Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Sadar Penuh Hadir Utuh: Penyesalan Masa Lalu Ke Penerimaan Saat Ini
4 Desember 2024 13:33 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ishida Ayumi Yoko Nagayama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seharusnya aku begini!
Seharusnya aku begitu!
Seandainya aku tidak melakukannya, pasti penyesalan ini tidak akan muncul.
ADVERTISEMENT
Seandainya aku melakukannya, pasti penyesalan ini tidak akan muncul.
Jika aku memulainya lebih awal, aku pasti akan berhasil!
Jika aku memutuskan untuk tidak memulainya, aku pasti tidak akan menyesal seperti sekarang!
Setiap orang pasti pernah mengalami penyesalan, dalam konteks yang berbeda-beda. Menyesal karena tidak mendapatkan keinginan yang dimiliki, menyesal karena tidak dapat memulai lebih dulu, menyesal karena telah mengecewakan orang lain, menyesal karena telah mengecewakan diri sendiri, dan masih banyak lagi. Setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi penyesalan. Ada yang berhasil dan ada juga yang terus terbebani oleh emosi tersebut. Penyesalan bukanlah emosi yang mudah untuk dihilangkan, banyak orang sangat menderita karena terus menerus terjebak dalam penyesalan. Lalu apa yang dapat dilakukan untuk menghadapi penyesalan? Apakah mindfulness dapat membantu kita untuk menghadapi emosi penyesalan? Dan apakah penyesalan akan hilang dengan kita mempraktikkan mindfulness?
ADVERTISEMENT
Sebelum kita membahas mengenai mindfulness, mari kita bahas mengenai apa itu penyesalan. Menurut KBBI, penyesalan adalah perasaan menyesal (menyesali), yang mana menyesal didefinisikan sebagai perasaan tidak senang atau tidak bahagia (susah, kecewa, dan sebagainya) karena telah melakukan sesuatu yang kurang baik. Menurut Zeelenberg dan Pieters (2007) penyesalan (regret) adalah emosi yang mengarahkan perilaku seseorang, penyesalan bukan hanya reaksi afektif dari hasil keputusan yang salah/buruk. Zeelenberg dan Pieters (2007) juga mendefinisikan penyesalan (regret) sebagai emosi kognitif yang dialami oleh individu, yang mana ketika emosi tersebut dirasakan terdapat keinginan untuk menghindari, memendam, menyangkal, dan mengatur. Penyesalan (regret) dikategorikan sebagai emosi negatif dan lebih dekat dengan sadness (Richins, 1997).
Setelah kita membahas mengenai penyesalan, mari kita bahas mengenai mindfulness, apa sih mindfulness itu. Menurut Kabat-Zinn (1990) mindfulness adalah praktik yang memusatkan perhatian penuh pada momen saat ini, yang dilakukan dengan sengaja dan tanpa penilaian. Mindfulness juga didefinisikan sebagai sadar penuh hadir utuh (Silarus, 2015). Dalam pemberian atensi oleh individu disertai dengan penerimaan (acceptance) terhadap pengalaman yang dialami (Hayes dkk., 2004). Jadi mindfulness dapat berarti kita memberikan perhatian penuh ke masa kita saat ini, pada saat memberikan perhatian penuh tersebut, tidak ada upaya untuk mengubah pemikiran, sensasi tubuh, maupun afek yang muncul dari pengalaman yang dialami.
ADVERTISEMENT
Lalu dengan definisi mindfulness tersebut, bagaimana kita menghadapi penyesalan yang kita rasakan? Untuk mengatasi emosi-emosi negatif yang kita rasakan, biasanya kita disuruh menghadapi emosi-emosi tersebut dengan melakukan regulasi emosi. Apakah mindfulness dapat menjadi salah satu strategi untuk meregulasi emosi?
Dengan tidak adanya usaha untuk mengubah respons terhadap pengalaman emosional dalam praktik mindfulness, dapat mengurangi respon dengan cara-cara yang reaktif pada individu (Yusainy dkk., 2018). Afek positif maupun afek negatif lebih dekat ke netral dengan mindfulness, hal ini terjadi karena individu tidak terlalu terikat pada atau berusaha menghindari pengalaman yang sedang mereka alami (Hayes & Feldman, 2004). Afek positif adalah emosi yang menyenangkan dan afek negatif adalah emosi yang tidak menyenangkan. Emosi penyesalan termasuk ke dalam afek negatif. Komponen acceptance pada mindfulness digolongkan sebagai strategi regulasi emosi (Dan-Glauser & Gross, 2015).
ADVERTISEMENT
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Oviedo dkk. (2023) membahas mengenai pengaruh mindfulness terhadap penyesalan (regret). Dari penelitian tersebut dihasilkan bahwa terdapat 75% partisipan mampu menenangkan diri, memproses pengalaman penyesalan yang dialami, dan mencapai pemahaman dan atau penerimaan yang lebih baik terhadap diri mereka. Penelitian tersebut dilakukan dengan menerapkan praktik mindfulness yaitu meditasi. Meditasi adalah praktik formal mindfulness (Goyal, 2014). Dengan penelitian tersebut kita dapat mengetahui mindfulness berpengaruh untuk menghadapi penyesalan (regret). Namun dari penelitian tersebut kita juga dapat mengetahui bahwa tidak 100% partisipan yang mendapatkan pengaruh dari penerapan mindfulness, yang mengartikan tidak semua orang cocok dengan penerapan mindfulness.
Mindfulness sebagai strategi regulasi emosi dapat menjadi salah satu pilihan untuk menghadapi penyesalan (regret). Namun, penerapan mindfulness tidak selalu menjamin bahwa semua orang yang mencobanya akan berhasil mengatasi emosi penyesalan yang dirasakan. Meski demikian, strategi ini dapat membantu individu dalam memproses pengalaman penyesalan yang dialami, memperoleh pemahaman yang lebih mendalam, dan mencapai penerimaan diri yang lebih baik. Penting untuk diingat bahwa mindfulness tidak bertujuan untuk menghilangkan penyesalan, tetapi membantu individu menerima pengalaman tersebut tanpa penilaian negatif yang berlebihan.
ADVERTISEMENT
Setelah membaca penjelasan diatas, apakah kamu tertarik untuk menerapkan mindfulness?
Referensi
Dan-Glauser, E. S., & Gross, J. J. (2015). The temporal dynamics of emotional acceptance: Experience, expression, and physiology. Biological Psychology, 108, 1–12. https://doi.org/10.1016/j.biopsycho.2015.03.005
Goyal, M., Singh, S., Sibinga, E. M., Gould, N. F., Rowland-Seymour, A., Sharma, R., ... & Haythornthwaite, J. A. (2014). Meditation programs for psychological stress and well-being: a systematic review and meta-analysis. JAMA internal medicine, 174(3), 357-368.https://doi.org/10.1001/jamainternmed.2013.13018
Hayes, S. C., Follette, V. M., & Linehan, M. (2004). Mindfulness and acceptance: Expanding the cognitive-behavioral tradition. Guilford Press.
Kabat-Zinn, J. (1990). Full catastrophe living: using the wisdom of your body and mind to face stress, pain and illness. Delacorte Press.
ADVERTISEMENT
KBBI VI daring. (n.d.). https://kbbi.kemdikbud.go.id/
Richins, M. L. (1997). Measuring emotions in the consumption experience. Journal of Consumer Research, 24, 127-157.
Silarus, A. (2015). Sadar penuh, hadir utuh. TransMedia Pustaka.
Yusainy, C., Ilhamuddin, I., Ramli, A. H., Semedi, B. P., Anggono, C. O., Mahmudah, M. U., Ramadhan, A. R. (2018). Between here-and-now and hereafter: Mindfulness sebagai pengawal orientasi terhadap kehidupan dan ketakutan terhadap kematian. Jurnal Psikologi, 17(1), 18-30. https://doi.org/10.14710/jp.17.1.18-30
Zeelenberg, M., & Pieters, R. (2007). A theory of regret regulation 1.0. Journal of Consumer psychology, 17(1), 3-18.