab, “kakak juga engga tau, De. Kenapa berubah seperti ini.” Keesokan harinya, kami pergi dari rumah untuk mencari makan, karena pada saat itu kami merasa sangat kelaparan. Aku berusaha mencari makanan untuk adikku. Aku pun menemukan potongan roti di jalanan dan langsung memberikan roti itu padanya. Dia memakan roti tersebut dengan lahap. Aku hanya bisa memandangi adikku yang sangat kelaparan itu.
ADVERTISEMENT
Tidak berapa lama, suara perutku yang mulai keroncongan terdengar sangat keras. Rasa lapar di perutku telah meracuni pikiranku. Aku yang merupakan seekor kucing, tidak bisa memakan roti atau makanan sejenisnya. Aku hanya bisa memakan berbagai jenis daging, ikan, ayam, dan tikus.
Aku melihat adikku seperti sebuah makanan pada saat itu. Kulitnya sangat terlihat lezat, tubuhnya yang mungil seperti makanan yang sangat enak untuk aku santap. Aku sangat tergoda olehnya, aku pun berpikir sambil berkata, "apa aku bisa gitu aja memakan adikku sendiri? Engga akan pernah" ucapku dalam hati. Ketika itu, hawa nafsu mulai menguasai diriku. Akal pikiranku sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Mataku selalu tertuju pada adikku, ingin rasanya aku memangsa adikku sendiri pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Perlahan aku mendekatinya, sambil mengeluarkan cakar yang aku punya. Ketika aku hendak mendekat, adikku berbalik badan dan memandang aku. Aku melihat tatapannya itu, tidak sanggup rasanya jika memangsa adikku sendiri. Aku pun mempunyai suatu ide agar aku tidak bisa melukai adikku, yaitu dengan menghilangkan sesuatu yang dapat melukainya, cakar dan taring yang ada pada tubuhku. "Gimana cara ngilangin cakar dan taring ini? Aku harus mencari cara" ucapku dalam hati.
Ketika itu, aku mencari cara agar bisa menghilangkan kedua benda tajam yang ada pada tubuhku. “Aku harus berpikir cepat, aku tidak boleh melukai adikku sendiri. Dia itu adik kandungku. Dia sayang sama aku, aku pun begitu” ucapku sambil terus berpikir mencari cara.
ADVERTISEMENT
Secara tidak sengaja, aku melihat sebuah batu besar di pinggir jalan. Aku tidak berpikir dua kali. Aku pun menghantamkan taring milikku ke batu tersebut. Gigi taring dan kedua gigi depanku patah, mulutku berlumuran darah. Setelah itu, aku pun menggosok kedua cakar tajamku ke batu tersebut, hingga cakar milikku itu tumpul. Adikku merasa kebingungan dan dia pun bertanya, “lagi ngapain, Kak? Kenapa melukai diri sendiri?” Tanya adikku pada saat itu.
Aku hanya menjawab, “engga kok, De. Kakak melakukan ini karena kakak sayang sama kamu. Kakak engga mau melukai kamu” ucapku kepadanya. Dia pun menghampiriku dan langsung memelukku. Dia menangis tersedu-sedu pada saat itu dan terus memeluk diriku. Dia merasa kasihan kepadaku, karena aku harus melukai diriku sendiri demi dirinya.
ADVERTISEMENT
Hari demi hari telah berlalu, kami menjalani itu semua bersama-sama sebagai seekor binatang. Meskipun aku sering tergoda dengan tubuh adikku dan ingin sekali memakannya. Tetap saja, aku tidak bisa melukainya, karena saat ini gigiku sudah ompong. Aku hanya bisa memakan sisa tulang ikan yang dibuang orang-orang ke jalanan.
Setelah hampir satu minggu kami berdua terlihat seperti seekor binatang, tiba-tiba saja tubuh kami kembali seperti semula. Kami pun langsung pulang ke rumah. Ayah dan ibu kami terlihat sangat cemas, sekaligus bahagia menyambut kedatangan kami. Ayahku bertanya, "kenapa kamu juga ikut menghilang?" Tanya dia dengan santai.
Aku pun hanya menjawab, "aku pergi ke rumah kakek. Ternyata adik ada di sana juga" ucapku secara terbata-bata.
ADVERTISEMENT
Ayah dan ibuku menyadari jika sesuatu telah terjadi. Ayahku memandang dengan tatapan yang serius dan mulai curiga padaku. “Kak, kenapa gigimu seperti itu? Kamu mencabutnya?” Tanya ayahku pada saat itu.
Aku merasa bingung untuk menjawab pertanyaan ayahku itu. Aku pun mencari alasan agar ayahku tidak curiga. “Engga kok. Selama hampir satu minggu ini, kami menginap di rumah kakek. Ketika di sana, aku jatuh dari sepeda dan gigiku terbentur tembok rumah tetangga. Jadi, seperti ini deh gigiku sekarang, hehe..” Jawabku sambil menunjukkan gigi ompongku. Seketika, semuanya tertawa melihat gigiku yang sudah seperti jendela rumah yang terbuka.
Seperti itu cerita antara aku dan adikku yang berhasil melewati masa-masa sulit bersama. Kisah seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya, semua hal rela dia lakukan demi melindungi adik yang sangat dia sayang.
Photo by Alvin Mahmudov on Unsplash