Resensi Buku : Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer

Ismi Nur 'Aliya
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
22 Oktober 2022 21:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ismi Nur 'Aliya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Resensi Buku : Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Judul Buku : Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
ADVERTISEMENT
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: 2001
Halaman : 218 halaman
Masa remaja adalah masa yang dimulai untuk melakukan sebuah perubahan dengan membuka jendela dunia dan melihat kehidupan besar. Namun, berbeda halnya dengan para perawan remaja di masa pendudukan Jepang pada tahun 1942-1945. Para perawan remaja menjalani hidup dengan serba susah dan menderita. Mereka sulit untuk mendapatkan makanan, bahkan harus melakukan kerja paksa yang jauh dari desanya.
Pada tahun 1943, Pemerintah Balatentara Pendudukan Dai Nippon memberikan janji kepada para pemuda Indonesia untuk mendapatkan kesempatan belajar ke Tokyo dan Shonanto (Jepang). Namun, janji ini tidak diumumkan secara resmi tetapi disebarkan hanya dari mulut ke mulut saja. Alasan janji memberikan kesempatan belajar tersebut tidak diumumkan secara resmi dan tidak tercantum dalam Osamu Serei (Lembaran Negara) adalah kesengajaan untuk menghilangkan jejak kejahatan Jepang. Hal ini ditangani oleh Sendenbu (Barisan Propaganda). Pada zaman Belanda, yang paling berkuasa adalah Pangreh Praja. Pada zaman penjajahan Jepang, Pangreh Praja melaksanakan anjuran atau perintah Sendenbu. Jadi, Sendenbu meneruskan kepada Pangreh Praja diteruskan kepada Bupati kemudian kepada Camat. Camat menerukan kepada Lurah dan langsung disampaikan pada perabot desa dan penduduk.
ADVERTISEMENT
Sumiyati, salah satu perawan remaja yang menjadi korban bercerita kepada Sukarno Martodiharjo bahwa janji itu sebagai bentuk usaha dalam mempersiapkan rakyat Indonesia ke arah kemerdekaan nanti yang sesuai dengan keinginan Nippon, yaitu generasi muda Indonesia dididik agar dapat mengabdikan diri dalam kemerdekaan. Soeryono Hadi, mantan anggota pimpinan LKBN antara perwakilan Surabaya bercerita bahwa kakaknya berkata pada tahun 1943 Pemerintah pendudukan Dai Nippon menyerukan kepada setiap orangtua yang memiliki anak perempuan agar segera mendaftarkan kepada pemerintah untuk disekolahkan. Pada umumnya, para perawan remaja pergi bukan karena kerelaan orangtua tetapi takut pada ancaman Jepang. Orang-orang Jepang melakukan tugas dengan kejam dan penuh kekerasan. Hal ini membuat para perawan remaja jatuh dalam cengkeraman Jepang dan sulit untuk bisa melepaskan diri.
ADVERTISEMENT
Para perawan remaja pergi tidak diantarkan keluarga menuju kapal tetapi Jepang menjemput mereka di rumah masing-masing. Mereka dikumpulkan di tempat pengepolan. Di sana mereka menunggu sampai tersedia kapal yang akan membawa mereka. Di sini mereka diangkut ke pelabuhan. Ketika naik kapal, mereka menggunakan seragam putih, rok, blouse, topi putih, sepatu hitam, dan kaus kaki putih. Mereka membawa tas pakaian seragam. Setelah berada di kapal, mereka bebas berpakaian.
Jepang memilih para perawan remaja yang belum dewasa untuk memenuhi impian seks serdadu Jepang pada satu pihak dan agar tidak mendapatkan perlawanan. Hal ini dibuktikan oleh salah satu dari mereka yang menceritakan kepada Makhudum Sati bahwa lepas 1,5 mil dari pelabuhan, para perwira Jepang serentak melakukan serbuan terhadap para perawan remaja dengan memperkosanya. Mereka berlarian di kapal untuk mencoba menyelamatkan diri ke laut. Sumiyati sang korban menceritakan pengalamannya pada saat itu dengan bercucuran air mata yaitu saat asramanya berisikan 50 perawan remaja Jawa yang didatangi oleh sejumlah besar serdadu Jepang dan menggilir mereka gelombang demi gelombang.
ADVERTISEMENT
Setelah menengok masa lalu hubungan dengan Jepang yang buruk itu meyakinkan bahwa para perawan remaja dari Jawa tersebut mendapat perlakuan buruk sampai hari akhir kekuasaannya di Indonesia. Pada tahun 1945, Jepang kalah dalam Perang Dunia II. Kekalahan ini membuat Jepang lepas tangan tanpa tanggung jawab membiarkan para perawan remaja begitu saja. Mereka tidak bisa pulang ke kampung halamannya dan tidak mendapatkan pelayanan, serta perlindungan hukum seperti orang buangan.
Bukan hanya wanita Indonesia saja yang dijadikan budak seks serdadu Jepang. Diperkirakan ada 20.000 wanita di negara-negara Asia yang pernah dijajah oleh Jepang seperti Korea Selatan dan Filipina. Ironisnya hingga kini pemerintahan Jepang tetap menolak untuk bertanggung jawab secara hukum dengan alasan para korban adalah jugun ianfu (perempuan penghibur) yang bekerja secara sukarela bukan karena budak seks.
ADVERTISEMENT
Berapa persen dari sekian para perawan remaja itu yang dapat berhasil kembali ke pangkuan keluarga? Tidak ada yang bisa memastikannya. Jepang hendak menghapuskan jejak agar terbebas dari tuduhan melakukan kejahatan perang. Ketika kalah perang, Jepang segera membebaskan remaja itu tanpa pesangon dan fasilitas. Namun, adakah kiranya diantara para perawan remaja itu yang pulang kembali dengan selamat? Tentu saja ada. Pada Agustus 1945, para Heiho (Prajurit Pembantu Balatentara Jepang) yang didemolisasi di Burma telah dikerumuni para perawan remaja yang malang yang dilepaskan begitu saja oleh Jepang. Mereka minta dibawa pulang ke Jawa namun tidak bisa. Para bekas Heiho itu hanya bisa memberikan saran bagaimana mereka pulang. Pada sampai tahun 1979 atau sekitar 35 tahun, mereka menjadi buangan yang dilupakan.
ADVERTISEMENT
Hal menarik yang menjadi keunggulan dari buku ini adalah banyak terdapat bukti akurat berupa adanya wawancara secara langsung oleh salah satu korban maupun keluarga korban sehingga isi buku ini benar sesuai fakta tanpa dibuat secara khayalan. Cerita yang terdapat pada buku ini memberikan perjuangan yang begitu besar oleh para perawan remaja pada zaman penjajahan Jepang. Mereka hidup dengan penuh penderitaan, ketakutan, dan terbelenggu oleh kejamnya pemerintahan Jepang. Namun, buku ini terdapat banyak kata yang asing terdengar di telinga sehingga sulit untuk memahami kata tersebut.