Tentang Uyghur, Kisah Singkat Singgah di Xinjiang

Ismail Fahmi
Diplomasi - Jurnalisme - Dakwah
Konten dari Pengguna
14 Maret 2020 13:04 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ismail Fahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Muslim Uyghur. Sumber: Xinhua.net
zoom-in-whitePerbesar
Muslim Uyghur. Sumber: Xinhua.net
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“@Ismail Fahmi any explanation?” tanya seorang rekan wartawan. “OM Fahmi, ini beneran gak sih?” tanya rekan wartawan lainnya. “Masih di Xin Jiang? Cerita lah soal Uighur,” pinta seorang rekan pengusaha. Biasanya, pertanyaan-pertanyaan itu disertai tautan berita tertentu tentang nasib muslim Uyghur di Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Tinggal bertahun-tahun di Tiongkok, pertanyaan seperti itulah yang seringkali saya dapatkan.
Namun khusus tentang ini, saya hampir selalu menolak berkomentar. Apalagi, saya tidak pernah berkunjung ke Xinjiang.
Hingga.
Pertengahan Desember 2019 saya ditugaskan ke Kazakhstan untuk sebuah misi diplomasi ekonomi. Kazakhstan yang berbatasan langsung dengan Tiongkok merupakan negara di Asia Tengah yang masih sulit diakses dari Indonesia.
Akibat belum mapannya konektivitas transportasi, perjalanan dari Indonesia ke Kazakhstan dapat memakan waktu hingga lebih dari 20 jam, termasuk transit di negara ketiga.
Dari sekian banyak pilihan penerbangan, kami memilih perjalanan Jakarta - Astana (ibukota Khazakstan) melalui Guangzhou dan Urumqi dengan waktu tempuh 17 jam.
Seorang rekan yang pernah bertugas di Astana mengingatkan bahwa rute itu berisiko karena singkatnya waktu transit di Guangzhou (sekitar 1 jam 10 menit). Sementara, perpindahan pesawat saat di Guangzhou harus melalui proses keluar masuk terminal bandara yang cukup membingungkan.
ADVERTISEMENT
16 Desember 2019. Apa yang diperingatkan teman saya benar adanya. Hampir saja kami tertinggal pesawat saat transit di Guangzhou. Lepas landas pukul 16.35, kami akan tiba di Urumqi sekitar pukul 00.30 dilanjutkan perjalanan ke Astana di pukul 1.30 dini hari.
Malam kami sambut di udara. Saya tertidur cukup lama. Jam menunjukkan pukul 12 malam. Seharusnya kami sudah bersiap mendarat namun masih saja berputar-putar di udara.
Setelah berputar cukup lama, akhirnya kami mendarat juga. Bukan di Urumqi, tapi di sebuah bandara kecil di Turpan, kota berpenduduk 650 ribu orang yang berlokasi 200 km di Tenggara Urumqi.
Turpan (warna merah).
Malam pekat. Temperatur yang minus 10 derajat celcius menggigiti kulit. Bonus hembusan angin yang cukup deras, dingin terasa makin tajam.
ADVERTISEMENT
Belakangan, kami mendapat kabar bahwa pendaratan terpaksa dilakukan di Turpan karena Urumqi baru saja diguyur badai salju. Walhasil, dini hari itu tidak ada pesawat yang mendarat di Ürümqi Diwopu International Airport.
Ini benar-benar di luar perencanaan.
Sejumlah bis disiapkan untuk mengantarkan kami bermalam di Turpan.
Rekan seperjalanan yang terpaksa mengungsi bersama ke hotel menunggu penerbangan selanjutnya. Sumber: Koleksi pribadi.
Jam telah menunjukkan pukul 02.00 ketika kami tiba di Hotel Shuangcheng Turpan.
Awalnya, saya tidak berharap banyak dengan fasilitas akomodasi sementara yang akan kami peroleh. Wajar, perjalanan dari bandara ke hotel meninggalkan kesan bahwa kami bermalam di sebuah kota yang relatif kecil dan sepi. Dan lazimnya, hotel di kota kecil tidak terlalu banyak yang memadai.
Ternyata kualitas hotel singgah sementara ini jauh di atas perkiraan. Bangunannya kokoh dan megah. Desainnya paduan seni dan budaya Islam juga Tiongkok. Bahkan, desain pintu utama hotel terlihat seperti gerbang masuk di berbagai masjid di Indonesia maupun Timur Tengah.
ADVERTISEMENT
Cukup banyak hal-hal unik yang bisa diabadikan. Namun malam sudah terlalu suntuk. Badan sudah terlalu lelah.
Paling tidak, malam ini saya tidur dalam mimpi yang mewujud. Bermalam di Xinjiang walaupun beraroma ketidaksengajaan.
Shuacheng Hotel Turpan. Sumber: chinaholiday.com.
Pemahaman yang berkembang di Indonesia, muslim Uyghur mendominasi penduduk Xinjiang. Kenyataannya, tidaklah begitu.
Berbagai sumber menyebutkan, lebih dari separuh penduduk Xinjiang bukan etnis Uyghur.
Penduduk Xinjiang sekitar 22 juta jiwa. Etnis Uyghur sekitar 43-46 persennya. Sisanya, etnis Han, sekitar 38-40 persen dari total populasi. Sementara etnis lainnya Kazakhs dan Hui.
Memang, pada masa awal pendirian Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Xinjiang masih didominasi penduduk beretnis Uyghur.
Pada tahun 1949, etnis Han di Xinjiang baru berjumlah 291 ribu orang atau sekitar 6 persen dari total populasi. Jumlahnya terus meningkat dan tahun 2010 sudah mencapai 8,8 juta orang atau sekitar 40 persen dari total penduduk Xinjiang.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pada tahun 1949, etnis Uyghur di Xinjiang jauh mendominasi dengan 3,2 juta jiwa. Pada tahun 2010 jumlahnya mencapai 10 juta jiwa.
Meningkatnya jumlah etnis Han di Xinjiang didorong kebijakan pemerintah RRT untuk mempercepat pembangunan di sana. Terutama sejak pelaksanaan kebijakan Great Leap West untuk percepatan pembangunan di kawasan Barat Tiongkok yang diluncurkan Presiden Jiang Zemin pada 17 Juni 1999.
Perekonomian di Xinjiang memang tumbuh sangat pesat.
Pada tahun 1952, GDP Xinjiang 791 juta yuan (USD111 juta) dan pada tahun 2018 GDP-nya tumbuh menjadi 1,22 triliun yuan atau (USD171 miliar) atau meningkat 200 kali lipat dengan rata-rata pertumbuhan 8,3 persen per tahun.
Sumber: The Hanification of Xinjiang, China: The Economic Effects of the Great Leap West, Studies in Ethnicity and Nationalism: Vol. 17, No. 2, 2017, Amy H. Liu University of Texas dan Kevin Peters, Gerson Lehrman Group, Inc.
Untuk membangun Xinjiang, Pemerintah RRT mengaku telah menginvestasikan 2,35 triliun yuan dalam 70 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Sebagai provinsi dengan wilayah terbesar di Tiongkok, Xinjiang kini memiliki 21 bandar udara sipil dan jalan raya yang menghubungkan hampir seluruh desa.
Pada tahun 2018, perdagangan luar negeri Xinjiang mencapai USD 20 miliar, meningkat 1481 kali dari tahun 1950. Antara tahun 1978 hingga 2018, pendapatan rata-rata penduduk Xinjiang juga bertumbuh 100 kali lipat.
Pada tahun 1949, sekitar 90 persen penduduk Xinjiang masih buta huruf dengan anak yang masuk sekolah kurang dari 20 persen. Tahun 2018, tingkat pendaftaran anak usia sekolah telah mencapai 99,91 persen.
Di tengah kondisi tersebut, sejumlah kalangan mengkritik karena keuntungan terbesar dari pertumbuhan ekonomi tersebut mayoritas masih dinikmati oleh etnis Han yang merupakan pendatang.
Etnis Han merupakan suku bangsa mayoritas di RRT dengan persentase mencapai 92 persen dari total populasi.
ADVERTISEMENT
Di Xinjiang, dominasi etnis Han terutama terlihat di Urumqi, ibukota Xinjiang. Jumlah penduduk beretnis Han di Urumqi pada tahun 2010 mencapai 74,91 persen (2,3 juta jiwa) sementara penduduk dari etnis Uyghur hanya sekitar 12,46 persen (387 ribu).
Penduduk beretnis Uyghur umumnya mendominasi kawasan selatan Xinjiang seperti di Kashgar (81 persen) dan Turpan (75,1 persen). Pantas di kota inilah warna etnis Uyghur lebih terlihat, di antaranya dari orang-orang setempat yang saya lihat.
Perbedaan wajah etnis Han dan Uyghur. Sumber: https://ipvm.com/reports/hikvision-uyghur
Tiba dini hari di Turpan membatasi saya untuk melihat langsung suasana perkotaan. Seluruh penumpang pesawat nampaknya juga masih kesal dengan nasib yang mereka alami.
Maklum, dengan bermalam di Turpan, pastinya rencana semua penumpang harus berubah total. Saya pun cukup khawatir karena bisa jadi kami tiba di Kazakhstan melewati penyelenggaraan kegiatan yang sudah direncanakan.
ADVERTISEMENT
Bangun pagi hari, tidak banyak yang dapat dilakukan selain menyiapkan diri untuk bertolak ke Urumqi. Sialnya, sejak mendarat dini hari, kami tidak diberi tahu kapan kami akan diberangkatkan kembali.
Saya pun hanya bisa menikmati suasana di luar gedung sesaat saja sambil merekam segala detailnya di kepala. Merekam suasana dengan kamera ponsel sulit dilakukan karena dingin yang mengigit. Lebih baik, tangan dibenamkan dalam-dalam ke saku celana.
Dengan cuaca ekstrem, tidak banyak yang dapat dilakukan sebangunnya kami dari tidur. Kami pun menyempatkan diri menyantap sarapan di restoran hotel.
Ternyata, sarapan inilah yang meninggalkan kesan tersendiri buat saya. Karena, inilah kali pertama saya sarapan di sebuah hotel di Tiongkok dengan 100 persen makanan halal. Pantas, biasanya, menu babi selalu tersaji.
ADVERTISEMENT
“Semua makanan ini halal?” tanya saya ke seorang pelayan.
“Iya,” jawabnya singkat.
Menduga saya juga seorang muslim, ia pun melanjutkan dengan salam.
“Assalamualaikum,” sambungnya sambil tersenyum tipis.
Sebagian menu halal yang disajikan. Sumber: Koleksi pribadi.
Tidak lama berselang, petugas maskapai penerbangan meminta kami untuk bergegas. Jam menunjukkan pukul 9.
Saya memilih duduk di baris terdepan bagian atas. Sengaja, agar saya dapat melihat suasana Turpan, kota dengan mayoritas muslim Uyghur ini lebih jelas.
Suasana kota Turpan di pagi hari. Foto: Koleksi pribadi.
Pukul sembilan pagi itu matahari baru mengintip sedikit. Jalan masih terlihat sepi dan senyap. Hanya sesekali kendaraan melintas. Yang paling kentara, mobil-mobil polisi yang sesekali berlalu lalang.
Sekalipun jam menunjukkan pukul 10 pagi, bis kami yang paling awal tiba di bandara.
Bandara ini memang terbilang kecil dan terpencil. Namun, di bandara inilah saya untuk pertama kalinya melihat cara pemerintah Tiongkok membangun infrastruktur transportasi seraya merawat kekayaan lokal.
ADVERTISEMENT
Misalnya, penamaan bandara ini: Turpan Jiaohe.
“Turpan” diambil dari bahasa Uyghur abad pertengahan yang artinya “permukiman.” Saat itu penduduk Turpan beragama Budha dan Manichean (agama asal Persia/Iran).
Seiring dengan masuknya Islam mulai abad ke-15, bahasa Uyghur pun mengadaptasi bahasa Arab dan Persia. Saat ini Turpan ditulis dalam bahasa Uygur dengan “تورپان”. Tulisan itu juga yang terpampang dengan sangat jelas di bandara.
Tampak muka Bandara Turpan Jiaohe. Sumber: Koleksi pribadi.
“Jiaohe” diambil dari nama komplek bersejarah peninggalan leluhur Uyghur yang berlokasi sekitar 10 KM di Barat Turpan. Pada abad 1 sebelum masehi hingga abad kelima masehi, Jiaohe merupakan ibukota dari Kerajaan Jushi di mana penduduknya menganut agama Budha.
Dengan sejarahnya yang sudah sangat lama, etnis Uyghur disebut-sebut memang berasal dari kawasan Turpan.
Tempat beribadah umat Budha di Jiaohe, Turpan. Sumber: Wikimedia Commons.
Mulai dari bandara inilah saya menyadari, selain Mandarin, bahasa Uyghur yang beraksara Arab dan Persia itu merupakan bahasa resmi di Xinjiang.
ADVERTISEMENT
Kebijakan itu merupakan salah satu kebijakan khusus Pemerintah RRT di Xinjiang dan diatur melalui Regulations of the Xinjiang Uyghur Autonomous Region on Spoken- and Written-Language Work yang disahkan pada sesi ke-13 People’s Congress Standing Committee Xinjiang pada 20 September 2002.
Hasilnya, tidak sulit bagi kita untuk mendapatkan tulisan berbahasa Uyghur disertai Mandarin di tempat-tempat umum. Pengaturan khusus ini merupakan salah satu bentuk dari pemberlakuan status Xinjiang sebagai daerah otonomi khusus.
Penulis dengan latar belakang marka jalan dalam bahasa Mandarin dan Uyghur.
Informasi di bandara dalam bahasa Mandarin, Uyghur dan Inggris. Sumber: koleksi pribadi.
Pada masa awal pendirian RRT, Xinjiang masih bernama "Provinsi Xinjiang". Namun pada tahun 1955, diusulkanlah pengubahan nama.
Nama awal yang diajukan yaitu “Daerah Otonomi Khusus Xinjiang”. Namun Saifuddin Azizi, Ketua Partai Komunis Xinjiang saat itu, menolak usulan tersebut dan kepada Mao Zedong mengusulkan nama “Daerah Otonomi Khusus Xinjiang Uyghur.”
ADVERTISEMENT
“Otonomi tidak diberikan kepada pegunungan dan sungai. Tapi diberikan kepada bangsa tertentu,” jelas Azizi.
Saifuddin Azizi (kanan) bersama Mao Zedong. Sumber: Wikipedia Commons.
Desain bandara ini juga terlihat tidak seperti bandara-bandara pada umumnya di Tiongkok. Di bandara ini, kita dapat merasakan nuansa arsitektur Islam dalam setiap lekuknya.
Suasana seperti ini tidak hanya baru buat kami yang datang jauh dari Indonesia, namun juga bagi warga Tiongkok yang secara tidak sengaja bersama kami “terdampar” di kota ini. Mereka pun sibuk berswafoto dengan gawai masing-masing.
Pemandangan lain yang juga saya lihat di sini adalah keberadaan warga setempat yang mengenakan busana bernuansakan Islam seperti peci dan kerudung tradisional khas Uyghur, juga memanjangkan jenggot sebagai salah satu ibadah sunah Nabi Muhammad SAW.
Pesawat sesaat lagi lepas landas. Persinggahan tanpa rencana ini memang hanya sejenak.
ADVERTISEMENT
Tapi, dari pengalaman singkat ini, saya dapat merasakan upaya Pemerintah RRT untuk menjaga harmoni dan stabilitas di Xinjiang agar kesejahteraan penduduk di sini dapat terus tumbuh dan berkembang.
Sekembalinya dari tugas di Kazakhstan, kami kembali transit di Urumqi pukul 1.30 dini hari. Lagi-lagi, kami harus bermalam sejenak di luar bandara. Namun karena transit hanya sekitar 7 jam, tentu tidak banyak yang dapat dilakukan.
Setelah istirahat sekitar tiga jam, kami berangkat lagi dari hotel sekitar pukul enam pagi. Pesawat akan lepas landas sekitar pukul sembilan pagi. Saya dan seorang rekan belum salat subuh. Karena waktu yang terbatas, rekan saya pun memberanikan salat di salah satu sudut bandara.
Awalnya, kami sedikit khawatir akan ditegur petugas setempat. Kenyataannya, rekan saya itu merampungkan salatnya tanpa gangguan apa-apa. Saya pun memberanikan diri ikut salat di tempat yang sama.
ADVERTISEMENT
Sial. Kali ini seorang petugas keamanan mendatangi saya. Salat baru separuh perjalanan. Ia mengajak saya bicara. Saya terus salat. Diambilnya paspor di saku saya.
Usai salat, saya berbicara dengan petugas itu. Saya jelaskan semampunya, bahwa saya ingin salat tapi tidak ada tempat. Ia mengingatkan, kalau ingin salat bisa dilakukan di penginapan.
Ini kali pertama saya salat di bandara di Tiongkok dan ditegur petugas.
Teguran itu menurut saya wajar saja. Karena di Tiongkok, semua umat beragama sekalipun bebas beragama, tidak dapat beribadah di sembarang tempat. Pemerintah menganjurkan agar salat dilakukan di tempat-tempat ibadah ataupun privat. Kabarnya, di Xinjiang terdapat 24 ribu masjid dengan perbandingan 1 masjid untuk sekitar 500 penduduk.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari itu, kenyataannya, di Guangzhou Baiyun International Airport, bandara di kota tempat saya bermukim cukup lama, pemandangan orang salat di tempat terbuka sudah menjadi hal biasa. Dan seingat saya, tidak pernah ada petugas yang menegurnya.
Ah, sudahlah. Ini Xinjiang. Tempat kerumitan sejarah, politik, keamanan, ekonomi, dan sosial budaya terkait etnis Uyghur bersilangsengkarut.
Semoga pada tulisan-tulisan berikutnya saya bisa terus bantu mengurainya.
Tabik!
====
Perjalanan singkat saya ini juga dapat dilihat di sini.
ADVERTISEMENT