Hatta, Politik, dan Intelegensia

Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang
Konten dari Pengguna
30 September 2023 16:27 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Israr Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mohamamd Hatta (1902-1980). Sumber foto: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Mohamamd Hatta (1902-1980). Sumber foto: pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di tengah dinamika politik menjelang Pemilu 2024 muncul sorotan terhadap kecenderungan paceklik politik gagasan di kalangan elite kita, baik eksekutif maupun legislatif. Mereka seolah fokus pada politik pencitraan dan bahkan (dalam batas tertentu) politik identitas untuk mendapatkan perhatian rakyat. Padahal belajar dari sejarah, Indonesia sejak awal justru dibangun sebagai “sintesis” gagasan-gagasan dari para tokoh pendiri bangsa.
ADVERTISEMENT
Salah satu tokoh pendiri bangsa yang menonjol karena gagasan-gagasannya yang mencerahkan adalah Mohammad Hatta (1902-1980). Di samping berjuang dan terlibat aktif dalam politik, co-proklamator (bersama Soekarno) ini juga dikenal sebagai seorang pemikir dengan gagasan-gagasan yang bahkan melampaui zamannya hidup.
Menariknya, sebagai scholar, Hatta bahkan juga selalu memberikan perhatian pada perkembangan ilmu pengetahuan dan mengumumkan tulisan-tulisannya menurut tata cara yang jamak dalam dunia akademis. Meskipun ia seorang sarjana ekonomi bergelar doktorandus (Drs) dari Rotterdamse Handel Hooge School, tetapi Hatta tidak cuma berkutat pada bidang ilmu ekonomi semata. Ia juga memiliki perhatian pada bidang ilmu yang lain.
Bung Hatta antara lain juga memahami dengan baik ilmu hukum (khususnya hukum tata negara), ilmu politik, sejarah, budaya dan filsafat. Kapasitas kesarjanaan Hatta sulit diragukan, karena ia berhasil menuliskan buku teks untuk tiga cabang ilmu sekaligus. Buku Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosiologi untuk bidang ekonomi, Alam Pikiran Yunani (1943) untuk bidang filsafat, dan Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan (1964) untuk disiplin filsafat ilmu pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Di antara para bapak pendiri bangsa, menurut sosiolog Ignas Kleden (2002), barangkali hanya Hatta yang tekun menuliskan buku-buku teks semacam itu. Tapi di samping buku teks, Hatta juga menuliskan banyak bidang masalah lain, sesuai dengan minat dan perhatiannya yang luas, dalam wujud puluhan buku, ratusan artikel dan makalah. Dalam soal menulis dan berbicara, Hatta dikenal sebagai seorang yang suka menulis atau langsung menukik ke persoalan.
Ia tidak suka menggunakan kalimat yang berbelit-belit atau bahasa yang berbunga-bunga. Prof. Emil Salim, salah seorang bekas mahasiswanya di Universitas Indonesia era 1950-an, menyebut tulisan maupun ceramah Hatta sebagai suatu pemaparan yang padat, rasional, zakelijk, dan ilmiah. Selain itu, Hatta selalu teliti memberikan sumber dan rujukan untuk gagasan yang diumumkannya dalam tulisan lepas di media massa, makalah ceramah, bahan kuliah maupun naskah pidatonya.
ADVERTISEMENT

Sarjana dan Intelektual

Orang juga menyebut Hatta sebagai intelektual atau cendekiawan, terutama setelah ia mundur dari kursi wapres. Tapi sekarang, mari kita bedakan terlebih dahulu antara istilah sarjana dan intelektual, agar tidak terjadi kekacauan pengertian dan pemahaman.
Seorang sarjana secara harfiah berarti para lulusan perguruan tinggi, dengan menyandang gelar tertentu, misalnya insinyur, doktorandus, dokter, sarjana hukum, sarjana ekonomi atau sarjana-sarjana lainnya. Tapi dalam kepustakaan klasik, sarjana (scholar), identik dengan orang yang berilmu -- terlepas apakah dia itu lulusan perguruan tinggi atau bukan.
Dalam batas tertentu, sarjana juga bisa disebut inteligensia, meskipun sebutan yang kedua ini lebih spesifik kepada mereka yang berkecimpung secara serius di dunia akademik, khususnya di universitas dan lembaga keilmuan lainnya. Intinya, inteligensia atau sarjana adalah mereka yang berpikir dan bekerja berdasarkan tata kerja yang jamak dalam dunia akademik, seperti metode kritik, rasio, sistematis, dan metode ilmiah lainnya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan intelektual adalah mereka yang tidak saja berpikir dan bekerja secara akademik, tapi, di atas itu, juga memiliki jiwa keprihatinan yang mendalam terhadap situasi di lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun bangsa. Mereka punya empati yang kuat. Kaum intelektual tidak senang hatinya melihat perkembangan keadaan yang tidak sesuai dengan idealitas. Meminjam istilah Edward W Said (1998) kaum intelektual adalah "pencipta sebuah bahasa yang mengatakan yang benar kepada yang berkuasa.
Dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan, tetapi menghindari mengatakannya". Hatta masuk secara langsung ke dalam kedua kategori ini: sarjana yang intelektual. Sebagai seorang sarjana ekonomi generasi pertama di Indonesia yang pemikiran-pemikirannya sangat mendasar dan tetap menjadi rujukan, bahkan kontroversi, di tanah air hingga saat ini, terutama ekonomi berdasarkan asas kekeluargaan.Di bidang ini, ia telah menunjukkan kiprahnya secara gemilang.
ADVERTISEMENT
Namun Hatta adalah sarjana dalam arti yang “sempurna”. Ia tidak hanya menuliskan pikirannya tentang berbagai persoalan, tetapi juga mengajar di kampus-kampus. Mula-mula ia mengajar di UGM dan UI (1950-an), kemudian Universitas Hasanuddin Makassar dan Universitas Padjadjaran Bandung (1960-an). Tak heran Hatta dianugerahi beberapa gelar Doktor Honoris Causa (Dr. HC) oleh berbagai universitas terkemuka di Indonesia itu untuk beberapa bidang ilmu. UGM Yogyakarta memberikan doktor HC di bidang hukum tata negara pada tanggal 28 Nopember 1956. UI memberi Hatta gelar doktor HC di bidang hukum pada tahun 1976.
Kenapa hukum? Karena Hatta dikenal sebagai salah satu pemikir masalah kenegaraan yang sangat penting di tanah air sejak zaman pergerakan, meskipun ia bukan sarjana hukum. Keterlibatannya yang aktif dan mendalam dalam proses pembentukan negara bangsa Indonesia menyebabkan kalangan perguruan tinggi merasa perlu memberinya anugerah doktor kehormatan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan selaku intelektual, Hatta adalah intelektual dalam pengertian sebenarnya. Ia tidak sekadar menaruh prihatin dan perhatian, tetapi sekaligus juga mencarikan solusi terbaik bagi permasalahan yang dihadapi masyarakat, negara dan bangsanya. Bahkan Hatta juga mengajak perhatian kaum intelektual, khususnya yang bermukim di perguruan tinggi (inteligensia), untuk memikirkan solusi bagi perbaikan nasib bangsa yang makin terpuruk waktu itu. Alasannya, "berdiam diri melihat kesalahan dan keruntuhan masyarakat atau negara berarti mengkhianati pada dasar kemanusiaan, yang seharusnya menjadi pedoman bagi kaum inteligensia pada umumnya".
Itulah antara lain kutipan pidato Hatta berjudul "tanggungjawab Moral Kaum Inteligensia" terasa mendasar sekali. Pidato yang diucapkan pada hari Alumni I Universitas Indonesia (UI), Juni 1957, itu bahkan mengukuhkan kaliber Hatta sebagai seorang intelektual. Pidato yang kemudian menjadi risalah itu merupakan salah satu renungan terbaik Hatta terhadap perkembangan politik indonesia era 1950-an yang telah melenceng jauh dari cita-cita revolusi kemerdekaan.
ADVERTISEMENT

Sikap ilmiah

Bung Hatta. Foto: AFP
Sebagai seorang sarjana, yang menarik dari tulisan-tulisan Hatta, kata Ignas Kleden (2002), ialah usaha Hatta untuk membahasakan hampir semua gagasan ilmiah dan filosofis itu dengan padanan dalam bahasa Indonesia tanpa menimbulkan kesan kaku atau artifisial. Dengan tidak ada referensi sebelumnya dalam bahasa, dapatlah dibayangkan betapa sulitnya menjelaskan gagasan filsafat dan ilmu pengetahuan dengan kosakata bahasa Indonesia.
Sampai sekarang pun, tidak banyak ilmuwan yang dapat mengindonesiakan secara memuaskan konsep ceteris paribus dalam bahasa Latin atau other things being equal dalam bahasa Inggris. Hatta juga adalah pribadi yang mengutamakan disiplin, menghayati ilmu pengetahuan juga pertama-tama sebagai disiplin, seperti dia juga menghayati organisasi politik, administrasi, agama, dan tata negara sebagai disiplin. Seterusnya, disiplin ilmiah baginya menjadi suatu alat atau perkakas untuk bekerja.
ADVERTISEMENT
Keyakinannya ini sedemikian kuatnya sehingga dapat memberikan kesan seolah-olah Hatta seorang penganut instrumentalisme epistemologis. Pernah ia mengatakan, bahwa teori ilmu pengetahuan tidak lain dari suatu, "stenogram (yang) terambil dari suatu pengala¬man" dan "alat untuk mencari kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri".
Menurut Ignas, pernyataan Hatta itu adalah ungkapan seorang guru yang ingin mencegah sikap dogmatis dalam diri muridnya, agar tidak memandang teori ilmu pengetahuan sebagai doktrin yang harus dipegang teguh tanpa kritik. Teori haruslah dipandang sebagai peralatan yang dapat dipergunakan dan harus diperbaiki terus-menerus.
Kepada calon ilmuwan, Hatta pun berpesan tentang pentingnya pemahanan ilmu, dengan merenungkan arti dan makna ilmu itu sendiri, untuk mencari jawaban bagaimana ilmu dikembangkan. Ilmu menurut Hatta adalah fenomena nyata yang menjadi objek perhatian, sekaligus untuk dipahami. Ilmu perlu dijadikan bagian dari kekayaan intelektual. Karena itu calon ilmuwan menurutnya harus memiliki sikap ilmiah dan menguasai metode ilmiah yang keduanya tak dapat dipisahkan.
ADVERTISEMENT
Metode ilmiah berkaitan dengan tujuan dan fungsi ilmu, yakni mencari kebenaran universal. Kebenaran universal adalah menemukan keteraturan hubungan fenomena-fenomena yang diteliti. Untuk itu perlu metode ilmiah, agar seseorang terhindari dari berbagai keasalahan baik dalam merumuskan masalah, menyusun kerangka teori dan hipotesis dan sebagainya. Tujuan ilmu di samping menjelaskan karakteristik fenomena yang diteliti dengan fenomena lainnya, juga untuk meramalkan atau prediksi, untuk melahirkan siasat atau tindakan yang harus diantisipasi dalam bentuk "kebijakan". Karena perkembangan ilmu itu sendiri pada akhirnya adalah untuk kemaslahatan.
Pandangan Hatta tentang sikap ilmiah sangat mendasar. Berpedoman kepada pendapat Descartes, bahwa sikap ilmiah yang harus dimiliki seorang calon ilmuwan adalah sikap meragukan. Sebab dengan begitu, seorang akan bersifat kritis. Pada dasarnya sikap ilmiah yang dimaksud Hatta tercakup dalam 4 masalah (1), sikap yang berusaha komit untuk selalu mencapai kebenaran, sesuai dengan tujuan ilmu dan obsesi seorang ilmuwan; (2) Keinginan untuk mendapat umpan balik yang objektif di mana seorang ilmuwan mesti terbuka untuk input, kritik atau informasi baru; (3) seorang ilmuwan harus punya etika ilmiah yakni mempertanggungjawabkan hasil-hasil penelitiannya secara mandiri; dan (4) seorang ilmuwan harus berpikir kreatif.
ADVERTISEMENT
Tampak sekali Hatta adalah sarjana dalam pengertian sebenarnya. Pemahaman dan pemikirannya menjangkau dan bahkan melewati dimensi ruang dan waktu yang jauh melampaui jamannya.***