Konten dari Pengguna

Tradisi, Literasi, dan Ironi: Antara Warisan Budaya dan Tantangan Zaman

Ismatu Zahra
Saya adalah mahasiswa Akuntansi di Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta. Selain akademik, Saya aktif sebagai Ketua IPPNU, berkontribusi dalam pendidikan dan kepemimpinan. Dengan semangat belajar, Saya ingin menjadi pribadi yg bermanfaat
16 Februari 2025 8:59 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ismatu Zahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.istockphoto.com/id/foto/lebah-ejaan-gm183260252-14541453?utm_source=pixabay&utm_medium=affiliate&utm_campaign=sponsored_image&utm_content=srp_topbanner_media&utm_term=literasi
zoom-in-whitePerbesar
https://www.istockphoto.com/id/foto/lebah-ejaan-gm183260252-14541453?utm_source=pixabay&utm_medium=affiliate&utm_campaign=sponsored_image&utm_content=srp_topbanner_media&utm_term=literasi
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan masyarakat, tradisi, literasi, dan ironi sering kali berjalan berdampingan. Tradisi merupakan warisan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi, literasi adalah kemampuan memahami dan mengelola informasi, sedangkan ironi muncul ketika realitas yang ada justru bertentangan dengan harapan atau nilai-nilai yang dianut.
ADVERTISEMENT
Tradisi sebagai Identitas Kolektif
Tradisi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial. Tradisi mencerminkan nilai-nilai, kepercayaan, dan cara hidup yang dijaga oleh suatu kelompok masyarakat. Dalam berbagai budaya, tradisi hadir dalam bentuk ritual, upacara adat, hingga kebiasaan sehari-hari. Misalnya, di Indonesia, tradisi seperti gotong royong, selamatan, dan upacara adat masih lestari di beberapa daerah sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur.
Namun, di tengah arus globalisasi dan modernisasi, banyak tradisi mulai terkikis atau bergeser maknanya. Hal ini menimbulkan dilema bagi masyarakat, terutama dalam menjaga keseimbangan antara mempertahankan budaya asli dan menerima perubahan zaman.
Literasi sebagai Jembatan Perubahan
Di era digital, literasi bukan hanya sebatas kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup pemahaman terhadap berbagai informasi yang tersedia, baik dalam bentuk teks, digital, maupun audiovisual. Literasi memungkinkan individu untuk lebih kritis dalam menyaring informasi yang benar dan bermanfaat.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, meskipun akses terhadap informasi semakin luas, rendahnya tingkat literasi di beberapa kalangan menjadi tantangan besar. Masyarakat sering kali lebih mudah menerima informasi yang viral tanpa melakukan verifikasi. Akibatnya, hoaks dan misinformasi pun berkembang pesat.
Ironi dalam Realitas Sosial
Ironi muncul ketika apa yang terjadi justru bertolak belakang dengan nilai-nilai yang seharusnya dijunjung. Misalnya, banyak masyarakat yang mengaku mencintai budaya lokal, tetapi justru lebih mengagungkan budaya asing. Begitu pula dengan literasi, di mana akses terhadap pendidikan semakin luas, tetapi minat membaca dan berpikir kritis justru menurun.
Ironi lainnya terlihat dalam perkembangan teknologi. Kemajuan digital seharusnya membantu masyarakat dalam mengakses informasi yang lebih luas dan berkualitas. Namun, dalam praktiknya, banyak yang justru terjebak dalam budaya instan dan konsumtif, di mana mereka lebih tertarik pada hiburan yang dangkal dibandingkan dengan pengetahuan yang mendalam.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Tradisi, literasi, dan ironi adalah tiga elemen yang saling terkait dalam dinamika sosial. Tradisi memberikan identitas dan akar budaya, literasi menjadi alat untuk memahami dan menavigasi dunia yang terus berubah, sementara ironi mengingatkan kita bahwa realitas tidak selalu sesuai dengan harapan.
Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama untuk menjaga tradisi tanpa menutup diri terhadap perkembangan zaman, meningkatkan literasi agar masyarakat lebih kritis, serta memahami dan mengatasi berbagai ironi dalam kehidupan agar kita tidak terjebak dalam kontradiksi yang merugikan.