Konten dari Pengguna

Mengakhiri Praktik Perkawinan Anak di Indonesia

Isnan Nursalim
Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan UGM, Peminat Kajian Bencana, Perubahan Iklim dan Sosial Politik
30 November 2024 17:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Isnan Nursalim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Foto: Shuterstock
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Shuterstock
Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan setiap tahun menjadi momen penting untuk merefleksikan persoalan mendalam yang dihadapi perempuan di Indonesia, salah satunya adalah praktik perkawinan anak. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, tantangan ini tetap membutuhkan perhatian serius untuk memastikan perlindungan hak anak perempuan dan keadilan gender dapat terwujud secara menyeluruh.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data BPS, angka perkawinan anak terus mengalami tren penurunan dari tahun ke tahun. Namun, angka penurunan ini belum cukup signifikan. Pada 2023, proporsi perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun tercatat sebesar 6,92%. Angka ini turun dibandingkan 2022 yang mencapai 8,06%. Pada 2021, angka tersebut berada di 9,23%, sedangkan pada 2020 mencapai 10,35%.
Meskipun tren penurunan ini terlihat positif, Indonesia masih mencatat prevalensi perkawinan anak yang tinggi dibandingkan negara Asia lainnya. Menurut data UNICEF, Indonesia menduduki peringkat kedelapan di dunia dan tertinggi kedua di Asia Tenggara dalam hal proporsi perkawinan anak di bawah usia 18 tahun (The Conversation, 2023).
Upaya Mengakhiri Perkawinan Anak
Berbagai langkah sistemik dan kultural telah dilakukan untuk mengakhiri praktik perkawinan anak di Indonesia. Secara sistemik, upaya ini menunjukkan kemajuan terutama dalam kebijakan terkait perkawinan anak. Indonesia telah memiliki undang-undang hingga peraturan di tingkat desa yang mendukung penghapusan perkawinan anak. Bahkan sejak tahun 2019, batas usia minimum untuk menikah dinaikkan menjadi 19 tahun. Meskipun demikian, upaya tersebut tidak cukup kuat mendapatkan legitimasi dan penerimaan masyarakat, terutama di wilayah yang masih kental dengan tradisi dan norma-norma lokal. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan penghapusan perkawinan anak tidak hanya bergantung pada perubahan kebijakan, tetapi juga pada transformasi nilai-nilai sosial yang mengakar.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, tantangan kultural lebih kompleks. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa salah satu penyebab utama tingginya angka perkawinan anak adalah budaya patriarki yang memosisikan perempuan pada peran subordinat dalam berbagai aspek kehidupan (Nursalim et al., 2023; PUSKAPA UI, 2018; Candraningrum et al., 2016). Budaya dan tradisi lokal kerap menjadi hambatan utama. Dalam banyak komunitas di Indonesia, norma tradisional dan agama masih menjadi faktor kuat yang mempertahankan praktik ini. Perempuan sering kali dilihat sebagai simbol kehormatan bagi keluarga, sehingga banyak orang tua merasa harus menikahkan anak perempuannya lebih awal demi menjaga kehormatan tersebut.
Di komunitas pedesaan atau wilayah dengan budaya patriarki yang kuat, menikahkan anak perempuan di usia muda dianggap lebih "terhormat". Hal ini terkait dengan pandangan bahwa pernikahan dini dapat mencegah anak dari perilaku yang dianggap mencoreng nama baik keluarga, seperti sex pra nikah dan hubungan asusila lainnya. Selain itu, perempuan sering dianggap hanya perlu menjalani peran domestik seperti menjadi istri dan ibu. Akibatnya, pendidikan bagi perempuan dianggap kurang penting, karena mereka akan berfokus pada rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Pandangan ini diperburuk oleh kondisi ekonomi yang sulit. Dalam situasi ekonomi yang sulit, tradisi ini diperparah oleh anggapan bahwa menikahkan anak perempuan adalah solusi untuk mengurangi beban ekonomi keluarga. Dalam beberapa budaya, mas kawin atau bentuk kompensasi ekonomi lainnya menjadi daya tarik bagi keluarga untuk menikahkan anak perempuan mereka lebih awal.
Dari sisi agama, praktik perkawinan anak sering kali mendapat pembenaran melalui interpretasi ajaran agama yang kurang kontekstual. Beberapa komunitas merujuk pada praktik masa lalu atau tokoh agama yang menikah di usia muda sebagai justifikasi, tanpa mempertimbangkan perubahan sosial-historis. Misalnya, sebagian masyarakat menganggap anak perempuan yang sudah "baligh"—ditandai dengan menstruasi—sudah siap menikah, meskipun belum matang secara psikologis maupun sosial.
Pandangan ini juga kerap diperkuat oleh tokoh agama lokal yang (masih) mendukung perkawinan anak sebagai cara untuk menjaga moralitas atau menghindari dosa. Fatwa atau pandangan mereka sering kali lebih dihormati dibandingkan aturan hukum formal. Di sisi lain, praktik ini juga dipengaruhi oleh kurangnya dialog antara nilai-nilai tradisional dan ajaran agama dengan prinsip-prinsip modern tentang hak anak dan kesetaraan gender.
ADVERTISEMENT
Mengharmoniskan Norma Global dan Lokal
Dalam beberapa tahun terakhir, diskusi global mengenai pentingnya penghapusan perkawinan anak, kawin paksa, dan pernikahan usia dini semakin mendapatkan perhatian. Pemerintah di berbagai negara juga telah menyatakan komitmennya untuk mengakhiri praktik perkawinan anak pada tahun 2030 sebagai bagian dari pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Namun, dalam implementasinya tantangan justru muncul ketika norma global yang berlandaskan prinsip hak asasi manusia dan kesetaraan gender bersinggungan dengan norma tradisional di tingkat lokal.
Norma tradisional di Indonesia sering bertentangan dengan norma global yang dianggap sebagai "kebenaran" universal. Norma global yang menekankan hak anak dan kesetaraan gender ini sering kali bersitegang dengan budaya lokal yang mengakar kuat pada adat dan agama. Perbedaan pandangan ini menyebabkan norma global sulit diimplementasikan tanpa terlebih dahulu menyesuaikan dengan konteks lokal yang kompleks dan beragam.
ADVERTISEMENT
Transformasi norma lokal menjadi norma global seringkali tidak memperhitungkan nuansa lokal yang sudah mapan dalam masyarakat tertentu. Norma tradisional di Indonesia yang berkaitan dengan perkawinan anak, peran gender, dan kedudukan perempuan sering kali berakar kuat pada adat istiadat, agama, dan struktur sosial yang telah mapan. Benturan ini menciptakan ketegangan antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh norma global dan realitas kehidupan sehari-hari yang dipengaruhi oleh budaya setempat. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam mengimplementasikan norma global tanpa mengabaikan keberagaman budaya yang ada.
Sehingga, pendekatan yang lebih inklusif diperlukan agar norma global dapat diterima di masyarakat lokal. Norma global harus diterjemahkan dalam bentuk yang sesuai dengan konteks budaya, agama, dan sosial setempat. Dialog antara budaya lokal, tokoh adat, tokoh agama, dan prinsip-prinsip modern tentang hak anak akan lebih efektif untuk mendorong perubahan tanpa mengabaikan budaya lokal.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, upaya mengakhiri perkawinan anak di Indonesia perlu mengintegrasikan kesepakatan global dengan realitas lokal. Dengan demikian, peningkatan batas usia minimal untuk pernikahan harus didukung dengan langkah-langkah yang mendapatkan legitimasi dari norma sosial dan budaya lokal di Indonesia.