UU Ciptaker: Nirguna Wakil Rakyat, Nirkebahagiaan Rakyat

Faisal Wibowo
Mahasiswa Universitas Paramadina Jakarta
Konten dari Pengguna
8 Oktober 2020 7:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faisal Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah mahasiswa mengikuti aksi long march di kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur, Rabu (7/10/2020). Foto: ASPRILLA DWI ADHA/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah mahasiswa mengikuti aksi long march di kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur, Rabu (7/10/2020). Foto: ASPRILLA DWI ADHA/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Nirguna Wakil Rakyat
Pasca pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja, tsunami kritik yang menyebabkan terjadinya gejolak penolakan datang silih bergelombang, mulai dari akademisi hingga buruh pabrik. Namun tidak sedikit juga kelompok masyarakat yang satu frekuensi dengan pemerintah mendukung pengesahan Undang-undang tersebut.
ADVERTISEMENT
Mereka yang menolak tentu menilai kebijakan ini merugikan rakyat, menyengsarakan buruh, pro asing dan aseng, bahkan ada yang menyebut Undang-undang ini produk atau titipan dari elit dan oligarki.
Sementara mereka yang mendukung, mengklaim masyarakat khususnya para buruh dan pekerja akan menerima manfaat setelah disahkannya Undang-undang ini. Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto, yang mewakili pemerintah mengatakan, bahwa RUU Cipta Kerja diperlukan guna meningkatkan efektifitas birokrasi dan memperbanyak lapangan kerja. Menurut politisi Partai Golkar itu, Undang-Undang tersebut diyakini akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah.
Jika dilihat dari masifnya arus gelombang tsunami penolakan yang muncul, terlihat jelas ini merepresentasikan penolakan dari sebagian besar rakyat Indonesia. Hal ini diperkuat oleh gencarnya aksi demonstrasi penolakan di berbagai daerah.
ADVERTISEMENT
Saat artikel ini ditulis, gelombang unjuk rasa penolakan dari berbagai elemen mahasiswa, serikat buruh, dan LSM masih terus terjadi dan menjadi headline berita berbagai media. Tuntutan yang disampaikan oleh para demonstran adalah agar Presiden menerbitkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (PERPPU) membatalkan Undang-undang Cipta Kerja.
Paling tidak ada delapan materi UU Omnibus Law Cipta Kerja yang menuai kritik publik, yaitu: Kawasan Ekonomi Khusus (KEK); Penanaman Modal; Lembaga Pengelola Investasi; Bebas Pajak untuk Pekerja Asing; Pesangon untuk PHK menurun; Asing Diberikan Izin dan Akses untuk Punya Rumah Susun; Kontrak Kerja Seumur Hidup; dan Potensi Memudahkan Perusahaan Mem-PHK Karyawan.
Fakta di atas menunjukkan bahwa pengesahan RUU Cipta Kerja banyak merugikan masyarakat, hal ini dianggap sebagai puncak pengkhianatan negara terhadap rakyat, hak buruh, petani, masyarakat adat, perempuan, dan lingkungan, serta generasi mendatang.
ADVERTISEMENT
Di saat yang bersamaan, semoga saja ini bukan pengalihan isu di tengah carut-marutnya penanganan pandemi Covid-19, tapi sebagai bukti bahwa Wakil Rakyat hadir dan bekerja sekalipun tidak mencerminkan hati nurani yang mewakili rakyat, namun justru menunjukkan kesan bahwa wakil rakyat semakin jauh dan tidak memihak untuk rakyat.
Secara tersirat terlihat jelas, bahwa dunia perpolitikan sekarang ini sudah dikuasai oleh sekelompok elit dan oligarki politik. Melihat tingkah laku yang ditunjukkan oleh para anggota DPR yang terhormat itu, terlihat terang bahwa Wakil Rakyat hari ini “nirguna”, tidak berguna, tidak bermanfaat untuk rakyat, kinerjanya tidak merepresentasikan kepentingan “wong cilik”, tidak mendengar aspirasi rakyat, buruh dan pekerja, tapi lebih mendengar dan mementingkan kepentingan elit, oligarki dan kapitalis.
ADVERTISEMENT
Nirkebahagiaan Rakyat
Visi dalam Pancasila adalah mewujudkan perikemanusiaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Menurut Bung Hatta, jika diperas lagi menjadi satu kata, maka itulah yang disebut kebahagiaan.
Artinya, visi bangsa Indonesia dalam bernegara adalah membahagiakan semua orang. Kebahagiaan ini selalu bergerak dalam ruang dan waktu. Pada mulanya kebahagiaan itu diciptakan untuk kepentingan projek pribadi, sampai akhirnya John Stuart Mill memimpikan “Total Happiness”, artinya kebahagiaan bagi semua orang.
Menurut Mill, negara harus hadir dalam upaya membahagiakan rakyatnya. Oleh karena itu, dalam konteks konstitusi negara kita, pemerintah dan wakil rakyat lah yang memiliki tanggung jawab untuk menjamin kebahagiaan rakyatnya.
Teringat satu teori yang dicetuskan oleh seorang Futurolog bernama Prof. John Naissbit, yang pernah mengatakan, bahwa jika ingin membuat suatu bangsa bersatu dan kuat, maka harus menciptakan apa yang disebut dengan “Common Happinesatau kebahagiaan bersama.
ADVERTISEMENT
Di tengah pandemi Covid-19, seharusnya Pemerintah bersama Wakil Rakyat merumuskan dan merancang sebuah agenda besar yang bisa mempersatukan dan membahagiakan rakyatnya, bukan malah sebaliknya yang muncul justru nirkebahagiaan rakyat.