Konten dari Pengguna

Alarm Kebebalan: 'Musuh Terbesar Adalah Berperang Melawan Ketidaktahuan'

Islam Syarifur Rahman
Peneliti PUSAD UMSurabaya
29 Juni 2021 16:30 WIB
·
waktu baca 5 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 13:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Islam Syarifur Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berperang, bagi indonesia bisa dikatakan sebagai tahun penuh dengan peperangan. Perang melawan ketidaktahuan, kecemasan, kegelisahan, serta masih banyak “Alarm” berbunyi yang harus diwaspadai bagi masyarakat Indonesia yang sedang dirundung awan gelap pandemi COVID-19. Alarm peringatan ini seakan memporak-porandakan dan mengacak-acak rencana manusia dengan ketidakpastian yang tidak ada ujunganya.
ADVERTISEMENT
Kenapa berperang? Berperang identik dengan mengangkat senjata untuk bertempur agar dapat mempertahankan sebuah kepentingan yang dilakukan oleh negara, saat ini indonesia sedang berperang dan mempertahankan diri dari COVID-19. Acaman yang luar biasa bagi dunia terhadap sektor-sektor kehidupan namun masih banyak manusia yang lengah dan tidak percaya bahwa perang ini sudah terjadi dan harus dilawan.
Penyebaran COVID-19 yang terus semakin massif dan menyerang seperti membabi buta, membunuh dengan cepat bagi yang lengah. Virus dengan kekuatan besar yang diiringi juga dengan banyaknya disinformasi tentang virus tersebut, dan disinformasi ini juga menyerang berbagai kalangan manusia. Sebagaimana COVID-19 telah mencapai hampir setiap negara di dunia, sama halnya dengan virus yang menyebar sangat cepat, persebaran massal disinformasi melalui berita bohong dan fitnah juga menyebar sangat cepat.
Ilustrasi imun tubuh dalam melawan virus. Foto: Pixabay
Asal muasal COVID-19 ini masih menjadi perdebatan yang rumit di masyarakat, apakah ini datang secara organik dari hewan pada manusia atau ini adalah senjata biologis yang sengaja dibuat dan disebarkan untuk mengamankan kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Retorika kebohongan di dalam disinformasi ini menjadi jalan kacaunya masyarakat merespons pandemi dan ini berdampak pada perilaku masyarakat sehingga akan susah merubah persepsi yang sudah terbentuk secara liar.
ADVERTISEMENT
Fakta-fakta COVID-19 ini sudah jelas dan nyata mulai dari penyebarannya yang massif karena virus pandemi ini melalui interaksi manusia. Namun, sayangnya masih banyak masyarakat yang menentang datangnya virus ini, ketidakpercayaan dan ketidakpahaman membuat virus ini semakin mudah masuk ke dalam tubuh. Kondisi tersebut membuat penyebaran berita-berita hoaks menjadi sama bahkan lebih cepat daripada virus tersebut.
Dalam sebuah koferensi pers PNPB, ada 17 persen yang masih mengatakan tidak percaya COVID-19 tutur ketua satgas COVID-19 Doni Manardano. Kematian karena pandemi ini sudah jelas puluhan juta rakyat di negara Indonesia, terlepas isu rekayasa, konspirasi yang belum penah ada pembuktian sampai hari ini harusnya masyakat lebih bijak dan lebih pintar dalam menyaring informasi. Menyelamatkan diri sendiri adalah bentuk penyelamatan terhadap kehidupan bermasyarakat dan ini adalah tugas kita sebagai bentuk kepedulian soasial.
ADVERTISEMENT
Awan semakin terasa gelap, dunia serasa berhenti berputar. Kepanikan yang semakin menjadi ini membuat stres yang semakin menekan dan ini akan berdampak pada psikosomatik tubuh. Benteng hidup pelan-pelan akan rapuh oleh keterbatasan nalar pada manusia, ini membuktikan manusia harus membuka nalar-nalar ilmiah yang rasional untuk melawan kebisingan berita hoaks yang tidak berujung. Musuh terbesar saat pandemi ini adalah melawan ketidaktahuan.
COVID-19 dan Dampak Disinformasi
Ketidakpercayaan adalah rasa yang hadir secara menyeluruh dan holistik dalam status kehidupan manusia saat ini, banyak hal kenapa ketidakpercayaan itu muncul yang salah satunya adalah disinformasi tentang COVID-19. Retorika kepalsuan dalam disinformasi ini memberikan dampak besar terhadap perilaku manusia dan juga akan susah merubah persepsi, akhirnya ini akan menjadi masalah yang serius di lingkungan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Kesehatan masyarakat hari ini sudah terpapar oleh informasi yang sesat, propaganda yang dilakukan beberapa media juga akan mempengaruhi sebuah literasi kesehatan dan bisa menyebarkan isu teori konspirasi medis.
Tenaga kesehatan juga mendapatkan dampak yang besar dari disinformasi ini, masyarakat yang terpapar semakin banyak dan pelayanan yang diakukan para nakes harus semakin extra sehingga terjadi peningkatan nakes yang terpapar sampai gugur akibat COVID-19.
Saya pribadi termasuk kalangan yang kesal melihat orang-orang yang bebal terhadap virus ini. Kenapa rasanya sulit sekali membuat mereka yang bebal yakin bagaimana wabah ini membuat RS dan nakes babak belur bahkan ada yang ingin menyerah, dengan angkuhnya banyak masyarakat yang mengatakan dirinya sehat-sehat saja padahal banyak yang tidak menggunakan masker saat keluar rumah.
ADVERTISEMENT
Bagi masyarakat, terlepas ini adalah bentuk rekayasa ataupun evolusi alam pandemi ini sudah terjadi dan mengarah pada kematian. Teruntuk yang masih tidak percaya sampai saat ini, jangan pernah mengorbankan keselamatan orang-orang di sekitar anda dengan ketidakpercayaan tersebut.
Negara Sumber Kebebalan?
Situasi wabah di tahun ini tampak jauh lebih buruk dan lebih tak terkontrol, letupan bom kedua ini COVID-19 mengapai rekor 20.574 kasuh per harinya. Kasus ini tidak sebanding dengan fasilitas kesehatan yang ada di berbagai tempat pelayanan kesehatan, semenjak munculnya varian baru SARS-CoV-2 yang tingkat menularnya sangat cepat bed occupancy rate (BOR) terjadi peningkatan di rumah sakit di berbagai daerah.
Dari semua yang sudah terjadi ini, ada yang harus lebih disalahkan yaitu pemerintah, kenapa? Karena saya pikir sikap pemimpin negara yang meremehkan wabah dari awal sebelum muncul dan memporak-porandakan kehidupan saat ini.
ADVERTISEMENT
Pertama, Indonesia kebal dari virus ini selanjutnya mengatakan bahwa nasi kucing dapat menyembuhkan COVID-19 dan yang terakhir Indonesia akan bebas virus dari doa kiai, ini adalah sebuah praktik herd stupidity “Kebodohan” yang dilakukan oleh para pemimpin.
Persoalan yang lain ketika pemerintah membuat kebijakan dilarang mudik saat lebaran, namun masyarakat masih dilihatkan tempat wisata buka bahkan warga asing masuk ke Indonesia ini menjadi sangat jelas bahwa kebijakan yang dibuat oleh negara justru inkosisten.
Akhirnya, secara tidak langsung kita sadari masyarakat telah mengembangkan sikap acuh-tak acuh, tak peduli, melawan otoritas, tidak mau diatur, bersikap masa bodoh terhadap protokol kesehatan. Di sisi lain sikap bebal ini datangnya dari kalangan aparatur birokrasi, petugas pemerintahan itu sendiri, akhirnya masyarakat yang bebal terhadap COVID-19 akan semakin kokoh pada pendiriannya karena ulah negara sendiri.
ADVERTISEMENT