Konten dari Pengguna

Hatta dan Semangat Antikorupsi

Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang
31 Juli 2024 5:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Israr Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bung Hatta. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Bung Hatta. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
Proses dan hasil pelaksanaan Pemilu 2024, dengan segala kritik atas kelemahan dan kekurangannya, semestinya memberikan pelajaran berharga tentang cara bernegara yang baik dan benar, terutama terkait dasar-dasar memilih pemimpin. Oleh karena itu, menjelang pemilihan kepala daerah serentak pada November 2024, masyarakat mesti mencermati dengan baik calon-calon yang akan mereka pilih dalam “pesta” demokrasi lokal ini.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif ini, keteladanan sejarah para pemimpin politik di masa lalu dapat menjadi panduan atau inspirasi moral bagi masyarakat sebelum menuju ke bilik suara. Di sini, penulis menyebut kembali nama Mohammad Hatta (1902-1980), salah satu tokoh bangsa yang kisahnya sebagai pemimpin antikoruptif selalu relevan untuk dijadikan rujukan moral dalam memilih pemimpin dewasa ini, termasuk di tingkat lokal.
Hatta tidak hanya dikenal sebagai salah satu proklamator Kemerdekaan RI, wakil presiden pertama dan "Bapak Koperasi," tetapi juga melegenda sebagai pemimpin yang santun, jujur, bersih, hemat, dan antikorupsi. Sejarah mencatat, Hatta konsisten dengan sikap anti-korupsinya baik saat menjadi pejabat tinggi negara maupun dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Untuk "iman" antikorupsi ini, tidak ada yang bisa menggodanya, termasuk keluarganya sendiri.
ADVERTISEMENT
Putri sulung Hatta, Meutia Farida, bercerita tentang orang tuanya. Sekitar tahun 1950-an, Rahmi, istri Hatta, berencana untuk membeli mesin jahit. Rahmi menyadari bahwa sebagai wakil presiden, gaji suaminya tidak mencukupi, sementara masih banyak kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Untuk itu, Rahmi menabung dari sisa-sisa uang belanja sehari-hari. Ketika tabungannya sudah mencukupi, Rahmi masih belum bisa membeli mesin jahit impiannya.
Namun, pemerintah tiba-tiba menerapkan kebijakan sanering atau devaluasi untuk menyelamatkan perekonomian negara. Akibatnya, tabungan Rahmi menurun drastis sehingga tidak lagi cukup untuk membeli mesin jahit. Hatta, sebagai Wakil Presiden, tentu saja mengetahui rencana kebijakan moneter ini. Rahmi kemudian “menggugat” suaminya: mengapa sejak awal ia tidak memberi tahu istrinya tentang kebijakan katering tersebut? Hatta menjawab dengan santai bahwa hal itu rahasia negara.
ADVERTISEMENT
Dalam kisah lain, kerabat Hatta pernah meminta bantuannya untuk suatu urusan yang berhubungan dengan pemerintah. Tujuannya: agar urusan mereka lebih lancar. Namun Bung Hatta, kata Meutia, tidak mau membantu kerabatnya karena posisinya sebagai wakil presiden. Hatta bahkan dengan tegas menolak memberikan “rekomendasi” untuk membantu kerabatnya. Dia meminta mereka untuk mengikuti prosedur formal atau resmi (Swasono, 1980).
Ilutrasi Memilih Pemimpin. Sumber: pixabay.com
Bagi Hatta, kejujuran dan kepercayaan dalam memegang jabatan publik adalah prinsip yang tidak bisa ditawar. Ia tidak mau menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi atau kroni karena pejabat yang membocorkan rahasia negara kepada siapa pun digolongkan sebagai korupsi jabatan.
Padahal kalau mau, seperti cerita mesin jahit di atas, sebelum kebijakan sanering diterapkan, bisa saja Hatta menyarankan kepada istrinya untuk segera membeli mesin jahit agar ham sebelumnya yang raganya masih terjangkau. Apalagi Hatta tahu persis kesulitan istrinya untuk menabung. Namun Hatta tidak pernah menyalahgunakan jabatannya.
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian (besar) orang dewasa saat ini, contoh kisah “human interest” Hatta di atas-sebagaimana beberapa kisah teladan Baharuddin Lopa, Jenderal Hoegeng, dan beberapa tokoh lainnya-mungkin terasa “utopis” atau tidak masuk akal. Namun, itulah fakta sejarahnya. Adapun yang hendak disampaikan di sini adalah betapa urgennya persoalan keteladanan kepemimpinan yang jujur dan asketis untuk mencegah dan memberantas korupsi agar negeri ini tidak terjerumus jauh ke dalam jurang kebangkrutan moral.
Masalahnya, sejak era reformasi para pemimpin di pemerintahan, parlemen, lembaga penegak hukum, dan bahkan dunia bisnis hanya fasih berbicara anti-KKN. Namun, aroma KKN di lembaga-lembaga publik masih sulit dihilangkan. Lembaga-lembaga negara dengan berani mengangkat tema-tema antikorupsi dalam berbagai kesempatan, namun Indonesia masih dianggap sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) terbaru, indeks persepsi korupsi Indonesia mengalami penurunan (Kompas.id, 31/01/2024).
ADVERTISEMENT
Pemberantasan korupsi di Indonesia, pertama-tama dan terutama, adalah masalah kemauan politik dari pemerintah dan para pemimpin legislatif dan yudikatif. Kemauan politik para elite ini diyakini akan mempengaruhi upaya untuk mendekonstruksi “budaya” korupsi yang masih menggejala kuat di lembaga-lembaga negara, dunia usaha, bahkan (organisasi) masyarakat!
Pada titik inilah bayangan-bayangan buruk kerap muncul: bagaimana mungkin mengharapkan komitmen tegas para pemimpin, tokoh dan elite, sementara mereka adalah bagian melekat dan bahkan produk dari sistem yang korup, kolutif, dan nepotis? Presiden Jokowi, pada masa jabatannya yang pertama, masih fasih berbicara anti KKN. Namun, akhir-akhir ini, komitmen Presiden terhadap penyelenggaraan negara yang bebas KKN sudah menjadi tanda tanya besar.
Pemimpin dalam batas tertentu adalah cermin bagi masyarakat. Bagaimana masyarakat bisa percaya dengan retorika "langit" tentang Indonesia Emas 2045 jika tidak dibarengi dengan komitmen anti-KKN yang tegas dan jelas dari pemimpin tertinggi saat ini?
ADVERTISEMENT