news-card-video
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Aktualisasi Republikalisme: Masih adakah harapan?

Iskan Habibi
Magister Hukum Bisnis & Kenegaraan Universitas Gadjah Mada
24 Maret 2025 10:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iskan Habibi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tentang Republikalisme dan Wakil Rakyat sebagai penyambung lidah masyarakat. Sumber: OpenAI
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tentang Republikalisme dan Wakil Rakyat sebagai penyambung lidah masyarakat. Sumber: OpenAI
ADVERTISEMENT
Pasca reformasi, Indonesia tetap mempertahankan sejumlah prinsip dasar yang telah dirumuskan sejak sidang BPUPKI, salah satunya adalah Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 yang menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Para founding fathers memahami bahwa persatuan adalah kunci kekuatan bangsa, sehingga bentuk negara kesatuan dipilih untuk menghindari perpecahan. Namun, pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan: apakah cita-cita republik sebagaimana diamanatkan konstitusi sudah benar-benar terwujud?
ADVERTISEMENT
Terlebih di tengah gelombang penolakan terhadap berbagai kebijakan pemerintah, masyarakat justru semakin jarang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Aspirasi rakyat seolah hanya dianggap sebagai riak kecil yang pada akhirnya akan mereda dengan sendirinya dalam hitungan minggu. Pola seperti ini terus berulang, mencerminkan bagaimana suara rakyat kerap diabaikan. Ironisnya, wakil rakyat yang seharusnya menjadi jembatan antara masyarakat dan pemerintah justru tak bisa diharapkan, seolah mereka telah melupakan peran utamanya sebagai penyambung lidah rakyat.
Makna Republik dan Realitas yang Terjadi
Secara filosofis, republik bukan hanya sekadar bentuk pemerintahan, tetapi juga sebuah prinsip dalam bernegara. Pandangan Robertus Robert dalam bukunya Republikalisme, republik menuntut adanya res publica, bahwa kekuasaan dipegang demi kepentingan publik, bukan kelompok atau individu tertentu. Dalam sistem ini, kekuasaan harus dijalankan dengan prinsip virtue (kebajikan) dan civic participation (partisipasi warga negara).
ADVERTISEMENT
Namun, realitas di Indonesia justru memperlihatkan hal yang bertolak belakang. Demokrasi yang seharusnya menjadi jalan bagi keterwakilan rakyat malah sering kali dikendalikan oleh elite politik yang lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Kita dapat melihat bagaimana pemilu yang seharusnya menjadi instrumen demokrasi sering kali hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan tanpa memperhatikan aspirasi rakyat.
Para calon wakil rakyat berbondong-bondong mengumbar janji di masa kampanye, menjual harapan bahwa mereka akan menjadi penyambung lidah rakyat. Namun, setelah mereka menduduki kursi legislatif, banyak dari mereka yang justru berjarak dengan rakyat. Aspirasi publik sering kali diabaikan, bahkan ketika jutaan rakyat turun ke jalan menyuarakan penolakan terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan mereka.
Kasus terbaru seperti penolakan luas terhadap Revisi UU TNI menunjukkan bagaimana suara rakyat diabaikan dalam pengambilan keputusan politik. Ketika rakyat berteriak, para wakil rakyat seolah menutup telinga. Jika ini terus terjadi, maka republik yang seharusnya berlandaskan res publica akan bergeser menjadi res privata:negara yang hanya melayani kepentingan segelintir elite.
ADVERTISEMENT
Pada Kamis, 20 Maret 2025, DPR kembali mengabaikan aspirasi masyarakat dengan mengesahkan UU TNI, meskipun mendapat penolakan luas dari berbagai elemen, termasuk masyarakat sipil dan mahasiswa. Salah satu poin yang paling kontroversial adalah Pasal 47, yang dikhawatirkan dapat membuka kembali jalan bagi dwifungsi TNI/ABRI, sebuah praktik yang seharusnya sudah ditinggalkan dalam era reformasi. Keputusan ini semakin menegaskan bahwa wakil rakyat tidak lagi benar-benar mewakili suara rakyat. Ironisnya, dari sekian banyak fraksi di parlemen, tidak satu pun yang menolak atau menyatakan keberatan terhadap pengesahan undang-undang tersebut.
Padahal, para wakil rakyat dalam janji-janji politiknya bertekad menjadi penyambung lidah masyarakat demi kepentingan umum. Berbagai cara mereka tempuh untuk meraih kursi di parlemen, mulai dari janji manis hingga retorika yang menggugah harapan. Namun, begitu kekuasaan berada di tangan, komitmen yang mereka gaungkan seolah menguap tanpa jejak. Janji politik tinggal kenangan, dan keberpihakan mereka terhadap rakyat pun dipertanyakan. Entah masyarakat mana yang sebenarnya mereka wakili. Pemilu pun semakin terlihat hanya sebagai formalitas demokrasi-ritual lima tahunan yang tak lebih dari ajang perebutan kekuasaan, sementara aspirasi rakyat terus diabaikan.
ADVERTISEMENT
Pemilihan Umum: Panggung Demokrasi dan Harapan Rakyat
Pemilihan umum ibarat sebuah panggung besar di mana rakyat berperan sebagai sutradara, menentukan siapa yang akan menjadi aktor utama dalam perjalanan bangsa. Layaknya sebuah pesta demokrasi, pemilu adalah jamuan yang disiapkan untuk semua, di mana setiap suara menjadi bahan penyusun cita rasa masa depan.
Bilik suara menjadi ruang sakral, tempat di mana rakyat menitipkan harapan mereka dalam selembar kertas kecil yang ringan tetapi sarat makna. Di dalamnya tersimpan janji perubahan dan mimpi-mimpi yang menari di atas panggung politik. Namun, waktu akan menjadi hakim yang menentukan apakah janji-janji tersebut akan menjadi kenyataan atau sekadar ilusi politik yang berulang.
Pemilu seharusnya menjadi momen bagi rakyat untuk melukis kembali arah bangsa, sebagaimana pelangi yang muncul setelah badai. Setiap suara adalah setetes tinta yang bersama-sama merangkai kisah besar bernama masa depan. Lebih dari sekadar mekanisme pergantian kepemimpinan (transfer of leadership and power), pemilu adalah sarana konstitusional untuk melahirkan pemimpin yang memiliki legitimasi. Ini adalah wujud nyata dari pelaksanaan kedaulatan rakyat (sovereignty), di mana pemilu menjadi alat formal untuk membentuk struktur negara dan tatanan sosial yang lebih baik (state and social formation).
ADVERTISEMENT
Namun, apakah realitas pemilu di Indonesia sudah mencerminkan idealisme tersebut? Kenyataannya, sering kali pemilu justru menjadi ajang kontestasi politik yang lebih menitikberatkan strategi elektoral ketimbang visi perubahan. Partai politik yang seharusnya menjadi wadah perjuangan aspirasi rakyat justru sering kali kehilangan kepercayaan publik akibat janji-janji yang diingkari. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah pemilu benar-benar menjadi cerminan kedaulatan rakyat atau hanya sekadar ritual demokrasi tanpa substansi?
Demokrasi yang Semakin Terancam
Dalam konteks demokrasi, Robertus Robert juga menyoroti bagaimana praktik politik yang tidak lagi mencerminkan nilai-nilai republikanisme berpotensi membawa negara ke arah otoritarianisme terselubung. Demokrasi yang seharusnya memberikan ruang bagi partisipasi rakyat justru semakin dikekang.
Fenomena ini selaras dengan analisis dalam bukunya Steven Levitsky & Daniel Ziblatt, "How Democracies Die", yang menunjukkan bahwa demokrasi bisa runtuh bukan hanya karena kudeta militer atau revolusi, tetapi juga melalui pelemahan institusi demokrasi secara perlahan. Ketika wakil rakyat mengkhianati mandatnya, ketika partisipasi rakyat dianggap tidak penting, ketika kebijakan dibuat tanpa transparansi dan akuntabilitas, saat itulah demokrasi sedang menuju kehancuran.
ADVERTISEMENT
Mengembalikan Makna Republik
Kondisi ini menuntut refleksi mendalam bagi pemerintah dan wakil rakyat agar kembali kepada prinsip republikanisme yang sejati. Jika republik ingin tetap hidup, maka:
1. Kekuasaan harus kembali kepada rakyat, bukan hanya secara simbolis, tetapi benar-benar dalam praktik pemerintahan.
2. Partisipasi publik harus diperkuat, bukan justru direpresi.
3. Keputusan politik harus didasarkan pada kepentingan bersama, bukan kepentingan elite.
Jika para pemimpin kita masih mengabaikan prinsip ini, maka Indonesia hanya akan menjadi republik dalam nama, tetapi oligarki dalam praktik. Harapan kita tentu agar para pemimpin kembali memahami dan mengaktualisasikan makna republik yang sesungguhnya, agar cita-cita bernegara dan berdemokrasi tetap sejalan dengan amanat konstitusi.