Islam di Negeri Komunis: Corona hingga Muslim Uyghur

Ismail Fahmi
Diplomasi - Jurnalisme - Dakwah
Konten dari Pengguna
7 Maret 2020 22:02 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ismail Fahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu silang pendapat netizen di negeri +62 sepertinya masih mentok soal nasib Islam dan muslim di Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Pemilu 2019 usai. Perseteruan cebong dan kampret yang kerap kali menyinggung isu Islam di Tiongkok sepertinya juga sudah selesai. Sayangnya, debat isu serupa berlanjut di paguyuban online baru: togog dan kadrun.
Tragisnya, musibah Corona yang kabarnya berawal di Tiongkok pun dikait-kaitkan pula dengan isu agama.
Lantas, seperti apa sebenarnya Islam di Tiongkok?
***
Dulu, Tiongkok di kepala saya hanyalah citra kabur yang seolah terlihat jelas ketika saya mengimajinasikannya sendiri. Modalnya, cukup stereotype-stereotype lama.
Di tengah tahun 2016, saya ditugaskan ke Tiongkok. Penugasan yang membukakan mata. Buat saya, nyatanya, tidak sedikit cerita tentang negeri Tirai Bambu yang keliru di publik Indonesia. Terutama, soal nasib Islam dan muslim di negeri dengan ideologi komunis itu.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini tidak hanya buah dari observasi dan pengalaman sendiri. Tapi, juga dari pertemuan saya dengan Ketua Asosiasi Muslim Provinsi Guangdong yang juga Imam Besar Masjid Saad bin Abi Waqash di Guangzhou, Imam Wangwenjie.
Penulis bersama Imam Besar Masjid Xianxian dan Ketua Asosiasi Islam Provinsi Guangdong, Tiongkok. (Koleksi pribadi)
Tidak banyak yang tahu, berapa sebenarnya jumlah muslim di Tiongkok. Namun, menurut Imam Wangwenjie jumlahnya mencapai 21 juta orang. Nyaris dua kali penduduk Jakarta.
Sebagian besar muslim Tiongkok tinggal di wilayah Barat dan Barat Laut Tiongkok: di provinsi Xinjiang, Ningxia, Gansu, dan Qinhai.
Peta sebaran muslim di Tiongkok. (Sumber: Wikimedia Commons, diambil dari Min Junqing, The Present Situation and Characteristics of Contemporary Islam in China diedit oleh penulis)
Saya tinggal di Guangzhou, ibu kota dari Guangdong, provinsi dengan GDP dan penduduk terbesar di Tiongkok.
Di Guangzhou terdapat 80 ribu muslim lokal dan imigran yang berasal dari berbagai negara, terutama dari negara-negara di Asia Selatan dan Timur Tengah.
ADVERTISEMENT
Sementara di provinsi Guangdong, jumlah muslim mencapai 238 ribu orang, 38 ribu di antaranya muslim lokal dan 200 ribu lainnya imigran yang mayoritas datang untuk berbisnis. Pantas, Guangdong memang disebut-sebut sebagai pusat bisnis dan perdagangan Tiongkok.
Imam Wangwenjie menyebutkan, Islam masuk ke Tiongkok tahun 618 – 626 melalui empat sahabat yang diutus Nabi Muhammad SAW. Yang termasyhur, Saad bin Abi Waqash (595-674 M), salah satu dari sepuluh sahabat Nabi yang dijanjikan masuk surga.
Usai penugasan itu, pada tahun 651 M, Saad kembali ditugaskan ke Tiongkok untuk menjalankan misi diplomatik oleh Khalifah Utsman bin Affan. Pada misinya yang kedua inilah, Saad diyakini wafat di Guangzhou.
Soal tempat wafatnya Saad hingga kini memang masih diperdebatkan. Ada yang menyebutkan Saad wafat di Madinah dan dimakamkan di Baqi.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari perdebatan itu, kenyataannya, makam Saad di Guangzhou terus dibanjiri peziarah dari berbagai belahan Tiongkok dan dunia. Jumlahnya bisa mencapai puluhan hingga ratusan ribu orang per tahun.
Keyakinan bahwa Saad wafat di Guangzhou bukannya tanpa dasar. Imam Wangwenjie menyebutkan, kisah Saad di Tiongkok tertulis dalam buku Minshu 闽书(History of Fujian) karya He Qiaoyuan/何乔远 (1558-1632), sejarawan legendaris Tiongkok pada masa Dinasti Ming.
Saad juga diyakini sebagai pendiri Masjid Huaisheng (广州怀圣寺) pada misi pertamanya ke Guangzhou di awal abad ke-7. Masjid ini juga dikenal dengan Masjid Mercusuar karena memiliki menara azan yang bentuknya menyerupai mercusuar.
Foto Masjid Guangta tahun 1860 yang diambil oleh Felice Beato. Sumber: moma.org
Selain itu, warga setempat juga menyebutnya sebagai Masjid Guangta (光塔) yang artinya pagoda yang hambar. Maklum, menara Masjid ini dibangun tanpa dekorasi, tidak seperti menara/pagoda umumnya di Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Salah satu bentuk penghormatan situs bersejarah muslim ini, sejak lama, jalan di depan Masjid Huaiseng juga disebut dengan Jalan Guangta (光塔路).
Berusia lebih dari 1.300 tahun, masjid ini masih tegak berdiri setelah berkali-kali direnovasi dan dipercantik oleh pemerintah setempat. Masjid ini pun menjadi salah satu tujuan wisata utama Guangzhou.
Seperti apa suasana Masjid Guangta/Huaisheng, sila ditonton di vlog saya ini.
Saad dimakamkan sekitar 2 km di sebelah selatan Masjid Huaiseng. Para murid Saad kemudian menuliskan di batu nisannya: “Makam dari Sosok Suci” (清真先贤古墓).
Komplek makam di atas lahan seluas 2,5 hektare ini pun menjadi salah satu tujuan wisata religi terbesar di Tiongkok.
Seiring berjalan waktu, para peziarah juga menunaikan salat di sekitar makam Saad.
ADVERTISEMENT
Jumlah peziarah yang terus meningkat mendorong Pemerintah Guangzhou untuk merenovasi komplek makam secara besar-besaran. Anggaran sebesar RMB1,56 juta (sekitar Rp 3,2 miliar) pun digelontorkan pemerintah setempat pada tahun 2006.
Jumlah peziarah yang terus tumbuh ditambah kebutuhan muslim setempat yang meningkat untuk tempat beribadah, tahun 2009 Pemerintah Guangzhou mendirikan sebuah masjid di sekitar makam yang rampung pada tahun 2010.
Masjid itu saat ini populer disebut dengan Masjid Saad bin Abi Waqash.
Seperti apa suasana di masjid dan makam Saad? Sila tonton di vlog saya di bawah ini.
Nama sebenarnya Masjid Saad bin Abi Waqash dalam bahasa Mandarin yaitu Masjid Xianxian (先贤清真寺) atau Masjid Orang Bijaksana.
Banyak orang yang keliru dengan masjid ini. Umumnya mereka menduga bahwa inilah masjid yang didirikan Saad bin Abi Waqash. Padahal, masjid ini relatif anyar dan dibangun Pemerintah Tiongkok sepuluh tahun silam. Sementara masjid yang dibangun Saad lebih dari 1300 tahun lalu adalah Masjid Huaiseng.
ADVERTISEMENT
Berdiri di atas lahan seluas 2,5 hektare, masjid dengan dua lantai ini dapat menampung 2.000 orang. Sekalipun kapasitasnya sudah cukup besar, setiap salat jumat dan salat khusus lainnya, jemaah membeludak hingga taman dan jalan-jalan di sekitar masjid.
Seperti apa suasana salah satu salat di Masjid Xianxian? Sila ditonton vlog saya di bawah ini.
Selain Masjid Xianxian dan Huaiseng, juga terdapat dua masjid lainnya di Guangzhou, yaitu Masjid Haopan (广州濠畔清真寺) dan Masjid Xiaodongying (广州小东营清真寺).
Kedua masjid tersebut didirikan pada masa Dinasti Ming, sekitar 500 tahun yang lalu.
Di sekitar Masjid Xiaodongying, terdapat komplek pemukiman muslim lokal yang terdiri dari sekitar 70 keluarga. Di sekitar kawasan itu kita juga dapat dengan mudah menemukan aksara Arab yang bersanding dengan aksara Mandarin.
ADVERTISEMENT
Seperti apa Masjid Xiaodongying, sila tonton vlog saya ini.
Terlepas dari jumlah masjid di Guangzhou yang hanya empat, siapa sangka jumlah total masjid di Tiongkok mencapai 35 ribu. Lokasinya tersebar di berbagai provinsi dan kota, mulai dari kota dengan penganut muslim sedikit seperti Nanning, hingga provinsi Xinjiang, tempat mayoritas muslim Tiongkok berasal.
Seperti apa masjid di Nanning? Lengkapnya di vlog saya ini.
Jumlah ustaz atau ulamanya pun cukup mencengangkan. Berdasarkan data resmi State Council Information Office Tiongkok, jumlahnya mencapai 57 ribu ustaz/ulama.
Kepentingan umat muslim Tiongkok diwadahi oleh asosiasi-asosiasi Islam yang ada mulai dari tingkat nasional seperti China Islamic Association, hingga seluruh provinsi dan kota. Jumlah asosiasi muslim se-Tiongkok bisa mencapai ribuan.
Delegasi DPR RI (2014-2019) yang dipimpin Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah bertemu dengan Imam Wangwenjie di kantor Asosiasi Islam Guangzhou, Oktober 2018 (Sumber: koleksi penulis)
Tidak hanya itu, restoran halal juga banyak tersedia di Tiongkok. Sebagian besar restoran merupakan restoran halal dengan menu lokal. Keberadaannya mirip dengan rumah makan Padang di Indonesia yang hampir ada di setiap sudut jalan. Semua restoran itu memperlihatkan label "halal" dan "حلال" dan "清真 (baca: qīngzhēn) di muka restoran.
ADVERTISEMENT
Seperti apa restoran halal di Guangzhou? Sila tonton vlog saya di bawah ini.
Saya pun mengenal baik sejumlah pengusaha restoran muslim lokal tempat saya biasa berlangganan. Sesekali saya melihat mereka mendidik anaknya mengaji Alquran di sela-sela kesibukan melayani pelanggan.
Penulis bersama pemilik rumah makan halal khas Lanzhou di distrik Panyu, Guangzhou. (Sumber: koleksi pribadi)
Muslim Tiongkok juga bebas mengekspresikan budaya Islam dari penampilan fisik seperti memelihara janggut hingga busana seperti peci dan kerudung.
Keragaman ekspresi budaya Muslim Tiongkok merupakan cerminan dari keragaman etnis penganutnya. Mulai dari etnis Bonan, Dongxiang, Hui, Kazakh, Dongxiang, Kyrgyz, Salar, Tajik,Tatar, Uighur, dan Uzbeks yang tersebar di Fujian, Gansu, Ningxia, Xian, Xinjiang dan Yunnan.
Keragaman ekspresi budaya Islam itu dapat kita lihat dari para peziarah lokal yang tak kunjung surut mengunjungi Makam Saad bin Abi Waqash.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya warga lokal, warga asing pun dapat dengan bebas mengenakan busana muslim mereka. Selama tiga tahun tinggal di Tiongkok, tidak pernah sekalipun saya dan istri mengalami perlakuan tidak baik dari pemerintah maupun warga setempat akibat dari keyakinan dan penampilan busana kami.
Sebaliknya, tidak sedikit penduduk Tiongkok yang tertarik dengan busana muslimah yang istri saya kenakan. Pengalaman serupa juga berulangkali saya dengar dari muslim/muslimah Indonesia di Tiongkok.
Satu hari, saya menemani istri mengikuti tes kemampuan bahasa Inggris di Guangdong University of Foreign Studies (GDFSU).
Bersama para peserta lainnya, istri berada di ruang tunggu untuk pendataan. Sementara saya dan anak menunggu di luar. Tak lama berselang, seorang petugas perempuan mendatangi saya.
ADVERTISEMENT
"Istri Bapak di dalam pakai kerudung. Tapi kerudungnya perlu dilepas. Nanti semua yang laki-laki akan kami minta keluar ketika istri kamu melepas kerudungnya. Apakah kami bisa melakukannya?" tanyanya ramah dan penuh harap.
Setelah melihat sejenak dari kejauhan suasana ruang tunggu tempat istri saya berada, saya palingkan kembali wajah saya ke petugas.
"Bisa," balas saya.
Seperti janjinya, saya lihat semua laki-laki keluar dari ruang tunggu. Pintu ditutup. Selang sejenak, mereka pun dipersilakan masuk kembali ke ruangan.
Usai tes, istri bercerita, petugas meminta kerudungnya dilepas untuk memastikan tidak ada alat bantu atau gangguan pendengaran yang dapat berdampak pada hasil tes yang akan dilakukan.
Suasana di luar ruang tunggu ketika petugas perempuan dari penyelenggara tes membuka jilbab istri penulis di dalam ruangan. (sumber: koleksi pribadi)

Bagaimana dengan salat?

ADVERTISEMENT
Dalam beberapa kesempatan, saya tidak sungkan untuk salat di ruang pertemuan hotel maupun di restoran. Tinggal jelaskan saja ke yang berwenang maksud dan tujuan kita. Biasanya, mereka akan mempersilakan dan menyiapkan tempat salatnya.
ADVERTISEMENT
Tidak jarang, saya juga melihat sendiri muslim lokal dan imigran yang salat di tempat umum seperti taman dan bandara. Selama tidak mengganggu ketertiban, mereka aman-aman saja menunaikan salat
Ini salah satunya.
Penulis juga pernah mengalami peristiwa yang mustahil dilupakan. Dalam sebuah perjalanan bisnis ke kota Nanning, saya menginap di sebuah hotel di tengah kota. Begitu memasuki kamar, siapa sangka, di meja kamar sudah tersedia sajadah beserta alat penunjuk arah kiblat.
Seperti apa jelasnya. Ini dia vlog yang pernah saya buat.
Islam bagi sebagian besar warga Tiongkok adalah "fenomena" yang asing. Tidak jarang, atas permintaan warga RRT, saya terlibat diskusi mendalam tentang Islam dan konsep-konsep umum seperti salat, puasa, haji, dan makanan halal.
ADVERTISEMENT
Pada sebuah kegiatan bisnis di Kota Shunde, saya juga melihat langsung bagaimana pengusaha Tiongkok belajar tentang tradisi muslim Indonesia, seperti anjuran agar tidak mengonsumsi minuman beralkohol dan makan babi di tempat terbuka selama berada di Indonesia.
Jangan dulu bicara konsep-konsep Islam yang rumit, nama Nabi Muhammad saja masih banyak yang baru dengar.
Realita ini sangatlah wajar karena informasi tentang Islam (dan agama lainnya) memang hampir mustahil ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
***
Lantas, bagaimana Islam diwarisi para penganutnya di Tiongkok dari generasi ke generasi?
Ada tiga metode. Pertama, para orang tua akan mendidik langsung anak mereka agama Islam sejak kecil. Kedua, pendidikan informal di masjid-masjid. Ketiga, melalui pendidikan agama Islam di perguruan tinggi.
Seorang warga Tiongkok sedang sholat sementara seorang anak kecil bermain-main di depannya. (Sumber: koleksi penulis).
Bisa jadi, di tanah air belum banyak yang tahu bahwa Tiongkok juga memiliki 11 perguruan tinggi studi Islam. Di antaranya: China Islamic Institute, Beijing Islamic Institute, Xian Islamic Institute, Lanzhou Islamic Institute, Ningxia Islamic Institute, Xinjiang Islamic Institute, Qinhai Islamic Institute, dan Henan Chengdu Islamic Institute.
ADVERTISEMENT
Singkatnya, tiga tahun lebih di Tiongkok, saya mengalami dan melihat langsung bagaimana umat beragama, termasuk Islam, dilindungi dan difasilitasi dalam beribadah. Persis seperti Komitmen Pemerintah Tiongkok yang tertuang dalam China's Policies and Practices on Protecting Freedom of Religious Belief yang dirilis State Council Information Office Tiongkok pada April 2018. (http://www.china.org.cn/government/whitepaper/node_8004087.htm)
***
Banyak yang secara pribadi bertanya ke saya. Bagaimana dengan nasib Muslim di Uyghur?
Untuk yang ini, tunggu ceritanya dari hasil singgah sejenak saya di Xinjiang, provinsi muslim etnis Uyghur Tiongkok berada.
Kondisi di dalam Mesjid Abbi Waqqas yang ada di Qingyuan-Guangzhou, China. Foto: Fahrian Saleh/kumparan