Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Friends with Benefit (FWB): Pergeseran Budaya dan Perspektif Perempuan
28 Juli 2024 17:11 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Yayuk Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Fenomena Friends with Benefit (FWB)
ADVERTISEMENT
Friends with Benefits (FWB) merupakan hasil dari pergeseran budaya. Dahulu, kita lebih mengenal istilah free sex, kumpul kebo, teman tapi mesra (TTM), dan sebagainya. Kini, kita dihadapkan dengan istilah baru yang dikenal sebagai FWB. FWB adalah hubungan yang paling mudah dan sederhana di mana dua orang dapat melakukan aktivitas seksual tanpa adanya ikatan hubungan yang jelas, seperti layaknya sepasang kekasih atau suami istri. Para pelaku FWB dapat melakukan aktivitas seksual tanpa komitmen yang jelas, dan para ahli menyebutnya sebagai sarana untuk trial and error dalam mempersiapkan komitmen yang sesungguhnya di masa depan.
ADVERTISEMENT
Dalam hubungan FWB, aktivitas seksual dilakukan tanpa ikatan emosional seperti cinta. Hal yang mengkhawatirkan adalah tren ini telah masuk ke Indonesia dan tidak jarang dijumpai di kalangan remaja dan dewasa. Tanpa disadari, tren ini dinormalisasi dan dibiarkan begitu saja. Akibatnya, terjadi kemerosotan moral dalam kehidupan remaja saat ini karena tren FWB yang seolah menjamur dalam sekejap mata.
Dampak globalisasi terlihat jelas dari pergeseran budaya yang sangat mengkhawatirkan dengan kemunculan istilah Friends with Benefits (FWB). FWB sering kali tidak mencerminkan hal yang positif. Melihat bagaimana dewasa ini masyarakat, khususnya remaja, sangat mewajarkan FWB dengan alasan bahwa hubungan ini simple dan tidak merepotkan. Namun, sadarkah kita bahwa kegiatan ini sangat mempengaruhi pola pikir dan perilaku remaja?
ADVERTISEMENT
FWB memberikan lebih banyak masalah daripada manfaat, di antaranya penularan penyakit menular seksual (PMS). Beberapa kota di Indonesia memiliki kasus PMS yang cukup tinggi karena kebiasaan berganti-ganti pasangan. Selain itu, FWB juga berdampak pada remaja dengan terjadinya kehamilan yang tidak direncanakan (KTD) dan kasus aborsi yang meningkat. Ini menyalahi aturan dan menimbulkan kontroversi, terutama di antara para aktivis HAM dan tokoh feminis yang memiliki pandangan berbeda tentang aborsi.
Yang menarik adalah dalam banyak kasus, perempuan bukan hanya menjadi korban, tetapi juga pelaku utama yang bahkan meminta dan memohon kepada laki-laki untuk melakukan hubungan seksual tanpa ikatan. Ini menunjukkan bahwa fenomena FWB tidak hanya didorong oleh satu gender saja, tetapi juga merupakan hasil dari dinamika sosial yang kompleks di mana perempuan juga memainkan peran aktif. Tren ini mencerminkan pergeseran nilai-nilai sosial di mana perempuan kini merasa lebih bebas untuk mengekspresikan keinginan seksual mereka tanpa harus terikat oleh norma tradisional.
ADVERTISEMENT
Perubahan ini terlihat jelas di kalangan remaja dan dewasa muda. Perempuan, yang dahulu sering kali dianggap sebagai pihak yang pasif dalam hubungan seksual, kini mulai mengambil inisiatif dalam hubungan FWB. Mereka melihat FWB sebagai cara untuk mengeksplorasi seksualitas mereka sendiri tanpa harus terjebak dalam komitmen yang mungkin mereka anggap sebagai beban. Dalam beberapa kasus, perempuan menawarkan hubungan FWB sebagai bentuk kebebasan dan kontrol atas tubuh dan keinginan mereka sendiri.
Tren FWB mencerminkan pergeseran nilai-nilai sosial dan moral yang signifikan. Remaja saat ini sering kali memandang FWB sebagai cara untuk mengeksplorasi diri dan kebebasan seksual tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang. Mereka mungkin melihatnya sebagai bentuk pemberontakan terhadap norma tradisional yang mengikat. Namun, kebebasan ini datang dengan tanggung jawab besar yang sering kali diabaikan.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan menjalani FWB juga mempengaruhi persepsi tentang hubungan dan komitmen. Bagi sebagian remaja, komitmen dianggap sebagai sesuatu yang mengekang dan membebani, sementara FWB menawarkan kebebasan tanpa tanggung jawab emosional. Namun, kenyataan yang mereka hadapi sering kali berbanding terbalik dengan ekspektasi. Perasaan terluka, kecemburuan, dan kekecewaan adalah beberapa masalah emosional yang muncul dari hubungan tanpa komitmen ini.
Peran teknologi dan media sosial dalam penyebaran tren FWB juga tidak bisa diabaikan. Aplikasi kencan dan media sosial memudahkan orang untuk bertemu dan memulai hubungan tanpa komitmen. Kemudahan ini sering kali membuat remaja terjebak dalam siklus hubungan singkat dan dangkal yang berfokus pada kepuasan sesaat daripada ikatan emosional yang mendalam.
Ketiadaan komitmen dalam FWB membuat banyak orang merasa bahwa mereka bisa dengan mudah keluar dari hubungan tersebut tanpa konsekuensi. Namun, realitasnya, dampak emosional dan psikologis bisa bertahan lama. Rasa bersalah, penyesalan, dan kehilangan adalah beberapa dampak yang mungkin dirasakan oleh pelaku FWB setelah hubungan berakhir.
ADVERTISEMENT
Dalam banyak kasus, perempuan sering kali terbawa emosi dalam hubungan FWB. Meskipun mereka mungkin memulai hubungan dengan harapan menjaga jarak emosional, kenyataannya perasaan sering kali berkembang seiring waktu. Keintiman fisik yang berulang kali dapat memicu keterikatan emosional, membuat perempuan lebih rentan terhadap perasaan terluka ketika hubungan tersebut berakhir atau berubah. Ketidakstabilan emosional ini bisa menyebabkan gangguan psikologis seperti depresi dan kecemasan.
Perempuan, khususnya, sering kali menghadapi stigma sosial yang lebih besar dalam hubungan FWB. Meskipun ada pergeseran budaya yang membuat perempuan lebih bebas dalam mengekspresikan keinginan seksual mereka, tetap saja ada pandangan negatif yang lebih kuat terhadap perempuan yang terlibat dalam FWB dibandingkan laki-laki. Ini menunjukkan adanya ketidakadilan gender dalam penilaian sosial terhadap perilaku seksual.
ADVERTISEMENT
Selain itu, FWB dapat mempengaruhi kesehatan mental remaja. Ketidakstabilan emosional yang disebabkan oleh hubungan tanpa komitmen dapat meningkatkan risiko depresi, kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya. Remaja yang terlibat dalam FWB mungkin merasa kesepian dan kehilangan arah karena tidak memiliki hubungan yang stabil dan mendukung.
Penting bagi masyarakat untuk memberikan edukasi seksual yang komprehensif kepada remaja. Edukasi yang tidak hanya berfokus pada aspek biologis, tetapi juga pada aspek emosional dan psikologis dari hubungan seksual. Remaja perlu memahami bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi dan bahwa hubungan seksual harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab.
Selain itu, orang tua dan pendidik harus membuka ruang diskusi yang aman bagi remaja untuk berbicara tentang hubungan dan seksualitas. Mereka harus diajak untuk memahami pentingnya komitmen dan menghargai diri sendiri serta pasangan mereka. Dengan begitu, remaja dapat membuat keputusan yang lebih bijak dan tidak terjebak dalam hubungan yang merugikan mereka di masa depan.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, perubahan budaya yang membawa tren FWB harus disikapi dengan bijaksana. Masyarakat perlu menyadari bahwa kebebasan seksual bukan berarti mengabaikan tanggung jawab dan konsekuensi. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang dampak FWB, kita bisa membantu remaja untuk menjalani kehidupan yang lebih sehat dan bermakna, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai moral dan kesehatan mereka.