(Bukan) Bangsa Ahistoris

Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang
Konten dari Pengguna
1 Maret 2024 13:46 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Israr Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana Pedesaan di Sumatera Barat. Foto: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Pedesaan di Sumatera Barat. Foto: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tidak ada maksud romantik dari ungkapan historis-filosofis di atas. Sebab, salah satu kendala mental yang utama dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045 terkait dengan kesadaran sejarah. Sejauh ini, masyarakat dan elite kita mudah sekali melupakan sejarah bangsanya sendiri. Padahal, betapa banyak kesukaran yang ditemui ketika perspektif sejarah dianaktirikan dalam proses kebijakan.
ADVERTISEMENT
Rangkaian peristiwa sejarah nasional yang terbentang dari Sabang hingga Merauke semestinya menjadi mutiara berharga, tidak hanya untuk dipajang di museum, galeri atau perpustakaan. Sejarah harus menjadi “pedoman” untuk menatap hari ini dan hari depan bangsa. Sayangnya, sebagai komunitas besar, anak bangsa kita belum banyak menarik hikmah dari sejarah bangsanya sendiri, alih-alih sejarah bangsa lain.
Ada beberapa indikasi mengapa Indonesia terjebak menjadi bangsa ahistoris. Pertama, pemerintah mengutamakan pendekatan teknokratik dalam menyelesaikan persoalan bangsa ini. Kedua, kelompok elite penguasa cenderung melakukan hegemoni sejarah.

Sejarah, perubahan dan kontinuitas

Kedua corak karakter “bangsa ahistoris” tersebut sebenarnya saling terkait dan mempengaruhi. Bahkan, karakter ahistoris itu juga mempengaruhi alam kesadaran masyarakat.
Kecenderungan menggunakan pendekatan teknokratik semata dalam menyelesaikan persoalan kebangsaan, kenegaraan dan kemasyarakatan, menunjukkan lemahnya kesadaran humaniora, termasuk di dalamnya sejarah. Celakanya, pembuat kebijakan seolah melihat teknokratisme sebagai satu-satunya model solusi masalah bangsa, bukan menjadi salah satu saja.
ADVERTISEMENT
Ditonjolkannya pendekatan keamanan untuk menunjang pembangunan ekonomi, seperti dalam kasus Rempang, Batam, beberapa waktu lalu, dengan terang menunjukkan dominannya kerangka berpikir teknokratik dari pemerintah. Padahal, pendekatan seperti itu, pada dasarnya, adalah praktik koersif, seperti di masa Orde Baru.
Tidak heran, masyarakat tidak menjadi bahagia, walaupun pada saat bersamaan, negara justru dipuji sebagai macan baru ekonomi di kawasan. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi seolah hanya untuk melayani “kuasa politik” dan “kuasa modal” semata, bukan untuk kepentingan rakyat.
Anehnya, hingga kini pendekatan koersif masih menggejala kuat, bahkan mempengaruhi kesadaran masyarakat dan golongan elite. Bahkan, masih muncul pandangan: seolah-olah peran militer di zaman Orde Baru lebih baik ketimbang otoritas sipil di era reformasi, termasuk dalam upaya menopang stabilitas sosial untuk kesuksesan pembangunan ekonomi. Ada tendensi, bangsa kita hendak melupakan catatan kelam rezim Soeharto dalam pelanggaran hak asasi manusia serta bisnis tentara yang tidak fair.
ADVERTISEMENT

Membuka Sejarah

Di tengah masih sering munculnya kontroversi politik tentang peristiwa masa lalu, terutama untuk periode kontemporer, semestinya tidak ada yang perlu ditutupi. Lembaran-lembaran sejarah bangsa harus dibuka secara adil untuk dijadikan cermin bersih, bukan cermin retak, bagi seluruh anak bangsa. Munafik pada sejarah hanya untuk kepentingan politik kekuasaan dan legitimasi kelompok-kelompok tertentu di masa kini hanya akan memunculkan dendam di antara sesama anak bangsa sendiri.
Ketika dendam sejarah terpelihara, bukan cita-cita Indonesia Emas yang didapatkan, tetapi justru kemunduran. Dendam sejarah “membutakan” bangsa, tidak hanya pada masa depan, tetapi juga pada masa lalu itu sendiri. Konsekuensinya, bangsa ini sulit membangun visi bersama, ketika tidak ada pijakan untuk mengambil ancang-ancang menuju ke masa depan. Sebab, sejarah yang berkeadilan, selain menjadi cermin, juga menyediakan pijakan yang lebih untuk menatap masa depan.
ADVERTISEMENT
Belajar dari kasus Papua, selama puluhan tahun, sejarah Papua tidak diapresiasi dengan jujur dan proporsional oleh negara. Seolah-olah gejolak keamanan di Papua di zaman kontemporer muncul secara tiba-tiba.
Negara terpaku pada sikap menyalahkan kelompok-kelompok separatis dan kecurigaan akan campur tangan asing tanpa ada sikap retrospeksi ke dalam diri pemerintah sendiri. Padahal gangguan keamanan di Papua yang berkepanjangan memiliki konteks historis politis yang memunculkan trauma di pihak rakyat setempat dan kedigdayaan di pihak pemerintah nasional.
Ruwetnya resolusi atas masalah Papua hingga kini, dalam batas tertentu, juga merupakan refleksi atas kegagalan Jakarta untuk memahami aspirasi lokal dari aspek sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan bahkan historis-politis. Ketika Jakarta merasa kesal terus dengan Papua, itu berarti nasihat para founding fathers tak pernah benar-benar didengarkan.
ADVERTISEMENT
Padahal banyak kesalahan yang dibuat di wilayah yang sejatinya masih “otonom” sampai 20 tahun Republik Indonesia berdiri. Selama itu pula dimunculkan kesan, Jakarta tak pernah berbuat keliru. Padahal, bagi rakyat Papua, kejujuran sejarah tak kalah penting dibandingkan pemenuhan tuntutan keadilan dan kesejahteraan.
Fenomena ini tak mengherankan juga. Dalam konteks nation and character building, kita masih jalan di tempat. Indikasinya, pelajaran sejarah masih dianggap pelajaran yang kurang penting di sekolah dan masyarakat. Ini persis dengan perlakuan terhadap pelajaran humaniora lainnya, seperti sastra, filsafat, seni dan bahasa ibu.
Tidak/kurang diakomodasinya pandangan para sejarawan dalam berbagai proses kebijakan publik, bukanlah masalah kompetensi, tetapi lebih pada masalah lemahnya kesadaran sejarah para policy-maker sendiri yang menganggap disiplin tersebut tidak “relevan’ dengan pembangunan di masa Orde Baru dan era reformasi.
ADVERTISEMENT
Banyak kasus lain, yang dilakukan tokoh, atas nama daerah dan kelompok, yang menunjukkan rendahnya kesadaran sejarah. Sejarah Sumatera Barat, misalnya, tetap distigamkan sebagai belas daerah pemberontak. Padahal, konteks perlawanan daerah pada masa 1950-an itu adalah “koreksi” terhadap pemerintah pusat yang sudah menyimpang dari konstitusi.
Motivasi mereka mendukung perlawanan daerah saat itu bahkan sejalan dengan spirit reformasi belakangan ini. Hanya saja, karena kita biasa melupakan sejarah, kebenaran sejarah itu seolah dianggap tidak pernah ada. Keadaan inilah yang memperpanjang “dendam sejarah” sesama anak bangsa.
Ketika aspek-aspek sosial, budaya, dan historis diabaikan, bangsa ini pada dasarnya sedang keluar dari koridornya. Masa lalu dilupakan dan seolah-olah masa kini tak terkait dengan masa lalu. Padahal sejarah tidak berupa garis putus-putus, tetapi juga suatu corak kontinuitas tertentu. Paceklik demokrasi dan kemanusiaan yang terjadi belakangan in, terutama dalam kaitan pelaksanaan pemilu yang dianggap tidak jujur dan adil, sebenarnya sekarang adalah lanjutan paceklik politik yang terjadi di masa lalu.
ADVERTISEMENT
Kita ambil contoh kejadian pada tahun 1980-an. Pada saat itu banyak pihak mengingatkan tentang adanya kecenderungan hiperpragmatis pembangunan ekonomi. Namun model pembangunan yang teknokratis tanpa menimbang fondasi sosial tetap dan terus dilancarkan.
Modal sosial pun rusak dan bahkan dihancurkan. Padahal fondasi sosial menjadi faktor determinan untuk model pembangunan ekonomi berkelanjutan. Bubble economy semasa Orde Baru, khususnya sejak 1980-an, menyebabkan krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak 1997 sangat parah dan berkepanjangan.
Padahal ada kontinuitas masa lalu dengan masa sekarang. Masa sekarang (seperti dikatakan sejarawan senior almarhum Sartono Kartodirdjo) tak berangkat dari ruang kosong. Sejarah memang sekali terjadi (einmalig), tetapi pola-polanya bisa berulang. Ketika masa lalu tidak dipertimbangkan atau dipedulikan sebagai faktor detreminan untuk urusan-urusan pada masa kini, maka bangsa ini sejatinya tengah merintis model kesalahan yang sama.
ADVERTISEMENT
Bangsa sebagaimana dikatakan Giddens adalah komunitas etis. Bangsa adalah konsep politik, akomodasi atas berbagai kepentingan politik yang ada. Karena itu bangsa yang besar adalah bangsa yang memberikan keseimbangan antar unsur-unsur politik, ekonomi dan sosial budaya yang ada di dalamnya.