Konten dari Pengguna

Internet: Anyone Can Be Famous

Yayuk Lestari
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
22 September 2024 14:00 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yayuk Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Internet, Jalur Menjadi Terkenal

Sumber: Pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Internet dan media sosial merupakan wadah yang memberikan kesempatan untuk terkenal, telah terbuka lebih luas dibandingkan sebelumnya. Platform seperti YouTube, Instagram, TikTok, dan Twitter memungkinkan siapa pun untuk membagikan konten secara global, yang memungkinkan orang biasa menjadi figur publik dalam waktu singkat.
ADVERTISEMENT
Internet telah menjadi jembatan utama bagi setiap orang untuk meraih ketenaran. Dengan akses yang semakin mudah, semua orang kini memiliki kesempatan untuk membagikan kreativitas, bakat, dan pendapat mereka kepada audiens yang luas di seluruh dunia. Media sosial dan platform digital seperti YouTube, TikTok, Instagram, dan Twitter memberikan panggung bagi siapa pun untuk tampil, tanpa perlu bergantung pada saluran tradisional seperti televisi atau radio.
Dua puluh tiga tahun yang lalu, saya duduk di ruang kuliah di sebuah universitas negeri di Kota Bandung, mendengarkan penjelasan dari seorang jurnalis asal Jerman. Topik diskusi hari itu adalah masa depan jurnalisme—bagaimana teknologi dan perubahan sosial akan merombak cara berita disampaikan. Di antara berbagai hal yang disampaikannya, ada satu poin yang terus terngiang di kepala saya hingga hari ini: “Suatu hari, orang biasa akan bisa menjadi terkenal. Tidak harus artis atau pejabat.”
ADVERTISEMENT
Pada masa itu, pernyataan tersebut tampak futuristik dan hampir tidak terbayangkan. Di benak banyak orang, ketenaran adalah milik para selebriti, aktor, penyanyi, atau pejabat publik yang memiliki kekuatan besar di dunia nyata. Namun, prediksi tersebut mulai terasa nyata beberapa tahun kemudian ketika reality show mulai hadir di layar kaca. Televisi memperkenalkan format baru di mana orang biasa, dengan kehidupan yang biasa pula, bisa mendapatkan sorotan. Ini adalah awal dari masa di mana media mulai melonggarkan konsep eksklusivitas ketenaran. Orang biasa yang sebelumnya tidak memiliki platform untuk menceritakan kisahnya kini mulai mendapatkan ruang—sesuatu yang sepenuhnya bertolak belakang dengan dogma jurnalisme klasik.
Kekuatan Narasi Orang Biasa
Dalam dunia yang semakin sibuk dan penuh tekanan, orang cenderung lebih menyukai konten yang ringan, lucu, atau yang bisa membuat mereka merasa terhubung dengan orang lain. Inilah yang mendorong popularitas figur-figur seperti Arif Cepmek dan fenomena lain di media sosial. Konten sederhana yang berputar di sekitar kepribadian dan interaksi sehari-hari justru menjadi daya tarik tersendiri.
ADVERTISEMENT
Arif Cepmek, misalnya, hanyalah seorang individu dengan gaya rambut dan jargon khas yang unik. Di permukaan, tidak ada hal luar biasa yang membuatnya berbeda dari orang lain. Namun, narasi yang ia bangun melalui media sosial menjadi sesuatu yang besar. Dari satu unggahan viral, ia menarik perhatian publik dan menciptakan tren yang berkembang. Tanpa perlu mengupayakan sesuatu yang spektakuler atau berlebihan, kehadirannya dalam dunia digital memberikan hiburan ringan yang digemari jutaan orang. Konten seperti ini seringkali tidak mendalam, tetapi memenuhi kebutuhan audiens akan hiburan instan yang bisa mereka konsumsi di tengah kesibukan sehari-hari.
Contoh lainnya bisa dilihat pada sosok Speed, seorang streamer video game yang menjadi viral berkat tingkah laku humorisnya saat bermain game. Speed tidak perlu menjadi seorang pemain game profesional atau artis terkenal untuk mendapatkan perhatian. Kontennya yang sederhana—seringkali hanya menampilkan dia bereaksi dengan cara yang kocak atau tidak terduga terhadap game yang ia mainkan—justru menjadi daya tarik utama. Banyak orang menonton kontennya bukan karena game yang ia mainkan, tetapi karena kepribadian dan reaksinya yang otentik. Ini membuat audiens merasa terhubung dengan pengalaman dan gaya hidup yang ia tampilkan. Dalam konteks ini, kehadiran Speed di dunia digital tepat waktu, ketika banyak orang mencari hiburan ringan yang mengundang tawa di tengah tekanan hidup.
Sumber: Instagram @ishowspeed
Fenomena semacam ini telah merombak dogma lama media yang mengharuskan adanya sesuatu yang luar biasa untuk dianggap layak tayang. Dulu, konsep berita adalah sesuatu yang harus memiliki nilai kejutan atau dampak besar untuk ditayangkan, sesuai dengan adagium klasik "man bites dog." Namun, sekarang, di era media sosial, narasi sederhana seperti seseorang dengan gaya rambut unik atau seorang streamer yang berteriak lucu saat bermain game bisa menjadi lebih viral daripada berita politik atau bencana besar. Orang mencari keterhubungan emosional dan hiburan yang bisa mereka dapatkan dengan cepat, tanpa harus melalui konten yang terlalu kompleks atau serius.
ADVERTISEMENT
Inilah yang membuat media sosial begitu kuat. Siapa pun memiliki kesempatan untuk menciptakan narasi mereka sendiri dan menyajikan diri mereka ke dunia. Orang-orang seperti Arif Cepmek dan Speed mungkin tidak memiliki akses ke jaringan media tradisional, tetapi mereka berhasil membangun audiens yang jauh lebih besar hanya dengan memanfaatkan media sosial. Mereka tidak perlu menunggu undangan dari produser televisi atau liputan khusus di majalah besar; mereka bisa langsung berkomunikasi dengan pengikutnya, menciptakan interaksi yang lebih langsung dan personal.
Perubahan ini menciptakan tantangan bagi jurnalisme tradisional. Jika dulu, media tradisional menentukan siapa yang layak untuk tampil dan cerita apa yang layak diceritakan, sekarang audienslah yang memiliki kendali penuh. Dengan satu klik atau swipe, mereka bisa memilih konten yang ingin mereka konsumsi, dan sering kali mereka lebih memilih konten yang ringan, lucu, dan relatable seperti yang disajikan oleh para social media personality. Jurnalisme mungkin perlu memikirkan kembali perannya dalam era digital ini, di mana narasi yang biasa-biasa saja pun bisa menjadi fenomenal asalkan tepat waktu, tempat, dan platform.
ADVERTISEMENT
Pergeseran Paradigma Ketenaran di Era Media Sosial
Jika pada masa itu realitas baru tentang ketenaran dimulai melalui televisi, saat ini media sosial mengambil alih. Dalam dua dekade terakhir, kita menyaksikan bagaimana seseorang bisa melambung menjadi bintang dalam semalam hanya dengan satu unggahan video atau konten viral. Orang-orang yang sebelumnya tidak dikenal oleh publik, mendadak menjadi fenomena global.
Pergeseran ini juga mengubah bagaimana kita memandang berita atau konten yang layak tayang. Pada masa lalu, salah satu prinsip jurnalisme yang diajarkan adalah konsep “man bites dog.” Berita layak tayang jika ada sesuatu yang luar biasa terjadi—seperti manusia menggigit anjing, bukan sebaliknya. Jurnalisme membutuhkan elemen keterkejutan, hal yang luar biasa, atau cerita yang memiliki dampak besar pada kehidupan banyak orang.
ADVERTISEMENT
Namun, di era media sosial, narasi ini perlahan-lahan memudar. Realitas baru adalah bahwa orang tidak lagi membutuhkan sesuatu yang istimewa untuk menarik perhatian publik. Konten “biasa-biasa saja,” atau bahkan cenderung remeh, justru mendapatkan perhatian besar jika dikemas dengan cara yang menghibur atau relatable. Orang biasa dengan gaya hidup sehari-hari yang tampak sederhana pun bisa menjadi terkenal, asalkan mereka mampu mengemas narasi yang menarik atau setidaknya memiliki elemen viral. Hal ini tentu berbeda dengan nilai berita tradisional yang mengharuskan ada sesuatu yang “layak diberitakan.”
Dengan demikian, muncul pertanyaan: Apakah jurnalisme yang kita kenal selama ini mulai terkikis oleh kemudahan distribusi konten di media sosial? Mengapa hal yang biasa atau bahkan remeh temeh seperti tingkah laku seorang streamer game, atau gaya rambut seseorang, bisa menjadi topik yang menyedot perhatian begitu besar?
ADVERTISEMENT
Jawabannya mungkin terletak pada pergeseran cara orang mengonsumsi informasi dan hiburan. Di era digital ini, orang tidak lagi hanya mencari informasi yang serius atau mendalam. Mereka juga mencari hiburan, cerita yang menghibur, dan orang-orang yang bisa mereka kenali sebagai “biasa seperti mereka.” Inilah mengapa orang-orang biasa seperti Speed atau Arif Cepmek bisa menjadi fenomena besar, bukan karena mereka menyuguhkan sesuatu yang luar biasa, tetapi karena mereka mengisi ruang yang orang cari—hiburan ringan yang mudah dikonsumsi.