Konten dari Pengguna

Bung Hatta dan Buku

Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang
2 Maret 2024 8:55 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Israr Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bung Hatta.
 Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Bung Hatta. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
Mohammad Hatta dan buku adalah dua hal yang identik. Co-proklamator dan pejuang kemerdekaan Indonesia itu dikenal sebagai sosok yang sulit dilepaskan dari buku dan bacaan. Bahkan saat dibuang dan dipenjarakan, buku selalu mendampingi Hatta. Ketika mendekam di penjara Den Haag, Belanda (1927-1928), karena dituduh merencanakan makar terhadap Pemerintah Kolonial, Hatta terus belajar, membaca, dan menulis, dikelilingi buku-buku. Di penjara kolonial ini pulalah Hatta menyiapkan diri untuk testamen ujian pendahuluan untuk penyelesaian studinya di Rotterdamse Handel Hooge School.
ADVERTISEMENT
Ketika Bung Hatta hendak dibuang Pemerintah Hindia Belanda ke Digoel, akhir 1935, ia meminta petugas kolonial mengulur waktu pemindahan selama tiga minggu untuk memberi kesempatan mengatur dan mengepak buku-buku yang akan dibawanya ke pengasingan di pedalaman Papua itu. Puluhan peti, berisi buku-buku diboyong Hatta ke Digoel, lalu Banda Naira (Maluku), tempat pembuangan Hatta berikutnya. Di tempat-tempat pengasingan ini, Hatta mengisi sebagian besar hari-harinya dengan membaca, menulis, dan mengajar teman-teman seperjuangannya.
Sebagai seorang “bookaholic” (gemar membaca buku), Hatta memiliki koleksi buku yang terbilang luar biasa baik dari segi jumlah maupun variasi bacaan. Bacaan Hatta sangat luas dengan beragam bahasa yang ia pahami dengan sangat baik, yakni Bahasa Inggris, Jerman, Belanda dan Prancis. Tentu sangat sulit mencari pemimpin Indonesia saat ini dengan kualifikasi keluasan ilmu serta kompetensi bahasa asing yang kuat seperti dimiliki Hatta.
ADVERTISEMENT
Intinya, buku senantiasa mengelilingi Hatta di saat susah maupun senang. Begitu dekatnya Hatta dengan buku, sehingga dengan nada berseloroh Ibu Rahmi pernah mengatakan bahwa ia adalah istri kedua Hatta. Istri pertamanya adalah buku. Laiknya memperlakukan seorang istri, Hatta sangat telaten merawat bukunya. Seperti diceritakan putrinya, Hatta akan sangat marah jika buku-bukunya yang dipinjam orang lain atau anaknya tidak terawat baik.
Dengan modal bacaan dan pengalaman perjuangan itu pula, dari penjara dan tempat pembuangan, Hatta secara rutin mengirimkan artikel-artikelnya ke surat-surat kabar yang terbit di Jawa maupun luar negeri. Honor artikelnya digunakan untuk tambahan biaya hidup, termasuk membeli buku dan berlangganan media massa. Tak mengherankan jika koleksi buku dan bacaan Hatta (umumnya dalam bahasa asing) terus bertambah.
ADVERTISEMENT
Hatta tak hanya memproduksi artikel, tetapi juga buku sebagai wadah dan artikulasi gagasan maupun idealisme perjuangannya. Di samping intelektual-pejuang, Hatta juga dikenal sebagai sosok yang tampil secara mengesankan dengan sikap seorang sarjana (scholar) dalam pengertian yang sesungguhnya. Ia selalu memberikan perhatian pada perkembangan ilmu pengetahuan dan mengumumkan tulisan-tulisannya menurut tata cara yang jamak dalam dunia akademis.
Meski ia bergelar doktorandus dalam ilmu ekonomi, tetapi Hatta tidak cuma berkutat pada bidang ilmu ekonomi semata, melainkan juga pada bidang ilmu yang lain. Hatta antara lain juga memahami dengan baik ilmu tata negara, ilmu politik, sejarah, budaya dan filsafat. Otoritas kesarjanaannya yang bersifat “lintas ilmu” itu paling tidak tercermin dari tiga buku teks untuk tiga cabang ilmu sekaligus. Buku Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosiologi untuk bidang ekonomi, Alam Pikiran Junani (1943) untuk bidang sejarah filsafat, dan Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan (1964) untuk disiplin filsafat ilmu pengetahuan.
Ilutrasi: Buku dan Kacamata. Sumber Foto: pixabay.com
Di antara para bapak bangsa, menurut sosiolog Ignas Kleden (2002), barangkali hanya Hatta seorang yang tekun menuliskan buku-buku teks semacam itu. Tapi di samping buku teks, seperti disebutkan di muka, Hatta juga menuliskan banyak bidang masalah lain, sejalan dengan minat dan perhatiannya yang luas, dalam wujud puluhan buku, ratusan artikel dan makalah.
ADVERTISEMENT
Dalam soal menulis dan berbicara, Hatta dikenal sebagai seorang yang suka menulis atau langsung menukik ke persoalan. Ia tidak suka menggunakan kalimat yang berbelit-belit atau bahasa berbunga-bunga. Emil Salim, salah seorang bekas mahasiswanya di UI tahun 1950-an, menyebut tulisan maupun ceramah Hatta sebagai suatu pemaparan yang padat, rasional, zakelijk, dan ilmiah. Karangan Hatta mencerminkan hasil pemikiran yang jernih, wawasan yang luas, sikap hidup tanpa pamrih, serta pengalaman perjuangan yang matang.
Ini agaknya berbeda dengan kebanyakan pemimpin sekarang yang notabene kurang membaca dan mengandalkan diri pada penulis pidato (speechwriter) sehingga kalimat-kalimat yang diucapkan tidak dihayatinya. Selain kering, pidato kalangan pemimpin zaman sekarang banyak yang memakai bahasa klise.
Tulisan dan pidato Hatta juga mencerminkan pribadinya. Hatta tak hanya dikenal sebagai sosok dengan cara berpikir runtut dan sistematis, tetapi juga pribadi yang telaten. Dalam berpakaian, umpamanya, ia selalu tampak rapi atau necis. Ciri khas Hatta lain, adalah pribadi yang “tepat waktu”. Ia bukan tipe pribadi dengan kebiasaan “jam karet”.
ADVERTISEMENT
Pelajaran penting dari Hatta dalam konteks ini, bahwa ia tidak mewariskan harta benda yang berlimpah kepada anak-anaknya. Ia justru mewariskan buku yang “berlimpah” ilmu. Pernyataan ini mengandung pesan, bahwa warisan ilmu pengetahuan lebih penting ketimbang harta kekayaan namun minus ilmu pengatahuan. Dari segi ini, Hatta sejatinya menjalankan doktrin agama perihal kemestian mewariskan ilmu yang bermanfaat bagi orang lain.
Hatta sebenarnya tidak hanya mewariskan semangat erudisi kepada anak-anaknya, tapi juga kepada bangsa ini. Dalam pelbagai kesempatan, ia menganjurkan pentingnya penyebaran semangat ilmiah di kalangan intelektual agar bisa menjadi “penerang” bagi masyarakat. Kaum intelegensia (intelektual) jelas menjadi sangat penting perannya sebagai “penyambung lidah” masyarakat umum.
Ilustrasi: Burung Garuda dan Pancasila Sumber Foto: pixabay.com
Inti pesannya barangkali bahwa hanya dengan mengejar ketertinggalan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, Indonesia bisa maju dan setara dengan bangsa-bangsa maju lain. Semua itu berkorelasi erat dengan tradisi membaca, buku dan semangat ilmiah (erudisi). Dari segi ini, pemikiran Hatta sebenarnya banyak sejalan dengan erudisi yang ditunjukkan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan lainnya. Salah satunya Tan Malaka (1896-1949). Tan Malaka sangat membenci irasionalitas yang melingkupi masyarakat Nusantara. Hatta mungkin tidak seekstrem itu, akan tetapi dasar utama pemikiran dan perjuangannya jelas berangkat dari kecintaannya pada semangat rasionalitas.
ADVERTISEMENT
Hingga kini, sebagian masyarakat kita masih “suka” tahayul. Program hiburan dan “dakwah” di televisi banyak dibumbui tahayul dan mistik. Implikasinya, di tengah pelbagai krisis yang melanda bangsa, masyarakat dengan mudah mempercayai isu dan rumor ketimbang memberdayakan akal sehat. Tan Malaka, Hatta dan sejumlah tokoh pejuang lainnya sudah mengkhawatirkan kecenderungan ini sejak awal, tetapi kenyataannya kebiasaan itu masih kuat hingga kini.
Sebaliknya, jalan ke ilmu pengetahuan (dalam pengertian yang luas) masih tetap berliku. Studi filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan tidak berkembang, bahkan banyak “membenci”. Hatta sejak awal justru menganjurkan filsafat untuk diajarkan kepada peserta didik supaya bisa memberi penerang ke jalan yang lebih rasional, tetapi juga memperkuat keimanan. Di situlah filosofinya mengapa buku dan ilmu pengetahuan sangat penting di mata Hatta.
ADVERTISEMENT
Sulitnya jalan ke ilmu pengetahuan tercermin di dataran praktis-empiris. Hingga kini Indonesia masih dikenal sebagai bangsa malas membaca. Sastrawan Taufik Ismail berkali-kali menyampaikan keprihatinannya soal ini yang diindikasikan dengan gejala amat minimnya jumlah buku karya sastra yang dibaca siswa-siswa sekolah menengah di Indonesia.