Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Matinya Kepakaran di Indonesia dalam Tiga Babak
12 Februari 2024 7:39 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Islah Satrio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Film dokumenter berjudul Dirty Vote yang disutradarai oleh Dandhy Laksono baru saja dirilis pada tanggal 11 Februari 2024. Film dokumenter yang mengundang tiga pakar hukum tata negara sebagai narasumber, yaitu Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mocthar, mencoba mengungkap berbagai fenomena kecurangan pada pemilihan umum 2024 melalui hasil riset dan data yang telah dikumpulkan oleh tim produksi.
ADVERTISEMENT
Tiga narasumber, dengan kepakarannya, juga menyampaikan betapa banyaknya pelanggaran hukum yang terjadi selama proses kampanye politik berlangsung. Kecurangan itu umumnya dilakukan oleh ketiga pasangan calon beserta tim kampanye masing-masing, baik itu Paslon Nomor Urut 01, Paslon Nomor Urut 02, maupun Paslon Nomor Urut 03.
Namun, salah satu tim kampanye dari Paslon Nomor Urut 02 merespons dengan melakukan siaran pers pada pukul 13.30 WIB di hari yang sama dengan perilisan film tersebut. Singkatnya, isi dari siaran pers ini membantah segala argumentasi yang disampaikan oleh ketiga narasumber dalam film Dirty Vote. Bahkan, salah seorang tim kampanye mengatakan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh ketiga pakar hukum tata negara berupa penyebaran fitnah dan berita bohong serta meragukan kepakaran narasumber tersebut.
ADVERTISEMENT
Ancaman serta keraguan atas kepakaran dari tim kampanye itu bukanlah hal yang baru. Dalam beberapa waktu belakangan, kita disuguhkan dengan segala macam upaya mendiskreditkan pakar yang melakukan kritik terhadap penyelenggara negara. Tak jarang upaya tersebut justru dilakukan oleh pejabat negara, yang semestinya menjunjung tinggi kebebasan berekspresi serta mendengarkan segala aspirasi warga negara, khususnya oleh pakar.
Hal ini juga menegaskan bahwa kepakaran telah dibunuh dengan berbagai cara. Saya mencoba membagi fenomena matinya kepakaran di Indonesia, terkhusus pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo, menjadi tiga babak, yang terbagi atas fenomena terancamnya sikap kritis pakar terhadap penyelenggara negara.
Babak Pertama: Kriminalisasi terhadap Fatia dan Haris yang Melakukan Diseminasi Hasil Riset Berkaitan dengan Dugaan Konflik Kepentingan Pejabat Negara
Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, dua orang aktivis hak asasi manusia menjadi korban tindak kriminalisasi oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan dengan pasal pencemaran nama baik. Kriminalisasi ini diawali dengan upaya diseminasi hasil riset dari 9 koalisi masyarakat sipil berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua” yang disampaikan oleh Fatia dan Haris melalui kanal youtube Haris Azhar pada tanggal 17 Agustus 2021.
ADVERTISEMENT
Riset itu mengungkapkan adanya dugaan konflik kepentingan (conflict of Interest) yang dilakukan oleh sejumlah pejabat negara melalui serangkaian investasi di Blok Wabu, Papua. Salah satu pejabat negara yang muncul dalam riset itu adalah Luhut Binsar Pandjaitan, yang diduga memiliki saham di PT Toba Sejahtera Group, salah satu perusahaan yang melakukan aktivitas pertambangan emas di Blok Wabu. Akibatnya, terdapat pengerahan militer secara masif yang ditempatkan di sekitar kawasan pertambangan tersebut dan berpotensi menimbulkan serangkaian tindak pelanggaran HAM kepada warga sipil.
Namun sayangnya, diseminasi yang dilakukan oleh Fatia dan Haris mendapat respons berupa pelaporan tindak pidana oleh Luhut, alih-alih membantahnya dengan data pembanding. Fatia dan Haris yang memiliki rekam jejak panjang dalam mengadvokasi terkait isu HAM di Papua dituduh mencemarkan nama baik Luhut Binsar Pandjaitan. Proses hukum kepada kedua aktivis itu telah berlangsung dari tahun 2021 hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Walau Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur telah memutuskan bahwa Fatia dan Haris tidak bersalah atas tuduhan pencemaran nama baik pada tanggal 8 Januari 2024 lalu, namun Jaksa Penuntut Umum melayangkan kasasi atas vonis bebas tersebut ke Mahkamah Agung, sehingga Fatia dan Haris belum terbebas seutuhnya atas ancaman jeruji besi.
Tindak kriminalisasi ini menjadi preseden buruk terhadap kegiatan penelitian, terkhusus kepada pakar yang melakukan riset berkaitan dengan membongkar kebobrokan penyelenggara negara dalam melaksanakan roda pemerintahan. Pemerintah yang seharusnya bertugas untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak kebebasan berekspresi seorang pakar, justru menjadi pelaku terhadap pelanggaran ekspresi tersebut.
Babak Kedua: Menihilkan Pernyataan Sikap Akademisi tentang Kekhawatiran akan Situasi Demokrasi yang Memburuk
Ada satu fenomena menarik dalam proses kontestasi pemilihan umum 2024 kali ini, yaitu tergeraknya akademisi di berbagai kampus untuk merespons pernyataan Presiden Joko Widodo terkait diperbolehkannya seorang presiden berkampanye, yang diduga menjurus kepada salah satu paslon.
ADVERTISEMENT
Pernyataan itu dirasa sangat mengkhawatirkan karena berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) melalui serangkaian fasilitas negara yang menguntungkan salah satu paslon tertentu, mengingat banyak Menteri di dalam kabinetnya yang secara terang-terangan juga turut mendukung salah satu paslon.
Terdapat lebih dari 60 kampus di Indonesia yang menyuarakan keresahan yang sama. Keresahan yang bermula dari pernyataan sikap berbagai akademisi di Universitas Gadjah Mada melalui petisi Bulaksumur ini juga menjadi tanda bahwa situasi demokrasi di Indonesia kian mengkhawatirkan.
Tidak adanya sanksi tegas terhadap pelanggaran etik yang tertuju pada Paslon Nomor Urut 02, berbagai fenomena kecurangan dalam kampanye pemilu 2024, hingga upaya intervensi kampanye politik oleh kekuasaan lewat presiden serta menterinya menggunakan fasilitas dan perangkat negara menjadi faktor terjadinya kemunduran demokrasi.
ADVERTISEMENT
Namun, bukannya melakukan perbaikan atas situasi demokrasi tersebut, pemerintah justru menihilkan kritik yang disampaikan akademisi itu dengan serangkaian pernyataan yang terkesan mendiskreditkan. Salah satunya yaitu respons dari Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, yang membantah mengenai adanya pelanggaran yang dilakukan oleh Joko Widodo serta menuduh pernyataan sikap yang dilakukan oleh berbagai akademisi itu sebagai upaya mendongkrak elektabilitas salah satu paslon tertentu.
Hal serupa juga datang dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto yang menuding bahwa akademisi itu hanyalah tokoh yang menggunakan nama kampus, namun tak dijelaskan lebih detail mengenai tokoh yang dimaksud.
Respons kedua Menteri itu menunjukkan betapa tak acuhnya pejabat negara pada kritik yang dilayangkan oleh akademisi dari berbagai kampus tersebut. Padahal, saran dan masukan dari akademisi ini sangat berarti bagi perbaikan situasi demokrasi ke depan.
ADVERTISEMENT
Kritik dari akademisi yang memiliki beragam disiplin ilmu ini seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam menentukan arah pembentukan kebijakan terkait pelaksanaan demokrasi di Indonesia, bukan justru mendiskreditkan dengan berbagai tuduhan yang tidak relevan.
Babak Ketiga: Ancaman Pidana terhadap Pakar yang Membongkar Kecurangan Pemilu
Tiga pakar hukum tata negara yang menjadi narasumber dalam Film Dokumenter Dirty Vote tak lepas dari bayang-bayang ancaman pidana. Hal ini terjadi usai Habiburokhman, Wakil Ketua Komisi III DPR-RI sekaligus Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, menuding apa yang disampaikan ketiga narasumber itu merupakan fitnah serta bermuatan narasi kebencian yang sangat asumtif, sehingga melanggar hukum serta memiliki konsekuensi.
Hal itu disampaikan saat melakukan jumpa pers di Media Center Prabowo-Gibran, 11 Februari 2024. Walaupun TKN belum akan mengambil langkah hukum, namun pernyataan “melanggar hukum dan memiliki konsekuensi” dapat diartikan sebagai ancaman pidana terhadap mereka.
ADVERTISEMENT
Padahal melalui film dokumenter itu, ketiga pakar hukum mencoba membongkar kecurangan pemilu 2024 yang akan berpotensi merusak pesta demokrasi yang akan dilangsungkan dalam hitungan hari, serta melakukan kritik terhadap penyelenggara pemilu untuk menindak segala macam indikasi kecurangan pemilu yang terjadi.
Film itu juga memperlihatkan suatu pola sistematis untuk memenangkan salah satu paslon tertentu melalui pelemahan beberapa lembaga negara. Seharusnya argumentasi dengan data itu dapat dimaknai sebagai bentuk evaluasi oleh pakar untuk perbaikan penyelenggaraan pemilu.
Namun, tiga pakar hukum tata negara itu justru mengalami penodaan kepakaran melalui pernyataan yang disampaikan oleh TKN. Keraguan atas keahlian serta tuduhan atas kepentingan politik praktis yang dilayangkan oleh TKN kepada ketiga pakar tanpa adanya diskursus kritis dengan data pembanding menjadi cara membunuh kepakaran seseorang.
ADVERTISEMENT
Matinya Kepakaran di Indonesia
Thomas M. Nichols, seorang spesialis akademik pada bidang hubungan internasional, dalam bukunya yang berjudul “The Death of Expertise” Menegaskan pentingnya seorang pakar di dalam suatu negara yang menganut sistem demokrasi. Seorang pakar memiliki kontrak sosial terhadap warga negara, di mana relasi antara warga negara dengan pakar dibangun atas dasar kepercayaan, terkhusus dalam pembuatan keputusan secara rasional dan masuk akal. Jika kepercayaan itu hancur, demokrasi dapat menjadi lingkaran setan yang merusak.
Fenomena lingkaran setan itu mungkin telah terjadi di Indonesia, di mana relasi kepercayaan seorang pakar dengan warga negara sengaja dirusak oleh pejabat negara melalui serangkaian tindakan, seperti kriminalisasi, ujaran yang mendiskreditkan kepakaran, hingga tuduhan yang tak berdasar. Tanpa adanya rasa kepercayaan terhadap pakar, pembentukan kebijakan publik tidak akan rasional karena minimnya analisis dari seorang ahli. Hal itu akan berpengaruh kepada kualitas hidup warga negara yang menurun akibat bobroknya kebijakan tanpa berlandaskan keilmuan yang mumpuni.
ADVERTISEMENT
Ketiga babak di atas memperlihatkan intervensi pejabat negara untuk mendiskreditkan pakar yang melakukan kritik terhadap jalannya roda pemerintahan. Alih-alih mendengarkan dan mempertimbangkan kritik tersebut sebagai sebuah masukan yang berarti untuk perumusan kebijakan publik, pejabat negara justru melakukan serangkaian tindakan dengan tujuan membungkam suara pakar.