Konten dari Pengguna

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Bukan Lagi Prioritas Negara

Islah Satrio
Staf Divisi Riset dan Dokumentasi KontraS
20 Mei 2024 9:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Islah Satrio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
www.freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
www.freepik.com
ADVERTISEMENT
Tujuan hadirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk rakyatnya telah tertuang melalui pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu tujuannya, sebagaimana tercantum dalam alinea ke-4, adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Diksi tersebut tidak hanya dimaknai secara pasif, namun harus ada upaya aktif oleh pemerintah dalam mewujudkan pencerdasan kepada warga negara, salah satunya melalui pendidikan.
ADVERTISEMENT
Melalui tujuan tersebut, pemerintah wajib untuk memberikan pemenuhan atas segala fasilitas yang dibutuhkan dalam membangun pendidikan yang berkualitas, setara, dan inklusif. Tujuan ini tidak hanya dibebankan kepada pemerintahan yang memegang otoritas saat ini, namun akan terus menjadi utang yang harus dituntaskan di seluruh rezim pemerintahan.
Untuk meningkatkan taraf pendidikan, pemerintah harus menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar dalam menjalankan aktivitas pendidikan. Beberapa di antaranya yaitu; aksesibilitas untuk mencapai pendidikan yang setara dan inklusif, kesejahteraan pelaku pendidikan, serta fasilitas pendidikan yang tercukupi. Ketiga kebutuhan dasar tersebut harus difasilitasi oleh pemerintah untuk menjamin terlaksananya tujuan utama dari hadirnya NKRI.
Namun saat ini, Pemerintah justru abai dalam penuntasan tujuan tersebut. Hal itu berlandaskan pada beberapa fenomena yang terjadi saat ini. Salah satunya yaitu meningkatnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai universitas negeri. Pemicu utama kenaikan UKT tersebut adalah penetapan Permendikbudristak Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi di PTN Kemendikbudristek, yang ditetapkan oleh Nadiem Makarim selaku Mendikbud. Salah satu dampak dari penerapan tersebut dirasakan oleh mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman yang mengalami kenaikan UKT mencapai 300-500 persen.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut menggambarkan bahwa pemerintah tidak dapat memfasilitasi mahasiswa yang ingin mengenyam pendidikan tinggi namun banyak di antara mereka mengalami keterbatasan finansial. Kenaikan UKT tersebut menciptakan kesenjangan dalam mengakses pendidikan tinggi yang berakibat pada ketidaksetaraan. Alih-alih memberikan jawaban solutif atas masalah tersebut, Sekretaris DIrektorat Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi Kemendikbutristek, Tjitjik Sri Tjahjandrie, justru melepaskan tanggung jawabnya dalam memberikan aksesibilitas yang setara dalam pendidikan dengan pernyataannya bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun.
Di tengah pasar industri yang seringkali menuntut pekerjanya untuk memiliki riwayat jenjang pendidikan strata satu sebagai syarat minimum, pemerintah gagal untuk menyediakan kebutuhan itu. Selain itu, pemerintah juga tidak mempertimbangkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan warga negara, maka kualitas hidup mereka akan menjadi lebih baik, sebagaimana hasil survei yang dilakukan oleh General Social Survei (GSS) pada tahun 2018.
ADVERTISEMENT
Terdapat fenomena lain yang juga menguatkan pernyataan bahwa pemerintah saat ini tidak memprioritaskan pencerdasan bangsa sebagai agenda prioritas dalam menjalankan roda pemerintahan, yaitu kesejahteraan pelaku pendidikan yang diambang krisis. Fenomena ini dibuktikan dengan temuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengungkap bahwa korban pinjaman online terbanyak adalah guru, yang disampaikan pada bulan Agustus 2023.
Salah satu faktor banyaknya guru yang terjerat pinjaman online adalah rendahnya penghasilan guru di Indonesia. Berdasarkan data yang dipublikasi oleh Katadata pada bulan Oktober 2023, gaji guru di Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan dengan gaji guru di negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura.
Selain gaji yang kecil, seringkali guru juga tidak mendapatkan kejelasan soal status kepegawaiannya, salah satunya dirasakan oleh guru yang masih berstatus honorer. Ketidakjelasan status tersebut akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan guru sebagai pelaku pendidikan, salah satunya terkait pendapatan gaji yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan pengajar tetap.
ADVERTISEMENT
Misalnya, gaji guru honorer di Kota besar seperti Jakarta hanya berkisar di angka 1 juta hingga 2 juta rupiah. Jumlah tersebut sangat timpang dibandingkan Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta sebesar Rp.5.067.381. Padahal, UMR tersebut merupakan syarat minimal untuk warga dapat hidup tercukupi di Jakarta.
Kedua fenomena ini membuktikan bahwa pemerintah tidak dapat melaksanakan pemenuhan kebutuhan dasar dalam menjalankan aktivitas pendidikan. Aksesibilitas yang masih tidak setara akibat bengkaknya biaya UKT hingga mengakibatkan sulitnya mengakses pendidikan tinggi serta minimnya kesejahteraan guru sebagai pelaku pendidikan akibat rendahnya upah yang diterima hingga ketidakjelasan status kepegawaiannya yang masih dirasakan hingga hari ini.
Walaupun Pemerintah telah memprioritaskan sektor pendidikan dengan menganggarkan dana yang cukup besar pada rancangan APBN 2024, yakni sebesar 20 persen atau Rp. 660,8 triliun, namun berbagai kebijakan dari institusi terkait justru berbanding terbalik.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga membuktikan bahwa semangat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan hadirnya NKRI untuk warga negara tidak juga dilaksanakan dengan baik oleh pemerintahan hari ini. Bahkan justru mengalami penurunan akibat mahalnya biaya pendidikan tinggi serta minimnya penghargaan untuk pelaku pendidikan. Jika kondisi ini masih tidak diperbaiki oleh institusi yang memiliki otoritas terkait, maka cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan warga negara tidak akan terwujud.