Konten dari Pengguna

Asian Value: Politik Dinasti dan Korupsi

Isa Thoriq
Peminat Studi Antikorupsi, Penyuluh Antikorupsi, Anti Corruption Youth Community, PNS Pemda
26 Juni 2024 6:49 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Isa Thoriq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Asian Value jadi topik yang menarik di lalu lintas media sosial beberapa waktu lalu , dalam potongan video yang beredar tentang tayangan salah satu podcast,
ADVERTISEMENT
host dengan tegas menyatakan beberapa hal kontroversial yang menarik untuk dicermati. Host menyebutkan bahwa Asian Value versi Indonesia adalah “Korupsi”, dan “Politik Dinasti”. Sebenarnya apa yang menarik dari ungkapan tersebut?, mari kita kupas.
Terlihat akrab dan baik, tapi saling mencuri. Sumber: https://pixabay.com/id/vectors/moralitas-pencurian-rakyat-mencuri-7297653/
Diskursus mengenai Asian Value dimulai pada abad 20 yang dipromosikan oleh pemimpin politik dan intelektual di Asia. Asian Value berisi pandangan kebangkitan bangsa Asia yang dilandasi oleh nilai-nilai seperti disiplin, kerja keras, berhemat, keseimbangan dalam kebutuhan individu dan masyarakat. Anehnya, host podcast memaknai Asian Value itu berisi Politik Dinasti dan Korupsi.
Pemaknaan seperti itu sungguh diluar nalar, ketika nilai nilai kebaikan yang mampu membangkitkan sebuah bangsa kemudian di analogikan dengan perilaku memalukan yang justru dapat merusak bahkan meruntuhkan bangsa. Mestinya ketika membahas Asian Value harus dikaitkan dengan hal-hal baik di Indonesia yang bisa dibanggakan, bukan malah sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Memasukan Politik Dinasti sebagai bagian dari Asian Value memunculkan pertanyaan besar, apa betul hal itu bagian dari kebaikan masyarakat yang bisa dibanggakan?.Lihat saja beberapa daerah dipimpin oleh satu keluarga, mulai dari kakek, anak, cucu sampai menantu, bisa puluhan tahun keluarga itu menjadi penguasa di pemerintahan daerah. Bayangkan betapa digdayanya mereka yang telah berhasil memaksakan keluarganya untuk menduduki jabatan di pemerintah, melalui rekayasa yang sistematis alias culas, masyarakat dengan rela memberikan kepercayaan kepada meraka untuk memimpin .
Sudah barang tentu, tidak mungkin ada anggota keluarganya yang hidup susah, semua hidup enak, namun belum tentu dengan rakyat yang dipimpinnya. Beberapa studi menyebutkan bahwa politik dinasti ini menghambat kesejahteraan masyarakat, karena alih-alih mewujudkan kesejahteraan justru mereka akan menyiapkan segala cara untuk memperlancar bisnis keluarganya.
ADVERTISEMENT
Selain itu Politik Dinasti membuat masyarakat atau daerah menjadi tidak inovatif, karena yang menjadi aktor dibalik kepemimpinan biasanya adalah keluarga yang sebelumnya menjabat, meski kepemimpinan sudah berganti namun aroma kepemimpinanya masih sama. Tidak mungkin penerusnya mengkoreksi atau mengevaluasi periode sebelumnya, yang ada hanya “pokoknya teruskan”, disinilah terjadi kemandegan dan menutup peluang bagi adanya pembaharu karena yang terjadi adalah “lo lagi, lo lagi”.
Pelaksanaan pembangunan juga tidak akan terdistribusi secara adil, suasana kekeluargaan yang kental dalam pemerintahan membuka pintu nepotisme dengan memberikan pekerjaan pembangunan kepada anggota keluarga yang lain. Begitu juga dengan penempatan posisi strategis lainya juga akan ditempati oleh kroni-kroni keluarga tersebut.
Biasanya kalau sudah begitu akan membuka peluang besar untuk praktik korupsi. Dengan menguasai berbagai sumber kekuatan di pemerintah, maka tidak mungkin ada yang berani melakukan pengawasan. Kekuasaan yang telalu dominan tanpa adanya pengawasan yang kuat membuka peluang besar terjadinya penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi.
ADVERTISEMENT
Dampaknya akan berpengaruh terhadap kualitas layanan publik yang menurun, jalan rusak, sekolah mahal, fasilitas kesehatan buruk, dll. Pokoknya masyarakatlah yang menanggung beban saat praktik korupsi terjadi, sementara pelakunya hidup mewah dan tidak tersentuh hukum.
Korupsi sebagai asian value menurut host tersebut ternyata justru jadi masalah yang menggerogoti pemerintahan. Bahkan kalangan dunia menyatakan bahwa korupsi ini merupakan extra ordinary crime yang mempunyai dampak buruk bagi masyarakat dan negara. Lha kok bisa-bisa nya dianggap sebagai asian value. Lebih runyam lagi korupsi itu dianggap normal ketika masyarakatnya bahagia dengan praktik kotor itu alias “Korupsi asal happy”
Inilah bahayanya korupsi, dampak buruknya memang tidak dirasakan secara langsung, beda dengan pidana yang lain, misalnya pencurian sepeda motor, pemiliknya langsung merasa kehilangan seketika pencuri berhasil mengambilnya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan korupsi ini meskipun sama -sama mencuri tapi pemiliknya atau orang yang akan menggunakannya (rakyat) tidak akan menyadari atau merasakan kehilangan. Justru terkadang malah mendukung pencurinya supaya terus menerus mengambil apa yang seharusnya ia miliki, dengan begitu tanpa melalui mekanisme dapat dengan langsung menerima manfaatnya. Seperti kasus politik uang, masyarakat lebih senang menerima uang 200 rb daripada menunggu proses pembangunan sarana publik di lingkunganya, padahal uang yang diterima berasal dari hasil korupsi anggaran pembangunan.
Dengan kondisi seperti itu tidak bisa dipungkiri korupsi di Indonesia sangat memprihatinkan. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia menguatkan anggapan itu, sudah 1 dekade Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan ditunjukan dengan tren nilai IPK yang stagnan.
Dengan demikian, anggapan politik dinasti dan korupsi sebagai Asian Value versi Indonesia lebih tepat digunakan sebagai sindiran, karena kedua nya bukan hal yang bisa dibanggakan yang tentu saja tidak bisa menjadi kunci sukses kebangkitan bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun, jika betul keduanya ini sengaja dikonstruksi sedemikian rupa untuk menjadi Asian Value maka sesungguhnya kita benar-benar celaka.