Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kebahagiaan untuk Menyakiti? Apakah Pernikahan Sebuah Solusi?
6 Agustus 2020 20:53 WIB
Tulisan dari Faisal Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Muda Mudi di usia kisaran 20-25 tahun atau dengan asumsi ideal menikah itu 20-30 tahun, yang mulai dihinggapi kejenuhan dan kegelisahan dalam kehidupannya karena merasa masih "sendiri", mulai berani mengambil tindakan/keputusan singkat/instan atau bahkan berspekulasi, yaitu dengan melangsungkan akad "pernikahan". Entah itu ada maksud tertentu ataukah mungkin tidak ada pilihan lain.
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, saya melakukan riset kecil-kecilan dan hasilnya sedikit mencengangkan, ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Hasil riset saya ini menemukan, bahwa justru dengan menikah hanya menambah masalah baru dan hanya ingin berhubungan seks setiap saat. Namun hal ini tidak berlaku bagi mereka yang belum menikah melainkan sebaliknya, alasannya tentu karena belum mencoba dan mengalaminya.
Indikator lain yang menjadi pertimbangan para muda - mudi mengambil tindakan cepat/instan dengan pernikahan adalah karena faktor lingkungan dan sindiran. Dua hal ini selalu menjadi potret utama cikal bakal pernikahan. Ada juga faktor lain, bagi sebagian kelompok, dengan keyakinan dan kepercayaan yang dianutnya, bahwa pernikahan adalah sebuah ibadah. Ini tidak salah, namun bagi para pemikir bebas (free thinkers) faktor ini sedikit tidak berlaku, begitupun juga bagi orang yang "open minded", karena hal ini dianggap sedikit menyimpang dan terlalu gegabah dalam mengambil keputusan.
ADVERTISEMENT
Paling tidak ada empat point yang menjadi landasan para pemikir bebas dan orang-orang "open minded" di atas, yaitu:
1. Tidak percaya setelah menikah akan baik-baik saja, atau bisa saja percaya, namun belum mau menjalankannya karena beragam alasan/faktor. Misalkan karena faktor "Orang Tua" nya yang tidak mencerminkan kehidupan rumah tangga yang diharapkan (disharmonis), ditambah lagi banyaknya kasus perceraian dini menjadi bahan pertimbangan. Singkatnya, "Divorce is Trigger".
Banyak di antara mereka juga yang tidak benar-benar mempunyai pengetahuan yang cukup tentang apa itu pernikahan. Kebanyakan dari mereka memilih menikah hanya karena ingin melakukan hubungan seksual, dan hanya karena sebuah pertanyaan klasik dari lingkungan dan juga sindiran dari orang terdekat, bukan karena mengerti tentang konsep pernikahan.
ADVERTISEMENT
2. Populasi. Bagi para free thinkers dan orang-orang "open minded" tadi, bagi mereka belum mau menikah karena sadar akan menambah jumlah populasi penduduk. Jika populasi terus meningkat, tentu akan meningkatkan daya konsumsi, kebutuhan makanan akan terus bertambah, juga angka produksi makanan akan meningkat, dan memperbanyak hidangan makanan siap saji (junk food) akan mempercepat pertumbuhan hewan untuk dibunuh kemudian dimakan (vegan).
3. Menolak Tua. Dewasa adalah pilihan, tapi tua adalah kepastian. Jangan diartikan belum mau menikah itu tidak dewasa, mereka hanya ingin terlihat masih muda saja. Coba hargailah pendapat itu. Kalau sudah menikah bisa dipastikan atau besar kemungkinan seorang wanita atau laki-laki akan terlihat semakin tua.
4. Mendukung segala sesuatu yang berkaitan dengan "kebebasan" (freedom).
Di saat yang sama, banyak dari kita, terutama teman-teman dekat yang "ngehe", "jancuk", "tengil", melontarkan pertanyaan-pertanyaan klasik dan absurd, seperti:
ADVERTISEMENT
"Kapan nyusul bro? Tinggal lu doang nih". Atau "Lu kapan bro? Udah umur segini masih aja sendiri?", dan seterusnya. Sampai akhirnya muncul pertanyaan dari soal seksualitas hingga keberkahan. Lah emang menikah itu hanya soal umur? Engga gitu juga, menikah itu soal waktu, ilmu, dan kepantasan serta takdir. Udah lah gak usah sibuk nanya-nanya begitu, cukup doakan saja dalam hati dan kasih support. Ini lebih fair (adil) menurut saya.
Masihkah pernikahan menjadi kunci mutlak dari kedewasaan sampai kemanusiaan. Ataukah menikah masih relevan untuk diterapkan. Ataukah menikah itu hanya jawaban dari sebuah kejenuhan, kegelisahan kehidupan. Atau bahkan kegagalan menuju kedewasaan.
Mungkin masih, tapi masih ada satu pertanyaan besar, yang biasa dilontarkan oleh orang yang "Tiba-Tiba Dewasa" hanya karena sudah menikah, dengan alasan agama. Bukankah menurut agama, pernikahan itu bagian dari ibadah? Tuhan akan memberikan rezeki lebih, nikmat dunia akhirat, dan seterusnya. Tapi pertanyaannya, disaat yang sama, pada kenyataannya, mengapa masih ada perceraian? That's logic.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan terakhir yang mungkin setelah membaca tulisan ini sebagian dari kita bisa menjawab akhir dari perdebatan yang panjang soal "pernikahan" ini:
Solusi Pernikahan apa yang bisa membentuk Rumah Tangga yang diharapkan atau mungkin kekecewaan yang terlampiaskan dari gejolak percintaan?
Mbok ya gak usah tanya-tanya kapan nikah, toh kalo udah waktunya nanti juga bakal nyebarin undangan. Kan begitu. Cukup doakan saja. Adagium di bawah ini menarik:
"كل شئ يأتي فى الوقت الذي يراه الله مناسبا لنا"
(Kullu Syai'in Ya'tii Fii Al-Waqti Al-Ladzi Yarohullahu Munasiban Lana).
"Semua akan tiba masanya ketika Allah sudah menganggap pantas untuk kita".
Kamis Malam jumat yang Katanya Malam Keramat Bagi Para Pasangan Pernikahan, 6 Agustus 2020.
ADVERTISEMENT
Ditulis oleh orang yang sedang menikmati kesendirian dan pernah menjadi korban kelabilan dan kerumitan hubungan percintaan.