Konten dari Pengguna

Pajak atas Penggunaan Plastik di Daerah: Solusi untuk Lingkungan

Ishom Dhiya'Uddin
Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Keuangan RI Mahasiswa Aktif di Politeknik Keuangan Negara STAN
10 Februari 2025 14:02 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ishom Dhiya'Uddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sampah plastik memenuhi tepihan pantai di Cilincing, Jakarta Utara. ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah
zoom-in-whitePerbesar
Sampah plastik memenuhi tepihan pantai di Cilincing, Jakarta Utara. ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah
ADVERTISEMENT
Daerah: Solusi untuk Lingkungan yang Lebih Baik
Plastik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Dari kantong belanja hingga kemasan makanan, plastik digunakan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Kantong plastik banyak digunakan sebagai pembungkus barang ketika belanja di warung, toko, atau di supermarket. Bagi supermarket, kantong plastik merupakan sarana pembungkus yang multi guna. Di samping fungsinya sebagai pembungkus, kantong plastik juga bisa digunakan sebagai sarana promosi media yang efektif. Semakin banyak kantong plastik berlogo supermarket tertentu di beredar di masyarakat, atau berserakan di sarana publik, seperti taman, jalanan, selokan atau bahkan di tempat pembuangan sampah, menunjukkan semakin larisnya supermarket tersebut. Tidak mengherankan apabila toko atau supermarket sangat royal dalam memberikan kantong plastik secara gratis untuk para pembeli.
ADVERTISEMENT
Karena penggunaannya yang sangat tinggi, plastik juga memiliki pengaruh positif terhadap perekonomian di Indonesia. Plastik merupakan salah satu dari 5 komoditi yang paling berkontribusi pada output manufaktur di Indonesia setelah makanan, bahan kimia, motor, dan logam dasar. Plastik dan karet menyumbang hingga 5,37% dari total output sektor manufaktur di Indonesia terutama pada kategori output manufaktur menurut survey dari Badan Pusat Statistik (BPS). Gross output produksi karet dan plastik mencapai Rp22,74 miliar pada tahun 2022 atau turun sebesar Rp1,87 miliar dibandingkan dengan tahun 2021.
Namun, dampak negatif plastik terhadap lingkungan semakin nyata, terutama dengan meningkatnya jumlah limbah plastik yang sulit terurai. Dengan waktu penguraian hingga ratusan tahun, plastik menjadi momok mematikan bagi ekosistem karena dampaknya yang sangat fatal yaitu mencemari lingkungan hidup. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, limbah plastik di Indonesia mencapai 66 juta ton pertahun, 7 persen di antaranya akan didaur ulang, 69 persen menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA), dan 24 persen sisanya dibuang sembarangan oleh masyarakat sehingga mencemari lingkungan. Sampah yang dibuang di tanah dengan sembarangan akan mengganggu ekosistem lingkungan hidup seperti tumbuhan ataupun hewan darat lainnya. Pembuangan sampah ke sungai juga akan mengakibatkan masalah seperti aliran sungai yang terhambat sehingga menyebabkan banjir di berbagai daerah, seperti pada Ibukota Jakarta atau Surabaya. Selain itu, pembuangan sampah ke sungai dapat menyebabkan sampah terbawa hingga ke lautan. Sampah tersebut nantinya akan mengganggu ekosistem laut. Tak jarang sampah tersebut kembali lagi ke bibir pantai dan membuat kotor pantai-pantai di Indonesia. Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah memerlukan sebuah instrumen atau kebijakan untuk mengatur dan mengendalikan permasalahan sampah plastik yang telah merusak lingkungan.
ADVERTISEMENT
Salah satu instrumen yang dapat dipakai untuk mengendalikan penggunaan sampah adalah pengenaan pungutan pajak atas penggunaan plastik. Karena plastik memiliki eksternalitas negatif yang cukup tinggi, maka pungutan pajak tersebut sangat sesuai untuk diterapkan di berbagai daerah di Indonesia, terutama daerah-daerah dengan tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi seperti pada Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dan daerah lainnya. Selain untuk menekan penggunaan plastik, pungutan pajak plastik juga dapat menjadi sumber penerimaan baru untuk suatu daerah sebagai pendapatan asli daerah (PAD). Masifnya penggunaan plastik di berbagai macam daerah menunjukkan kemungkinan potensi pendapatan asli daerah (PAD) yang cukup besar. Namun, Indonesia saat ini belum memiliki instrumen untuk mengatur pemajakan terkait penggunaan plastik di daerah- daerah karena landasan hukum pengenaan pungutan pajak plastik belum disahkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
Konsep pungutan pajak atas penggunaan plastik sebenarnya telah dilakukan oleh beberapa negara di dunia. Negara di Asia seperti Vietnam telah menerapkan cukai atau pajak atas penggunaan kantong plastik yang tidak dapat terurai secara alami sejak tahun 2012. Penerapan pajak atau cukai atas plastik tersebut merupakan bentuk komitmen yang dilakukan oleh pemerintah Vietnam dalam mewujudkan ekonomi hijau dan ramah lingkungan, agar dapat menyukseskan net-zero emissions di negara-negara ASEAN pada tahun 2050 mendatang. Pemerintah Vietnam menerapkan tarif pajak (tax rate) sebesar $1.97 atau sekitar Rp32,300 per kilogram pemakaian kantong plastik. Serupa dengan Vietnam, Hong Kong juga menerapkan pungutan sebesar HK$1 setiap kantong plastik. Tarif tersebut mulai berlaku pada tahun 2022 dari sebelumnya yang berada pada angka HK$0.5 atau sekitar Rp1,051 per kantong plastik. Pungutan tersebut bertujuan agar mengurangi sampah plastik dan menjadikan Hong Kong sebagai kota yang ramah lingkungan.
ADVERTISEMENT
Negara-negara di Eropa juga telah menerapkan pungutan terhadap penggunaan sampah plastik di negaranya. Europe Union (EU) telah menerapkan pungutan atas sampah plastik yang tidak dapat didaur ulang lagi sejak tahun 2021. Tarif dari pungutan tersebut adalah tarif tetap yaitu sebesar €0.80 atau sebesar Rp13,480 per kilogram plastik. Selanjutnya pendapatan yang diterima atas pungutan plastik tersebut akan dimasukkan ke dalam anggaran EU. Irlandia telah menerapkan pajak atas plastik sejak tahun 2002 dengan tarif €0.15 (Rp2.527) per kantong plastik dan telah dinaikkan menjadi €0.22 (Rp3,707) per kantong plastik sejak tahun 2006. Alasan kenaikan tarif tersebut karena konsumsi kantong plastik di Irlandia mengalami kenaikan, sehingga pemerintah Irlandia segera menaikkan tarif pajak plastik sebagai Upaya untuk mengurangi penggunaan plastik di negaranya. Denmark juga telah membatasi penggunaan kantong plastik dan telah memungut sebesar DKK4 (€0.52) atau sebesar Rp1,171 sejak 1 Januari 2021 lalu.
ADVERTISEMENT
Dengan contoh penerapan pajak atau pungutan pada penggunaan plastik di beberapa negara tersebut, Indonesia sangat sesuai untuk mengimplementasikannya, terutama saat negara kita memerlukan penerimaan tambahan akibat efisiensi anggaran khususnya untuk transfer ke daerah. Masing-masing daerah dapat menerapkan pungutan pajak berdasarkan penggunaan plastik yang digunakan oleh masyarakat di wilayahnya, seperti penggunaan plastik untuk kawasan perbelanjaan, kawasan pertokoan, ataupun di restoran dan rumah makan. Pengenaannya dapat diterapkan pada setiap pembelian kantong plastik, dengan dasar pengenaan pajak (DPP) sebesar nilai pembelian plastik tersebut. DPP tersebut lalu dapat dikalikan dengan tarif yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pemerintah. Contoh, apabila sebuah kantong plastik di pusat perbelanjaan adalah sebesar Rp100 dan tarif pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah adalah sebesar 20%, maka pajak yang harus dipungut adalah sebesar Rp20. Jadi total harga yang akan dibayarkan oleh konsumen adalah sebesar Rp120. Selain menggunakan harga plastik sebagai dasar pengenaan pajak (DPP), pungutan pajak atas plastik dapat menggunakan skema tarif pajak tetap yang artinya pajak diterapkan dengan nilai yang sama tanpa memandang harga atau nominal transaksi. Contoh penerapannya adalah setiap kantong plastik yang diserahkan oleh penjual akan dikenakan pajak dengan tarif tetap sebesar Rp30, terlepas dari berapa harga plastik atau harga pembelian barangnya. Kedua cara tersebut nantinya akan memberikan penambahan harga ke plastik yang diserahkan. Diharapkan dengan penambahan harga tersebut, dapat menurunkan penggunaan plastik di masyarakat dan mendorongnya untuk beralih ke alternatif yang lebih ramah lingkungan, seperti tas kain atau kemasan biodegradable. Selain menurunkan tingkat penggunaan plastik, daerah juga akan mendapatkan pendapatan asli daerah baru yang dapat membantu daerah dalam membangun wilayahnya.
ADVERTISEMENT
Meskipun memiliki manfaat yang sangat besar, kebijakan pungutan pajak atas penggunaan plastik juga memiliki beberapa tantangan, seperti resistensi dari pihak industri, alternatif lain yang kurang terjangkau, kurangnya kesadaran masyarakat, dan berisiko tinggi akan menurunkan perekonomian. Produsen plastik tentu akan menentang dengan keras kebijakan tersebut, karena akan mengurangi pendapatan mereka. Selain itu alternatif pengganti plastik dirasa kurang terjangkau oleh kebanyakan masyarakat karena harganya yang cenderung lebih mahal. Padahal alternatif pengganti plastik seperti tas kain dapat digunakan berulang kali dan secara matematis akan lebih menguntungkan bagi masyarakat karena lebih ekonomis. Namun, karena kesadaran masyarakat yang kurang, akan membuat mereka tetap memilih kantong plastik dan enggan beralih ke alternatif lainnya. Tantangan terakhir adalah penerapan pajak atas penggunaan palstik dapat berisiko menurunkan perekonomian nasional. Plastik sendiri menyumbang lebih dari 5% atas output sektor manufaktur di Indonesia. Berkurangnya penggunaan plastik berisiko akan mengguncang perekonomian karena produksi plastik yang menurun. Namun penulis merasa kemungkinan terjadi hal tersebut sangatlah kecil, karena apabila sektor manufaktur plastik menurun, maka sektor manufaktur alternatif plastik akan naik, sehingga tidak akan berdampak signifikan bagi perekonomian nasional.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya adalah pungutan pajak atas penggunaan plastik di beberapa daerah di Indonesia merupakan salah satu instrumen terbaik untuk mengendalikan penggunaan plastik (fungsi regulerend) dan menambah pendapatan asli daerah (fungsi budgetair). Meskipun memiliki tantangan tersendiri, seperti resistensi dan kesadaran yang minim, penerapannya tetap diperlukan karena kerusakan alam karena sampah plastik telah memasuki kondisi yang memprihatinkan. Dengan dukungan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah diharapkan dapat mengimplementasikan kebijakan tersebut dan mengurangi penggunaan plastik di daerahnya masing-masing.