Konten dari Pengguna

Kontroversi Soeharto

Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang
5 Oktober 2024 14:35 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Israr Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Peta Indonesia. Sumber: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Peta Indonesia. Sumber: pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di ujung masa jabatannya, MPR periode 2019-2024 yang dipimpin Bambang Susatyo dari Partai Golkar membuat keputusan kontroversial, yakni menghapus nama Presiden kedua Soeharto dari Ketetapan MPR (Pasal 4) No 11 Tahun 1998 soal Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang diiringi dengan wacana memberikan mantan penguasa Orde Baru itu gelar pahlawan nasional. Sejumlah kalangan, termasuk aktivis HAM, korban kekerasan masa lalu dan pegiat antikorupsi, mengritik (pimpinan) MPR telah mengambil inisiatif yang bersifat parsial dan elitis.
ADVERTISEMENT
Para penyintas dari Peristiwa 1965 (rangkaian penangkapan, pemenjaraan hingga pembunuhan orang-orang yang dicap sebagai Partai Komunis Indonesia) merasa kecewa dengan keputusan MPR yang tidak hanya menghapus nama Soeharto dalam TAP MPR No. 11 tahun 1998, tetapi juga munculnya usulan menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional (bbc.com).
Lembaga Imparsial mengatakan MPR semestinya lebih fokus pada penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa rezim Soeharto untuk menghargai korban dan keluarganya serta memutus rantai impunitas, bukan malah mengusulkan Soeharto diberi gelar pahlawan nasional. Pendapat senada dikemukakan Komnas HAM yang menyayangkan inisiatif "rekonsiliasi" politik yang dilakukan oleh MPR. Sebagai lembaga perwakilan rakyat, MPR seharusnya menempatkan perhatian bagi keadilan dan pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM di masa Soeharto serta pencegahan keberulangan di masa depan.
ADVERTISEMENT
Aktivis politik Ade Armando bahkan tidak hanya menyorot kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa Orde Baru, tetapi juga kasus-kasus korupsi yang melibatkan Soeharto dan keluarganya. Adanya TAP MPR (Pasal 4) Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN yang eksplisit menyebut "mantan Presiden Soeharto" secara tersirat menunjukkan relasi erat tindak pidana KKN dengan mantan penguasa Orde Baru itu.
Ilustrasi: Jam Gadang Bukittinggi. Sumber: koleksi Israr Iskandar
Dalam retrospeksi, wacana untuk mengenang "jasa" Soeharto ini tidak begitu populer di awal reformasi. Hal ini seiring dengan suasana perubahan politik pasca lengsernya Soeharto yang disapu arus reformasi. Pada masanya banyak pihak menghindar dan "menjauh" dari penguasa Orde Baru itu. Mereka yang tadinya (aslinya) menjadi pendukung dan penopang utama pemerintahan Orde Baru bahkan "bersalinrupa" menjadi bagian dari arus perubahan.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, wacana memulihkan reputasi Soeharto mulai menguak ke permukaan dan bahkan dioperasionalkan. Masyarakat Indonesia seolah sudah melupakan ("dosa-dosa") Soeharto. Di sejumlah tempat, anggota masyarakat kemudian berkomentar bahwa dibandingkan zaman reformasi, zaman Soeharto lebih baik, harga-harga terjangkau, suasana aman, banyak proyek dan sebagainya.
Sejumlah kekuatan politik pun mulai rutin melakukan semacam "cek ombak" untuk mengetahui reaksi publik terhadap upaya memulihkan "nama baik" Soeharto dan bahkan mengusulkannya menjadi pahlawan nasional. Partai Golkar dan PKS, misalnya, sudah cukup lama juga mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional, terutama pasca Soeharto meninggal awal 2008 silam, tetapi usulan atau tepatnya wacana itu kemudian kandas begitu saja, karena tidak mendapat dukungan mayoritas kekuatan politik dan kuatnya daya tolak di tingkat masyarakat.
ADVERTISEMENT
Memang kalau dibandingkan Presiden Soekarno dan Abdurrahman Wahid, upaya-upaya "pemulihan" pamor Soeharto terasa agak "rumit," bahkan sampai tahun-tahun belakangan ini. Hal itu antara lain tercermin dari momen peringatan seabad Soeharto pada 2001 lalu (Soeharto lahir tahun 1921) yang terkesan sederhana sekali untuk ukuran seorang tokoh yang pernah berkuasa sebagai presiden selama lebih tiga dekade. Tidak semeriah Seabad Soekarno di tahun 2001. Seabad Soeharto hanya diisi dengan acara doa dan tahlilan yang digelar pihak keluarga di Masjid Agung At-Tin, TMII, Jakarta Timur dan juga beberapa kegiatan serupa di Solo dan tempat lain, termasuk lewat daring.
Dalam perspektif tertentu, meriahnya momentum Seratus Tahun Bung Karno dulu bisa “dipahami”, karena berlangsung pada saat euforia reformasi pasca-jatuhnya Soeharto, tokoh yang "menggantikan" Soekarno pertengahan 1960-an pasca tragedi nasional yang diingat dalam sejarah Indonesia sebagai kudeta PKI -- yang kemudian ditumpas militer pimpinan Soeharto-Nasution. Tidak heran juga, naiknya pamor Soekarnoisme politik kala itu -- yang ditandai kemenangan PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri dalam Pemilu 1999 -- bahkan (dalam batas tertentu) dalam konteks “antagonisme”-nya dengan rezim Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Lagipula, keadaan pada saat seabad Soeharto --dalam batas tertentu -- juga sangat dipengaruhi situasi pandemi Covid-19 yang menyebabkan kegiatan-kegiatan seperti apresiasi kesejarahan dan tokoh-tokoh bangsa, apalagi yang sifatnya seremonial, menjadi berkurang dan terbatas, termasuk untuk seabad Soeharto. Tidak hanya dari pihak pemerintah dan partai-partai, tetapi kalangan masyarakat, termasuk masyarakat akademik dan media massa.
Namun menghubungkannya dengan politik atau kekuasaan di masa kekinian jelas alasan yang paling masuk akal. Situasi politik (dalam batas tertentu) dianggap masih kurang “bersahabat” dengan narasi-narasi Orde Baru umumnya dan Soeharto khususnya. Apalagi masa Orde Baru dianggap belum terlalu lama berlalu atau masih terbilang sejarah kontemporer, sehingga sebagian besar elit politik saat ini -- termasuk yang senior -- enggan mengaitkan dirinya dengan Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Partai Golkar yang berada dalam pemerintahan, dan partai-partai pecahannya, termasuk Gerindra sekalipun, pada momen itu terlihat masih “menjauh” dari narasi-narasi politik zaman mereka sangat berkuasa dulu. Gerindra dan Ketuanya Prabowo Subianto malahan sejak awal menubuhkan partainya lebih banyak menghubungkan dirinya dengan Soekarno dibandingkan Soeharto.
Kita tentu belum tahu seperti apa corak apresiasi pemerintahan Prabowo-Gibran terhadap peran kesejarahan Soeharto. Apakah usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan mertuanya itu akan berjalan lebih mulus? Apapun, bentuk dan corak apresiasi masyarakat dan elit politik terhadap peristiwa-peristiwa sejarah penting, rezim-rezim terdahulu dan peran tokoh-tokoh besar di masa lalu dengan segala kontroversinya dapat menunjukkan tingkat perkembangan peradaban politik bangsa. Bahkan tidak hanya terhadap mantan-mantan presiden, tapi juga tokoh-tokoh besar dan penting lainnya.
ADVERTISEMENT