Konten dari Pengguna

Buzzer dan Fragmentasi Isu: Memahami Teknik Manipulasi dalam Era Informasi

Yayuk Lestari
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
18 Agustus 2024 15:39 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yayuk Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Buzzer dan Fragmentasi Isu

Sumber: Pexels.com (Buzzer di Era Digital)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pexels.com (Buzzer di Era Digital)
ADVERTISEMENT
Buzzer adalah individu atau kelompok yang dibayar untuk menyebarluaskan pesan tertentu, biasanya di media sosial, dengan tujuan mempengaruhi opini publik atau mempromosikan agenda tertentu. Mereka dapat bekerja untuk perusahaan, organisasi politik, atau individu dengan kepentingan khusus. Tugas utama buzzer adalah menciptakan konten yang dapat viral dan membentuk opini masyarakat. Digital activism di Indonesia telah mengalami perkembangan pesat dalam dekade terakhir. Gerakan-gerakan ini muncul sebagai respons terhadap berbagai isu sosial, politik, dan lingkungan yang dihadapi masyarakat. Media sosial memberikan platform yang memungkinkan mobilisasi massa dengan cepat dan efisien. Namun, meskipun media sosial menawarkan potensi besar untuk perubahan, terdapat tantangan signifikan yang menghambat efektivitas digital activism. Salah satu tantangan utama adalah fragmentasi isu, yang sering kali diperburuk oleh peran buzzer dalam memanipulasi narasi publik.
ADVERTISEMENT
Fragmentasi isu terjadi ketika fokus utama dari sebuah gerakan sosial terpecah menjadi berbagai sub-isu, yang dapat mengurangi kekuatan dan kejelasan pesan dari gerakan tersebut. Dalam konteks digital activism, media sosial memungkinkan berbagai kelompok dengan agenda berbeda untuk terlibat dalam percakapan publik. Pada satu sisi, keterbukaan ini mendorong pluralitas pandangan dan memperkaya diskusi. Namun, pada sisi lain, keterbukaan ini juga memicu fragmentasi, di mana gerakan yang awalnya berfokus pada satu tujuan utama menjadi terpecah-pecah dan kehilangan fokus.
Peran Buzzer dalam Memblurkan Isu
Buzzer, yang merupakan akun-akun yang disponsori untuk mempromosikan narasi tertentu di media sosial, memainkan peran penting dalam memanipulasi percakapan publik. Dalam konteks digital activism, buzzer sering kali digunakan oleh kelompok-kelompok dengan kepentingan tertentu untuk mengganggu, membelokkan, atau memblurkan pesan dari gerakan digital yang asli. Ini adalah salah satu bentuk manipulasi yang paling destruktif dalam lanskap media sosial di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Buzzer memiliki kemampuan untuk membanjiri media sosial dengan narasi-narasi yang dibuat untuk menyesatkan atau mengalihkan perhatian publik dari isu utama. Mereka sering kali bekerja dengan menyebarkan disinformasi, mempromosikan konflik antara kelompok-kelompok peserta gerakan, atau menyebarkan teori konspirasi yang membuat publik meragukan keaslian gerakan.
Salah satu contoh bagaimana gerakan di sosial media terfragmentasi dengan adanya peranan buzzer adalah Gerakan #GejayanMemanggil adalah. Aksi massa ini dimulai pada September 2019 di Yogyakarta, sebagai bentuk protes terhadap sejumlah RUU yang dianggap merugikan rakyat, termasuk revisi UU KPK dan RUU KUHP. Awalnya, gerakan ini mendapatkan dukungan luas, terutama dari kalangan mahasiswa, karena fokusnya yang jelas: menentang kebijakan yang dinilai melemahkan pemberantasan korupsi dan mengancam kebebasan sipil.
ADVERTISEMENT
Namun, seiring berjalannya waktu, narasi gerakan ini mulai terpecah. Berbagai kelompok dengan agenda yang berbeda ikut serta dalam gerakan, mengangkat isu-isu seperti lingkungan, hak asasi manusia, dan ketidakadilan sosial lainnya. Sementara isu-isu ini penting, penggabungan banyak isu dalam satu gerakan membuat pesan utama menjadi kurang jelas. Buzzer yang mendukung pemerintah juga mulai mengalihkan perhatian publik dengan mempromosikan narasi bahwa gerakan ini adalah bentuk ketidakpatuhan terhadap hukum atau dipolitisasi oleh oposisi. Akibatnya, dukungan publik terhadap gerakan ini mulai menurun karena kurangnya fokus dan disinformasi yang menyebar di media sosial.
Gerakan penolakan terhadap Omnibus Law, terutama RUU Cipta Kerja, adalah contoh lain di mana isu terfragmentasi dan dimanipulasi oleh buzzer. Gerakan ini dimulai dengan tujuan untuk menolak undang-undang yang dianggap merugikan pekerja dan lingkungan. Namun, dengan cepat, gerakan ini menjadi tempat bagi berbagai kelompok untuk menyuarakan isu-isu mereka sendiri, seperti perlindungan lingkungan, hak-hak buruh, hingga kritik terhadap kebijakan ekonomi pemerintah secara umum.
ADVERTISEMENT
Buzzer pro-pemerintah kemudian memanfaatkan fragmentasi ini dengan menyebarkan narasi bahwa gerakan tersebut didalangi oleh pihak-pihak yang ingin merusak stabilitas nasional atau bahwa mereka yang menolak RUU Cipta Kerja tidak memahami manfaat ekonomi yang ditawarkan oleh undang-undang tersebut. Kampanye disinformasi ini berhasil memecah dukungan publik, dan sebagian besar perhatian media serta masyarakat teralihkan dari isu-isu inti yang diangkat oleh gerakan ini.
Salah satu contoh nyata dari fragmentasi adalah gerakan #ReformasiDikorupsi yang pernah viral di Indonesia. Gerakan ini dimulai dengan tujuan yang jelas: menuntut reformasi terhadap sistem pemerintahan yang dianggap korup dan tidak transparan. Isu ini mendapatkan dukungan luas dari berbagai lapisan masyarakat yang merasa bahwa korupsi telah merusak tatanan politik dan sosial di Indonesia. Namun, seiring dengan berkembangnya gerakan ini di media sosial, berbagai kelompok dengan agenda berbeda mulai ikut serta dalam percakapan. Isu-isu lain seperti lingkungan, hak asasi manusia, hingga hak-hak LGBT mulai diangkat oleh berbagai kelompok yang merasa bahwa gerakan #ReformasiDikorupsi adalah kesempatan untuk mempromosikan isu mereka sendiri. Meskipun isu-isu ini relevan dan penting, mereka tidak selalu sejalan dengan tujuan utama dari gerakan ini. Akibatnya, pesan utama dari #ReformasiDikorupsi menjadi kabur, dan gerakan kehilangan arah serta momentum.
ADVERTISEMENT
Fragmentasi ini memperlemah kekuatan gerakan digital. Ketika pesan utama terpecah menjadi isu-isu kecil, publik sulit untuk memahami apa yang sebenarnya ingin dicapai oleh gerakan tersebut. Lebih jauh, fragmentasi ini juga menyulitkan gerakan untuk membangun dukungan publik yang solid, karena tidak ada narasi tunggal yang kuat yang mampu menyatukan massa di belakang satu tujuan yang jelas.
Melawan Fragmentasi dan Manipulasi
Menghadapi tantangan fragmentasi isu dan manipulasi oleh buzzer memerlukan strategi yang matang dari para penggiat gerakan digital. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah dengan memperkuat narasi tunggal yang jelas dan kohesif dalam setiap gerakan. Ini berarti bahwa meskipun gerakan dapat mencakup berbagai isu, penting untuk memastikan bahwa ada satu narasi utama yang selalu menjadi pusat perhatian, sehingga publik dapat dengan mudah memahami tujuan utama dari gerakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain itu, gerakan digital perlu membangun aliansi yang kuat dan strategis dengan berbagai kelompok yang memiliki tujuan sejalan. Ini tidak berarti bahwa mereka harus menolak keberagaman isu, tetapi penting untuk mengelola keberagaman ini dengan cara yang tidak mengaburkan fokus utama gerakan. Misalnya, dalam gerakan #ReformasiDikorupsi, alih-alih memperkenalkan terlalu banyak isu yang berbeda, para penggiat dapat bekerja sama untuk menyusun narasi yang menghubungkan isu-isu tersebut dengan tujuan utama reformasi pemerintahan yang bersih dan transparan.
Selain itu, meningkatkan literasi digital di kalangan masyarakat luas juga merupakan langkah penting dalam melawan disinformasi dan manipulasi oleh buzzer. Literasi digital yang lebih baik akan memungkinkan masyarakat untuk mengenali dan menolak narasi-narasi palsu yang disebarkan oleh buzzer. Kampanye pendidikan digital yang mengajarkan cara membedakan informasi yang valid dari yang palsu, serta pentingnya verifikasi sumber informasi, dapat menjadi alat yang kuat dalam melawan manipulasi di media sosial.
ADVERTISEMENT
Gerakan digital memiliki potensi besar untuk membawa perubahan sosial yang nyata, tetapi keberhasilan mereka sangat bergantung pada kemampuan untuk menjaga fokus dan mencegah manipulasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan menghadapi tantangan ini secara langsung, penggiat gerakan digital dapat membangun gerakan yang lebih kuat, lebih kohesif, dan lebih efektif dalam mencapai tujuan mereka. Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, kemampuan untuk mengelola narasi publik dan melawan disinformasi adalah kunci untuk mencapai perubahan yang diinginkan.