news-card-video
15 Ramadhan 1446 HSabtu, 15 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Rokok dan Kesehatan Mental: Hubungan yang Sering Diabaikan

Islam Syarifur Rahman
Peneliti PUSAD UMSurabaya
13 Maret 2025 13:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Islam Syarifur Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber foto pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber foto pixabay.com
ADVERTISEMENT
Rokok sering dikaitkan dengan berbagai penyakit fisik seperti kanker paru-paru dan penyakit jantung. Namun, dampaknya terhadap kesehatan mental sering kali diabaikan. Banyak orang merokok dengan alasan untuk mengurangi stres atau kecemasan. Nikotin dalam rokok memang memberikan efek sementara yang menenangkan dengan meningkatkan kadar dopamin di otak, tetapi efek ini hanya bersifat sesaat. Setelah kadar nikotin menurun, tubuh akan mengalami gejala kecanduan seperti gelisah, mudah marah, bahkan depresi ringan.
ADVERTISEMENT
Penelitian menunjukkan bahwa perokok memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan kecemasan dan depresi dibandingkan dengan bukan perokok. Rokok tidak menyelesaikan masalah stres, justru memperburuk kondisi mental dalam jangka panjang. Selain itu, kecanduan nikotin dapat membuat seseorang lebih sulit mengontrol emosinya dan lebih rentan terhadap gangguan tidur.
Nikotin mampu membuat seseorang ketagihan karena zat ini menempel di reseptor khusus di otak yang disebut reseptor asetilkolin nikotik. Saat itu terjadi, otak melepaskan dopamin, yaitu zat kimia yang bikin kita merasa senang. Peningkatan dopamin ini membuat otak lebih terstimulasi dan mengaktifkan sistem reward pathway, yaitu jalur yang mengatur perasaan dan perilaku kita berdasarkan pengalaman yang dianggap menyenangkan. Itulah sebabnya, makin sering seseorang merokok, makin sulit untuk berhenti karena otak sudah terbiasa dengan efek nikotin tersebut.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, berhenti merokok memang bisa menyebabkan stres sementara akibat gejala putus nikotin, tetapi dalam jangka panjang, kesehatan mental cenderung membaik. Banyak mantan perokok melaporkan berkurangnya kecemasan, suasana hati yang lebih stabil, dan peningkatan energi. Oleh karena itu, penting untuk menyadari bahwa mengelola stres dengan cara yang lebih sehat, seperti olahraga atau meditasi, jauh lebih baik daripada bergantung pada rokok
Rokok dan Risiko Gangguan Mental
Merokok sering dianggap sebagai cara untuk mengatasi stres dan kecemasan. Banyak perokok merasa lebih rileks setelah menghisap rokok karena nikotin meningkatkan kadar dopamin di otak, yang memberi efek sementara berupa perasaan nyaman. Namun, efek ini hanya berlangsung sebentar, dan ketika kadar nikotin menurun, perokok cenderung merasa lebih gelisah, mudah marah, atau bahkan cemas. Hal ini bisa menciptakan siklus ketergantungan, di mana seseorang terus merokok untuk menghindari perasaan tidak nyaman akibat gejala putus nikotin.
ADVERTISEMENT
Penelitian menunjukkan bahwa perokok memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan mental, seperti kecemasan, depresi, dan gangguan bipolar. Nikotin dapat mengganggu keseimbangan kimia di otak, yang berperan dalam mengatur suasana hati dan emosi. Akibatnya, banyak perokok merasa lebih sulit mengatasi stres tanpa rokok, padahal merokok justru memperburuk kondisi mental dalam jangka panjang.
Berhenti merokok memang bisa menimbulkan stres sementara, tetapi dalam jangka panjang, banyak mantan perokok mengalami peningkatan kesehatan mental, lebih sedikit kecemasan, dan suasana hati yang lebih stabil. Menggantikan kebiasaan merokok dengan aktivitas sehat, seperti olahraga atau meditasi, dapat membantu mengelola stres dengan lebih baik tanpa dampak negatif bagi kesehatan mental.
Berhenti Merokok dan Kesehatan Mental
Berhenti merokok sering kali dianggap sulit karena banyak perokok merasa rokok membantu mereka mengatasi stres dan kecemasan. Namun, penelitian menunjukkan bahwa berhenti merokok justru dapat meningkatkan kesehatan mental dalam jangka panjang. Menurut teori Nicotine Dependency Model, nikotin dalam rokok menciptakan ketergantungan dengan mengaktifkan sistem reward pathway di otak, yang meningkatkan kadar dopamin dan memberi perasaan nyaman. Saat seseorang berhenti merokok, kadar dopamin menurun sementara, menyebabkan gejala putus nikotin seperti gelisah, mudah marah, dan stres.
ADVERTISEMENT
Namun, menurut penelitian dari Royal College of Psychiatrists, dalam beberapa minggu setelah berhenti merokok, suasana hati seseorang cenderung membaik. Studi lainnya yang dipublikasikan dalam BMJ menunjukkan bahwa orang yang berhenti merokok mengalami penurunan tingkat kecemasan, depresi, dan stres yang signifikan dibandingkan mereka yang tetap merokok.
Teori Cognitive Behavioral Therapy (CBT) juga mendukung bahwa mengubah kebiasaan merokok dengan aktivitas sehat seperti olahraga, meditasi, atau terapi kognitif dapat membantu mengatasi stres tanpa bergantung pada nikotin. Dengan berhenti merokok, kesehatan mental akan lebih stabil, kualitas tidur membaik, dan seseorang menjadi lebih mampu mengelola emosi dengan cara yang lebih sehat.