Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Menyikapi Polemik Usulan Pergantian Wakil Presiden: Analisis Kritis
7 Mei 2025 16:13 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Isnan Hari Mardika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam sistem demokrasi, perbedaan pandangan dan dinamika kekuasaan adalah hal yang wajar. Namun, demokrasi juga menuntut kedewasaan politik dan orientasi pada kepentingan publik. Belakangan, wacana usulan pergantian Wakil Presiden (Wapres) di tengah masa jabatan mencuat dan memicu polemik tajam di ruang publik. Wacana ini tidak hanya menantang etika politik, tetapi juga memunculkan pertanyaan krusial: apakah usulan tersebut benar-benar mencerminkan kebutuhan rakyat, atau sekadar cermin dari manuver elit yang kehilangan orientasi kebangsaan?
ADVERTISEMENT
Wakil Presiden bukanlah posisi simbolik semata. Ia adalah bagian integral dari sistem eksekutif yang bertugas menjaga kesinambungan kebijakan, menjadi jembatan antara lembaga-lembaga negara, dan memperkuat koordinasi dalam pemerintahan. Ketika posisinya dipersoalkan tanpa landasan konstitusional yang kuat, maka yang dipertaruhkan bukan hanya figur, tetapi juga stabilitas politik, efektivitas pemerintahan, dan kepercayaan rakyat terhadap institusi negara.
Tulisan ini berupaya membedah dimensi politik di balik usulan tersebut, serta mengemukakan alasan mengapa Wakil Presiden yang sah secara elektoral dan konstitusional sebaiknya tetap dipertahankan. Dalam konteks demokrasi yang terus mencari kematangan, mempertahankan Wapres bukan sekadar pilihan politis—melainkan komitmen terhadap prinsip, stabilitas, dan etika bernegara.
Analisis Politik: Antara Aspirasi Elit dan Stabilitas Sistem
Dalam tradisi politik Indonesia pascareformasi, tarik-menarik antara kekuasaan eksekutif dan tekanan politik dari partai atau kelompok kepentingan bukanlah hal baru. Usulan pergantian Wakil Presiden sering kali muncul bukan karena kegagalan dalam menjalankan tugas kenegaraan, tetapi lebih sebagai refleksi dari dinamika internal koalisi, perebutan pengaruh, atau bahkan tekanan elektoral jelang kontestasi politik berikutnya.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif teori kelembagaan (institutionalism), perubahan dalam struktur pimpinan nasional tanpa adanya kegentingan yang memaksa dapat melemahkan legitimasi institusi negara. Usulan semacam ini berisiko menurunkan kepercayaan publik terhadap kestabilan pemerintahan dan menciptakan preseden negatif bagi tata kelola demokrasi.
Selain itu, teori politik koalisi menjelaskan bahwa wakil presiden merupakan representasi konsensus politik yang telah dicapai melalui proses demokratis. Mempertahankan posisi wapres berarti menghormati kesepakatan politik dan kontrak sosial yang telah disetujui rakyat melalui pemilihan umum.
Implikasi Politik dan Sosial: Sebuah Tinjauan Kritis
Usulan pergantian Wakil Presiden di tengah masa jabatan bukan sekadar wacana politik biasa; ia merepresentasikan gejala lebih dalam dari ketegangan struktural dan potensi instabilitas dalam sistem demokrasi Indonesia. Dalam konteks ini, terdapat sejumlah implikasi politik dan sosial yang perlu dikritisi secara tajam.
ADVERTISEMENT
Isu ini mengandung potensi disrupsi terhadap stabilitas pemerintahan. Ketika energi politik elite diserap oleh tarik-ulur kekuasaan yang tidak berlandaskan urgensi kebijakan atau kegagalan kinerja, maka fokus pemerintahan terhadap agenda-agenda strategis nasional menjadi terpecah. Dalam situasi global yang penuh ketidakpastian—baik dari sisi ekonomi, geopolitik, maupun iklim—pemerintah justru memerlukan kohesi internal yang kuat. Mengangkat isu pergantian wapres di luar kerangka konstitusional adalah gangguan yang tidak hanya menguras perhatian birokrasi, tetapi juga dapat memperlambat laju implementasi program pembangunan.
Polemik ini berpotensi memperdalam polarisasi politik—bukan hanya di kalangan elite, tetapi juga dalam masyarakat luas. Dalam era digital dan media sosial, isu seperti ini mudah dipolitisasi, direduksi menjadi pertarungan identitas, dan dimobilisasi menjadi alat kepentingan jangka pendek. Dampaknya bukan sekadar perbedaan pandangan, tetapi bisa mengarah pada fragmentasi sosial yang berbahaya. Polarisasi semacam ini berisiko merusak kohesi sosial yang selama ini dibangun dengan susah payah pascareformasi. dan yang paling berbahaya, adalah terbukanya preseden konstitusional yang buruk. Jika pergantian wakil presiden dimungkinkan hanya karena kalkulasi politik atau manuver elite, tanpa adanya dasar hukum dan konstitusional yang kuat, maka demokrasi kita sedang dihadapkan pada erosi prinsip. Hal ini menciptakan celah bagi praktik transaksional kekuasaan yang merusak integritas sistem presidensial. Lebih dari itu, langkah seperti ini akan mengirimkan sinyal buruk kepada publik bahwa hasil pemilu—yang merupakan perwujudan kedaulatan rakyat—bisa dinegosiasikan ulang oleh segelintir elite di tengah jalan.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif stabilitas nasional, keberadaan Wapres yang konsisten mendampingi Presiden mencerminkan kesinambungan pemerintahan yang solid. Dalam lanskap global yang penuh ketidakpastian—baik karena dinamika ekonomi internasional, konflik geopolitik, maupun krisis iklim—pemerintahan Indonesia memerlukan kepemimpinan yang stabil dan tidak terpecah oleh konflik internal. Wapres bukan sekadar simbol, tetapi aktor kunci dalam menjembatani kebijakan strategis dan menjaga harmoni dalam struktur eksekutif. Menggoyang posisinya di tengah jalan hanya akan memperbesar ketidakpastian dan mengganggu arah kebijakan nasional.
Dengan demikian, implikasi dari polemik ini bukan hanya persoalan personal atau jabatan, tetapi menyentuh akar legitimasi dan keberlanjutan institusi politik. Mengabaikan implikasi-implikasi tersebut demi kepentingan jangka pendek bukan hanya tidak bijak, tetapi juga berisiko menciptakan ketidakstabilan politik yang lebih luas dalam jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Oleh : Isnan Hari Mardika (Dosen ITB Ahmad Dahlan)