Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Nihilnya Etika hingga Intervensi Kekuasaan, Demokrasi di Titik Nadir
8 Februari 2024 11:35 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Islah Satrio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari dan enam anggota KPU lainnya terbukti melanggar kode etik serta diberikan sanksi oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait proses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden 2024. Putusan yang dibacakan pada tanggal 5 Februari itu menyusul pelanggaran etik berat yang dijatuhkan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) kepada Anwar Usman, Ketua MK sekaligus Paman dari Gibran Rakabuming Raka, yang memimpin pengambilan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai Batas Usia Capres-Cawares dan Persyaratan Cawapres, yang menjadi pintu gerbang kelolosan Gibran Rakabuming sebagai Bakal Cawapres.
ADVERTISEMENT
Berbagai pelanggaran etik tersebut menunjukkan bahwa pencalonan Gibran Rakabuming sebagai Calon Wakil Presiden merupakan cacat formil. Namun, alih-alih memberikan sanksi untuk mendiskualifikasi Gibran sebagai Calon Wakil Presiden lewat mekanisme pemilihan umum yang tersedia, penyelenggara negara justru seakan-akan menutup mata perihal pelanggaran yang telah terlihat secara jelas, bahkan mendukung langkah politik dari Paslon Nomor Urut 02 itu. Hal itu terbukti dari banyaknya pejabat publik yang secara terang-terangan menunjukkan dukungan politik kepada Prabowo-Gibran.
Dukungan dari pejabat publik kepada salah satu paslon menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi situasi demokrasi di Indonesia, karena berpotensi mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan karena adanya konflik kepentingan (conflict of interest) dari penyelenggara negara. Beberapa bentuk penyalahgunaan tersebut antara lain penggunaan fasilitas negara untuk kampanye praktis, ketidaknetralan pejabat negara dalam menjalankan roda pemerintahan, hingga mengintervensi proses kampanye politik paslon lain yang dianggap sebagai oposisi dengan menerjunkan aparat bersenjata.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran demi Pelanggaran yang Terus Berulang
Dua pelanggaran etik yang dijatuhkan oleh MKMK maupun DKPP hanyalah sebagian dari banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh Paslon Nomor Urut 02, baik secara langsung maupun tidak langsung. Selama masa kampanye Pemilu 2024, Prabowo-Gibran maupun Tim Kampanye Nasional telah banyak melakukan pelanggaran yang seringkali tidak mendapatkan sanksi tegas oleh penyelenggara pemilu.
Salah satunya yaitu pertemuan yang dilakukan oleh Gibran Rakabuming dengan 30 kepala desa di Hotel Swiss Bell, Kota Ambon, Maluku, pada tanggal 8 Januari 2024. Pertemuan itu difasilitasi oleh Tim Kampanye Daerah Prabowo-Gibran. Pertemuan dengan sejumlah kepala desa ini jelas melanggar Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, terkhusus pada pasal 280 yang menyatakan larangan untuk melibatkan kepala desa dalam kampanye. Walau Bawaslu menyatakan akan mengusut dugaan pelanggaran tersebut, namun sampai hari ini tidak ada kejelasan mengenai proses tersebut.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran serupa juga terjadi pada tanggal 19 November 2023, tepatnya saat Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) serta 8 asosiasi desa lainnya mengadakan acara “Deklarasi Nasional Desa Bersatu untuk Indonesia Maju” yang dihadiri oleh Gibran Rakabuming selaku Cawapres Nomor Urut 02 di Indoor Multifunction Stadium, DKI Jakarta. Deklarasi ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, terkhusus Pasal 29 huruf b dan Pasal 51 huruf b yang pada intinya menegaskan soal larangan membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu. Berdasarkan peristiwa itu, Bawaslu DKI Jakarta telah memberikan sanksi peringatan kepada penyelenggara kegiatan.
Puncak dari banyaknya pelanggaran tersebut adalah tidak diindahkannya pelanggaran etik yang telah diputuskan oleh MKMK serta DKPP terkait proses pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden pada Pemilu 2024. Pelanggaran etik yang secara lugas menggambarkan betapa cacatnya hukum dari Putusan MK yang meloloskan Gibran sebagai Cawapres itu seakan-akan tidak diacuhkan oleh Paslon Nomor Urut 02 itu. Bahkan, Tim Kampanye Nasional tetap teguh untuk mengatakan bahwa tidak ada pelanggaran etik yang dilakukan oleh Prabowo Gibran.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran demi pelanggaran yang terus berulang ini menunjukkan nihilnya etika yang dipertontonkan oleh Paslon Nomor Urut 02. Hal ini terus terjadi karena tidak adanya sanksi tegas yang diberikan oleh Penyelenggara Pemilu 2024 kepada Prabowo-Gibran sebagai upaya memberikan efek jera dan memastikan ketidakberulangan dari pelanggaran tersebut, alih-alih hanya memberikan sanksi peringatan yang sama sekali tidak diacuhkan -bahkan seringkali dibantah- oleh Prabowo-Gibran serta Tim Kampanye Nasional.
Penyalahgunaan Kekuasaan akibat Ketidaknetralan Pejabat Publik
Pola pelanggaran yang terjadi tidak hanya dilakukan oleh Paslon Nomor Urut 02 maupun tim kampanye paslon, namun juga dilakukan oleh pejabat publik yang secara terang-terangan mendukung Prabowo-Gibran. Berdasarkan data yang dihimpun oleh penulis, terdapat setidaknya 18 pejabat publik yang menunjukkan keberpihakan kepada Prabowo-Gibran, baik dalam level Menteri, Wakil Menteri, Walikota, hingga Bupati. Seringkali pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat publik terkait erat dengan penyalahgunaan kekuasaan yang mereka miliki.
ADVERTISEMENT
Salah satunya yaitu kampanye politik yang dilakukan oleh Wakil Menteri ATR/BPN, Raja Juli Antoni melalui akun X pribadinya. Dalam cuitannya, Raja Juli Antoni berencana membagikan sertifikat Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan wakaf kepada warga sebagai salah satu program dari Kementerian ATR/BPN. Namun, ia menyisipkan nama Prabowo serta Gibran dalam cuitan tersebut. Hal itu menuai kecaman dari warganet karena Raja Juli Antoni melakukan kampanye disaat ia sedang melakukan tugasnya sebagai Wakil Menteri. Hal ini mengindikasikan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik karena memanfaatkan fasilitas negara untuk afiliasi politik pribadi. Tindakan ini juga telah melanggar Pasal 304 ayat 2 poin d UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang melarang penggunaan fasilitas yang dibiayai APN untuk kampanye politik.
ADVERTISEMENT
Keberpihakan pejabat publik juga berimplikasi pada intervensi proses kampanye politik paslon lainnya dengan melibatkan aparat bersenjata hingga melahirkan berbagai bentuk kekerasan, seperti intimidasi, kriminalisasi, dan tindak penganiayaan. Salah satunya terjadi kepada relawan Ganjar-Mahfud yang menjadi tindak penganiayaan oleh aparat TNI, yang terjadi di Boyolali, Jawa Tengah pada tanggal 30 Desember 2023. Kekerasan lainnya juga terjadi kepada relawan Anies-Imin yang mengalami tindak intimidasi oleh sejumlah aparat di Surabaya, Jawa Timur, pada tanggal 12 Januari 2024.
Penyalahgunaan kekuasaan itu akan terus terjadi jika pejabat publik tidak memiliki sikap netral dalam melaksanakan Amanah yang dititipkan rakyat kepadanya. Walaupun dalam peraturan pemilihan umum pejabat publik diperbolehkan untuk melaksanakan kampanye dengan syarat-syarat tertentu, namun perlu memerhatikan standar moral dan etika yang harus dijunjung tinggi oleh pejabat publik untuk melaksanakan kerja-kerja publiknya secara independen tanpa intervensi dari afiliasi politik pribadi.
ADVERTISEMENT
Pentingnya netralitas dalam pejabat publik juga ditekankan oleh David Levithan, seorang pakar kebijakan publik dalam jurnalnya yang berjudul “The Neutrality of the Public Service”. David menekankan bahwa pejabat publik, termasuk kepala daerah, harus netral secara politik walau dalam jabatan kepala daerah atau jabatan publik lainnya diisi melalui serangkaian proses politik. Jika sikap netralitas diabaikan, maka pelanggaran kampanye menggunakan fasilitas negara, tindak kekerasan melalui aparat bersenjata, hingga keberpihakan pejabat negara yang mengakibatkan pembentukan kebijakan publik yang hanya menguntungkan segelintir kelompok politik tertentu akan terus terjadi secara berulang dan memperburuk iklim demokrasi di Indonesia.
Demokrasi telah Berada di Titik Nadir
Pelanggaran etik hingga ketidaknetralan pejabat publik menuai kritik dari berbagai elemen masyarakat. Salah satu elemen yang bersuara lantang akibat semakin tergerusnya nilai-nilai demokrasi adalah akademisi dari sekitar 64 kampus di Indonesia. Penyuaraan atas keresahan dari kampus ini diawali oleh akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang membacakan Petisi Bulaksumur pada tanggal 31 Januari 2024. Petisi itu dibacakan oleh sejumlah Guru Besar, akademisi, alumni, dan Aktivis BEM KM UGM atas dasar keprihatinan terhadap dinamika perpolitikan nasional dan pelanggaran prinsip demokrasi menjelang pemilu 2024. Petisi ini disusul oleh 63 kampus lainnya di berbagai wilayah dan akan terus bertambah.
ADVERTISEMENT
Pernyataan dari akademisi dari berbagai kampus itu menjadi sinyal tanda bahaya bagi situasi demokrasi di Indonesia akibat serangkaian tindakan niretika serta nihilnya prinsip netralitas yang harusnya dipegang teguh oleh penyelenggara negara sebagai penegak demokrasi. Penyuaraan secara masif ini juga menjadi sejarah bangkitnya akademisi dalam menjaga arah demokrasi pasca-reformasi.
Namun, situasi ini tidak serta-merta muncul pada awal 2024 atau menjelang pemilu saja, melainkan akumulasi dari berbagai pengikisan demokrasi yang dilakukan selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Mulai dari pelanggaran prinsip negara hukum melalui serangkaian kebijakan yang melemahkan institusi penegakan hukum (autocratic legalism), investasi berorientasi pada pertambangan ekstraktif yang seringkali menggusur ruang hidup warga lokal dan memicu kekerasan berbasis modal (capital violence), hingga terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang sampai saat ini tidak ada proses pengungkapan kebenaran dan penegakan hukum yang ideal.
ADVERTISEMENT
Jika Thomas Power menyebutkan bahwa demokrasi di Indonesia mengalami regresi lewat bukunya yang berjudul “Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression?” yang diluncurkan pada tahun 2020, maka saat ini demokrasi di Indonesia telah berada di titik nadir atau berada dalam keadaan yang terburuk. Hal itu terjadi akibat tiga faktor: (1) Pengabaian terhadap berbagai pelanggaran yang menihilkan etika bernegara; (2) ketidaknetralan pejabat publik dalam kontestasi pemilu; (3) penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik untuk menguntungkan salah satu paslon tertentu.