Konten dari Pengguna

Impor Beras Diberhentikan pada 2025, Apakah Indonesia Sudah Siap?

Isnatul Mu'anissah
Saya adalah seorang mahasiswa yang saat ini sedang mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi Kedinasan Politeknik Statistika STIS.
4 Februari 2025 14:32 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Isnatul Mu'anissah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret Sawah Padi dan Petani Lokal (sumber: dok. pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Potret Sawah Padi dan Petani Lokal (sumber: dok. pribadi)
ADVERTISEMENT
Swasembada pangan merupakan program prioritas utama Pemerintah yang awalnya ditargetkan tercapai pada 2029, namun target tersebut kini dimajukan menjadi 2027. Salah satu langkah utama menuju swasembada pangan adalah dengan mengurangi ketergantungan impor. Untuk itu pada tahun 2025, Pemerintah secara berkala akan mulai tidak mengimpor berbagai komoditas utama, termasuk di antaranya adalah beras. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan pada Sabtu (28/12/2024), “Kami memutuskan tahun depan tidak impor beras, agar petani bisa tanam padi yang banyak serta harga di pasaran bagus”.
ADVERTISEMENT
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat data impor beras pada Januari-November 2024 melonjak dari periode yang sama pada tahun sebelumnya. Total impor beras dari Januari hingga November 2024 mencapai 3,85 juta ton, meningkat 62,03% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Nilai impor beras selama periode tersebut mencapai US$ 2,36 miliar, naik dari US$ 1,45 miliar pada tahun 2023.
Zulkifli menyampaikan bahwa pada Januari 2024, produksi beras diperkirakan mencapai 0,8 juta ton dan diprediksi akan naik menjadi 1,3 juta ton pada Januari 2025. Bahkan, pada Februari 2025, jumlah produksi beras diperkirakan bisa mencapai 2,08 juta ton. Ini menunjukkan adanya surplus yang diharapkan dapat menghilangkan kebutuhan untuk impor.
Stok beras di Indonesia diperkirakan akan mencapai titik tertinggi dalam lima tahun terakhir. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Badan Urusan Logistik (Bulog) bahwa stok beras tercatat sebanyak 1,95 juta ton pada akhir 2024, sementara stok beras yang beredar di masyarakat diperkirakan lebih dari 6 juta ton, sehingga total stok mencapai sekitar 8 juta ton. Zulkifli menyatakan optimisme pemerintah terhadap produksi beras yang akan menyentuh 32 juta ton pada 2025, sementara kebutuhan konsumsi hanya sekitar 31 juta ton. "Ini akan dicatat sebagai stok tertinggi mungkin dalam lima tahun terakhir," ungkap Zulkifli menegaskan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir mengenai ketersediaan beras di pasar.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Liputan6.com, kebijakan pemberhentian impor komoditas beras ini dinilai sudah tepat oleh Nailul Huda selaku Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi Digital CELIOS. Dengan adanya pemberhentian impor diharapkan dapat mendorong Pemerintah untuk lebih memaksimalkan penyerapan gabah dari petani lokal melalui Bulog, sebagai bagian dari strategi untuk membangun cadangan beras dalam negeri. Kebijakan ini menjadi momentum penting untuk memperbaiki fungsi penyerapan gabah oleh Bulog yang belum berjalan secara optimal selama beberapa tahun terakhir sehingga membuat harga beras melambung tinggi dan Pemerintah tidak bisa intervensi karena stok cadangan beras pemerintah sangat minim.
Lebih lanjut Zulkifli menyatakan bahwa berapa pun produksi gabah petani lokal akan ditampung melalui gudang milik Bulog, induk koperasi, maupun resi sesuai dengan harga yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui untuk kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dari Rp 6.000 menjadi Rp 6.500 per kilogram. Kenaikan HPP gabah menjadi bagian dari upaya untuk mencapai swasembada pangan, karena dengan harga yang lebih menguntungkan bagi petani, sektor pertanian menjadi lebih produktif dan dapat mencukupi kebutuhan beras dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Berbagai upaya telah dilakukan agar dapat memenuhi tantangan tercapainya swasembada pangan dengan memanfaatkan hasil produksi lokal, di antaranya dengan mendorong optimalisasi saluran irigasi dan penyaluran pupuk, meningkatkan jumlah dan kemampuan penyuluh tani, serta membuka lahan baru untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
Meskipun demikian, kebijakan ini dapat menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat mengenai potensi dampak negatif yang mungkin terjadi. Penghentian impor beras dapat menyebabkan kenaikan harga di pasar domestik jika produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi permintaan. Dikutip dalam tempo.co, kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arif Prasetyo Adi, menyatakan keinginan untuk menghentikan impor beras mulai tahun depan, namun hal ini memerlukan peningkatan produksi lokal yang signifikan.
Ketergantungan penuh pada produksi domestik membuat pasokan beras rentan terhadap faktor eksternal, seperti perubahan iklim dan bencana alam. Pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menekankan bahwa kebijakan penghentian impor harus diikuti dengan penguatan infrastruktur irigasi dan sumber daya manusia, dalam hal ini petani, untuk memastikan stabilitas produksi.
ADVERTISEMENT
Kebijakan penghentian impor beras 2025 adalah langkah strategis menuju swasembada pangan, namun keberhasilannya masih bergantung pada peningkatan produksi, penguatan infrastruktur pertanian, dan manajemen stok yang lebih baik. Meskipun Indonesia mulai menunjukkan kesiapan, konsistensi implementasi dan mitigasi risiko eksternal tetap krusial untuk memastikan kebijakan ini tidak memicu lonjakan harga atau gangguan pasokan di pasar domestik.
Penulis:
(Mahasiswa Politeknik Statistika STIS)