Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kedaulatan Beragama dalam Konteks Indonesia
25 Agustus 2020 20:39 WIB
Tulisan dari Faisal Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Karena terpaan isu fundamentalisme dan terorisme, tema mengenai kedaulatan agama, seringkali hilang dan bias makna. Kita semua tahu, bahwa tulang punggung kemerdekaan Indonesia ditopang oleh kaum beragama (agamawan). Sejarah mencatat, perlawanan yang kuat terhadap fundamentalisme penjajah dilakukan oleh mereka yang memiliki basis ideologi keagamaan, sebut saja misalnya perlawanan Pangeran Diponegoro adalah perlawanan yang elannya adalah elan keagamaan. Juga perang-perang lain yang didorong oleh semangat Jihad karena ingin bebas dan merdeka dari cengkraman Kolonial penjajah. Dengan kata lain, Indonesia tidak akan pernah merdeka tanpa hadirnya kaum beragama (agamawan).
ADVERTISEMENT
Interpretasi dari sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” bisa bermakna bahwa bangsa Indonesia atau para pendiri republik ini percaya, yakin, bahwa Tuhan itu hadir dan membersamai mereka dalam setiap napas perjuangan pergerakan merebut kemerdekaan Indonesia. Kemudian diperkuat dalam konstitusi yang bunyinya “…atas berkat Rahmat Allah (Tuhan) Yang Maha Kuasa….” Artinya, semua pergerakan yang dilakukan ada orientasi spiritualisme di dalamnya.
Hari ini, kedaulatan agama itu bias makna bahkan hampir hilang, karena Sebagian masyarakat kita lebih percaya kepada isme-isme impor dari luar, orang-orang lebih percaya kepada fundamentalisme agama, terorisme, orang-orang lebih percaya kepada agama-agama “kulit” daripada agama “substansi”, oleh karenanya nilai-nilai Keindonesiaan terutama aspek-aspek spiritualisme mengalami defisit yang luar biasa. Akibatnya, keagamaan masyarakat kita terjebak kepada hal-hal yang remeh dan sepele. Misalnya, apakah dia jidatnya hitam atau tidak, apakah pakaiannya cingkrang atau tidak, apakah ziarah kubur itu bid’ah atau bukan, apakah itu halal atau haram. Pertanyaan-pertanyaan itu penting, namun sebenarnya bukan yang paling penting. Mengapa? Sebab yang paling penting adalah apa yang harus kita kontribusikan, korbankan, sebagai orang beragama dalam konteks memastikan Indonesia benar-benar merdeka, terbebas dari kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan, serta ketidakadilan sosial.
ADVERTISEMENT
Seseorang Bertuhan menjadi hebat apabila sikap dan pemikirannya berkaitan erat dengan empat dasar dinamis, yaitu: Bertuhan yang Mencerdaskan, Bertuhan yang Melindungi, Bertuhan yang Mensejahterakan, dan Bertuhan yang Menertibkan. Jika tidak demikian, maka kita Bertuhan sesungguhnya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh para pendiri republik ini.
Sebagai orang beragama, semestinya kita mampu memastikan Indonesia Raya. Agama yang dianut harus menjadi daya motivasi atau semangat, bukan menjadi daya rusak yang saling dihadapkan antara satu agama dengan agama lain, antara satu kepercayaan dengan kepercayaan yang lain, tapi justru harus saling merangkul, saling melindungi, saling mensejahterakan, saling mencerdaskan, sehingga kehidupan beragama menjadi kehidupan Nusantara Indonesia.
Sebagai orang beragama, kita mesti memahami sebuah lingkaran pemahaman, bahwa aku Muslim karena ada yang Kristiani, aku Kristiani karena ada Yahudi, aku Yahudi karena ada Buddha, aku Buddha karena ada Hindu, dan aku Hindu karena ada Konghucu, begitulah menjadi Indonesia, menjadi Bhineka Tunggal Ika. Bhineka Tunggal Ika ini sesungguhnya adalah ekspresi kedaulatan kebudayaan tertinggi karena walaupun kita berbeda agama, budaya, suku, ras, tidak sama spiritualismenya, tidak sama cara beribadahnya, tetapi tujuannya sama yaitu memanusiakan manusia sesama untuk merealisasikan kehidupan yang berPancasila. Agensi Pancasila, agensi Indonesia, agensi Nusantara, adalah agensi yang memastikan dalam dirinya terpatri nilai-nilai kebhinekaan.
ADVERTISEMENT