Konten dari Pengguna

Faisal Basri dan Pemimpin Asketis

Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang
7 September 2024 15:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Israr Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Peta Indonesia. Sumber: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Peta Indonesia. Sumber: pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia kembali kehilangan sosok teladan yang langka. Meninggalnya ekonom senior cum aktivis ekonomi politik Faisal H Basri beberapa waktu lalu tentu meninggalkan kenangan tersendiri, khususnya bagi sejumlah orang yang mengenalnya dengan baik.
ADVERTISEMENT
Faisal tidak hanya dikenal sebagai ekonom dengan pemikiran kritis dan sarat data untuk mendukung pendapat-pendapatnya, tetapi juga aktivis yang berani mengungkapkan pikiran-pikirannya kepada penguasa. Di tengah paceklik negawaran dewasa ini, kepergian Faisal sungguh menyedihkan.
Saya pribadi, walaupun bukan berlatar belakang ilmu ekonomi dan tentu hanya mengikuti pemikirannya secara parsial saja, juga terkesan dengan aktivismenya. Penampilannya yang sederhana itu sepertinya mewakili pemikiran, pandangan, dan suara hati nuraninya yang terinspirasi dari tokoh-tokoh asketis yang pernah dimiliki bangsa ini di masa silam.
Memang Faisal bersama Haris Munandar beberapa waktu lalu menulis sebuah buku berjudul “Untuk Republik: Kisah-kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa" (terbitan 2019). Buku ini mengulas 23 tokoh pemimpin bangsa di masa lalu yang istikamah mempraktikkan pola hidup sederhana dan bersahaja di saat sedang memegang posisi penting di pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Beberapa tokoh nasional yang diulas dalam buku itu antara lain Agus Salim, Mohammad Hatta, Inggit Ganarsih Soekarno, Jenderal Sudirman, M. Natsir, sampai tokoh zaman kontemporer seperti Baharuddin Lopa, dan Jenderal Hoegeng. Faisal tentu mempunyai kriteria sendiri dalam menetapkan tokoh-tokoh sejarah dengan integritas tinggi seperti tercermin dalam pola hidup sederhana yang dijalani, terutama saat memegang amanah publik.
Relevansi pemikiran Faisal dalam buku ini tak hanya terkait dengan konteks kerisauannya tentang makin minimnya pemimpin saat ini yang menerapkan pola hidup sederhana, jujur dan empati kepada golongan masyarakat yang masih banyak hidup dalam kesulitan, tetapi juga dalam kaitan kinerja minus kalangan pemimpin dalam mengemban amanah publik, namun tidak berdampak bagi peningkatan kehidupan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pesan intinya tidak hanya ajakan kepada para pemimpin bangsa saat ini untuk melongok kembali keteladanan tokoh-tokoh masa lalu, termasuk the fouding fathers, tetapi juga untuk generasi muda. Apalagi sejak awal era reformasi hingga belakangan ini makin banyak saja kaum muda memegang posisi-posisi kunci di pemerintahan, partai politik, lembaga perwakilan dan dunia usaha, baik di pusat maupun daerah.
Ekonom Faisal Basri dalam program Diptalk kumparan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Persoalannya, apakah pemimpin dari kalangan generasi muda ini akan mencontoh pula generasi senior mereka yang banyak bergelimang cerita “pengkhianatan” atas amanah publik dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme ataukah mereka akan menjemput hikmat-keteladanan itu kepada tokoh-tokoh penjaga moral di masa lalu, tentu semua berpulang kepada para pemimpin muda tersebut.
Kalau dilihat sepintas, upaya Faisal Basri menampilkan kembali kisah tokoh-tokoh sejarah dengan pesan-pesan moral yang disampaikannya dalam konteks kekinian, mungkin saja akan terkesan “aneh”. Kisah asketis tokoh-tokoh masa silam itu seperti "dongeng" belaka di tengah kepungan budaya politik koruptif dan hedonis kalangan pejabat negara, tokoh publik dan keluarganya, seperti bisa dilihat di berbagai media.
ADVERTISEMENT
Sebab betapa sulit dewasa ini menemukan pemimpin tipe Bung Hatta, Proklamator dan mantan Wakil Presiden RI Pertama yang notabene untuk memiliki sepatu Bally saja tidak pernah kesampaian sampai beliau wafat. Betapa sulit mencari elite politik masa kini seperti Agus Salim, mantan Menteri Luar Negeri, yang selama hidupnya dikenal sebagai kontraktor rumah sederhana dari satu gang sempit ke gang sempit lainnya di tengah metropolitan Jakarta? Padahal kalau para tokoh bangsa itu mau, mereka bisa saja menghubungi pejabat berkuasa atau pengusaha tertentu untuk mendapatkan fasilitas dan materi lainnya, tapi para patriot itu tidak mau melakukannya.
Di tengah kepungan budaya korupsi di pemerintahan, lembaga perwakilan dan penegak hukum, bahkan institusi pendidikan, memang hampir-hampir tidak mungkin rasanya menemukan sosok pemimpin jujur dan asketis tipe Hatta, Natsir, WR Soepratman atau Jenderal Hoegeng. Kita justru dihadapkan pada banyak elite pemimpin dengan tipe sebaliknya, bahkan dari kalangan pemimpin muda: tidak hanya menumpuk harta yang tidak begitu jelas asal usulnya, tetapi juga larut dalam pola hidup mewah, konsumtif dan hedonis minus empati. Padahal perilaku pamer (kemewahan) yang ditunjukkan pejabat, pemimpin (termasuk kalangan muda) dan keluarganya sejatinya merupakan pengkhianatan terhadap nilai-nilai kerakyatan dan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Memang kalau diperiksa lagi, Indonesia tentu masih memiliki kalangan tokoh teladan yang istikamah dengan sikap jujur dan pola hidup asketis tidak hanya sebagai wujud empati kepada mayoritas masyarakat yang masih hidup dalam kesusahan, tetapi juga pilihan watak hidup yang dipengaruhi spiritualitas dan keyakinan bahwa jabatan, harta, anak dan istri hanyalah titipan Ilahi, bukan sesuatu yang akan dibawa mati. Yang dibawa mati adalah amal baik yang berguna bagi kemanusiaan.
Dalam konteks itulah, apa yang diingatkan dan bahkan dicontohkan sendiri Faisal Basri dalam kehidupannya menjadi relevan dan aktual, sekalipun suasana politik dan ekonomi politik kebangsaan saat ini terasa kurang mendukung.