Anti-Sains dan Militarisme Covid-19 Ala Pemimpin Populis

Islam Syarifur Rahman
Peneliti PUSAD UMSurabaya
Konten dari Pengguna
30 Agustus 2020 13:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Islam Syarifur Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
www.ft.com
Pemimpin populis sangat terlihat di negara Amerika serikat, Brazil, dan Indonesia dalam menangani covid-19, dimana dalam penanganan kasus Covid-19 ini menuai kritikan dan ketidakadilan. Bahkan, munculnya pempimpin populis di bidang kesehatan mempunyai dampak buruk jika terdapat strategi politik yang nyeleneh dan kerap mempolitisasi.
ADVERTISEMENT
Pemimpin populis seperti Donald Trump dan Jail Bolsonaro di brazil yang meremehkan dan menunda datangnya Covid-19 sehingga menyebabkan kematian sangat tinggi. Ketidakjelasan pemimpin dalam melakukan strategi kebijakan, bahkan mengabaikan sains dan ilmu pengetahuan.
Ini jelas apa yang dilaporkan oleh WHO pada tanggal 9 April 2020 lebih dari 1,3 juta kasus COVID-19 dan sedikitnya 79.000 kematian di 212 negara dan teritorial. Ketidaksiapan beberapa negara membuat banyak penilaian terhadap dinamika politik apalagi dalam pembangunan kesehatan bangsa.
Pemimpin yang optimis diharapkan mampu menangani krisis dalam kasus covid-19 dengan cepat, namun yang terjadi adalah bias optimisme yang artinya memiliki sikap optimis berlebihan dalam menilai kemampuan mereka dalam menagani krisis ini. Hanya mengandalkan optimis seolah menganggap remeh kasus Covid-19 ini.
ADVERTISEMENT
Jokowi yang awal menganggap remeh informasi dan peringatan Covid-19 sejak awal wabah muncul di Cina tepatnya di kota Wuhan tersebut, sehingga banyak sekali persiapan-persiapan yang ditunda, termasuk persiapan kesehatan yang seharusnya sejak dini dilakukan untuk mencegah munculnya penyebaran di Indonesia. Akibatnya Indonesia memiliki tingkat kematian tertinggi.
Pemimpin seperti ini umumnya rentan terhadap sesuatu yang puas dalam diri dan menunda-nunda, ini salah satu bentuk bias kognitif dimana ada kesalahan dalam berfikir, bahwa seolah-olah mereka memiliki kemungkinan kecil masalah dibandingkan orang yang lain.
Dalam hal ini, ketiga pemimpin populis memiliki kesamaan dalam menangani kasus Covid dengan menganggap remeh virus berbahaya ini. Membungkam sains dan ilmu pengetahuan, bahkan kepentingan politik dan ekonomi yang didahulukan daripada kesehatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Vs Sains
Bermain-main dengan sains inilah yang dilakukan pemerintahan di Indonesia yang terkesan tidak serius dalam menanggapi Covid-19. Ketidakseriusan ini membuat masyarakat ragu dan menyepelakan narasi yang muncul dari pemerintah, walaupun ada beberapa yang benar untuk dilakukan dalam mengurangi penyebaran Covid-19 ini.
Pertama, kita coba perhatikan apa yang dilakukan oleh Jokowi, saat pertama muncul Covid ini, hanya mengandalkan do'a dan peran alim-ulama agar covid pergi dari muka bumi. Kenyataannya sampai sekarang virus ini semakin massif dan korban meninggal bertambah, narasi dan tindakan yang dilakukan jauh dari kaidah ilmiah.
Kedua, sejak covid-19 muncul di Indonesia mentri kesehatan Terawan mengatakan corona adalah flu biasa dan akan sembuh sendiri. Ini jelas narasi yang dibuat sangat meremehkan, seharusnya sebagai mentri kesehatan harus melakukan tindakan-tindakan ilmiah karena sangat jelas ini menjadi perbincangan serius dan sudah banyak korban akibat virus ini
ADVERTISEMENT
Menurut Nugroho (2018), sains adalah penggunaan metode ilmiah dalam memecahkan persoalan sosial. Mengingat pandemi corona menjadi perbincangan sehari-hari (atau masalah sosial), maka sudah seharusnya kebijakan yang diambil pemerintah sesuai kaidah keilmiahan.
Seharusnya pemerintah dalam melakukan kebijakan sosial yang ilmiah meliputi fungsi preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan pengembangan (developmental) (Harton dan Lislie). Meragukan sains membuat negara semakin terpuruk dan jelas kondisi Indonesia sekarang sangat memprihatinkan, seolah-olah gagap dalam memerangi virus ini.
Totalitas dalam melakukan tindakan sesuai sains seharusnya dilakukan untuk memerangi Covid ini, bahwa pemerintah perlu merespon persoalan ini dengan berbasis sains sehingga muncul pengetahuan yang empiris dan pengetahuan praktis tentang tentang alam yang jelas dihasilkan oleh para ilmuan dengan menekankan penelitian, pengamatan, penjelasan dari fenomena dunia.
ADVERTISEMENT
Militarisme dan Obat Covid
Universitas Airlangga (UNAIR) telah menyelasaikan uji klinis tahap ke tiga kombinasi obat untuk virus corona, dan ini diklaim akan menjadi obat pertama di dunia untuk Covid-19. Jelas banyak yang berharap bahwa obat itu bisa memecahkan persoalan dalam bidang kesehatan
Setelah di klaim menjadi obat corona, terdapat sejumlah kritik dari praktisi kesehatan ataupun akademisi. Mulai dari uji klinis yang masih belum ditetapkan secara internasional dan harus teregistrasi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), kejanggalan ini menjadi sangat tidak masuk akal karena penemuan obat ini di giring oleh TNI dan BIN sebagai sponsor penelitian
Bagian epidemologi Universitas Gajah Mada untuk uji klinis ini perlu menekankan prinsip Good Clinical Practice (GCP) dan cara uji klinik yang baik salah satunya adalah menekankan pada pendokumentasian penelitian. Seharusnya ini menjadi susah dan ribet dalam proses pendokumentasian dalam uji klinis tersebut, faktanya adalah penemuan obat ini tiba-tiba muncul di media.
ADVERTISEMENT
Jelas ini ada semacam permainan politik yang dilakukan oleh pemerintahan, banyak hal yang tidak dilakukan sesuai prosedur, bahkan anehnya yang mendaftarkan kepada BPOM adalah BIN dan TNI. Sangat tidak masuk akal, seolah penemuan dan riset yang dilakukan seperti mencari jalan tikus sehingga mengabaikan prosedur ilmiah.
Saya pikir penerintah harus lebih rasional dan bijak dalam membuat sebuah keputusan ten tunya dalam kebijakan di bidang kesehatan, yang harusnya melibatkan praktisi atauupun akademisi dari kesehatan, melakukam banyak penelitian agar jelas tentang obat Covid ini. Bukan mengedepankan kepentingan politik dengan mengandalkan BIN dan TNI agar obat Covid ini bisa diklaim dan ditemukan secepatnya sehingga tidak memperhatikan efek buruk dari tindakan yang sejatinya tak sesuai dengan tahapan tahapan kaidah ilmiah.
ADVERTISEMENT