Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Memilih Kepala Daerah
30 Juni 2024 10:24 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Israr Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 27 November 2024 ini akan dilaksanakan ratusan pilkada serentak di seluruh Indonesia. Selain pemilihan-pemilihan gubernur dan wakil gubernur, juga digelar pemilihan-pemilihan untuk jabatan bupati-wakil bupati dan walikota-wakil walikota. Kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih akan memimpin daerahnya selama lima tahun ke depan (2024-2029).
ADVERTISEMENT
Sejauh ini, pilkada di beberapa propinsi akan mendapatkan perhatian sangat besar. Di antaranya: Pemilihan Gubernur Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten. Hal itu wajar saja, karena Pulau Jawa masih menjadi acuan dalam politik Indonesia. Lebih dari setengah jumlah pemilih tinggal di pulau luasnya hanya sekitar 7 persen dari luas wilayah Indonesia.
Pilgub Jakarta, misalnya, sejauh ini menjadi peristiwa politik paling menyita perhatian masyarakat Indonesia setelah Pilpres. Berkaca pada dua Pilgub sebelumnya, yakni tahun 2012 dan 2017, pesta demokrasi di tingkat Jakarta tidak hanya melibatkan rakyat dan elit politik setempat, tetapi juga menyita atensi dari seluruh Indonesia dan bahkan manca negara.
ADVERTISEMENT
Tokoh-tokoh politik yang maju di Jakarta, apalagi jika terpilih sebagai gubernur dan bahkan wakil gubernur, dianggap potensial sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Ibaratnya, jabatan gubernur dan wakil gubernur Jakarta dapat menjadi anak tangga untuk menjadi (calon) presiden dan wakil presiden.
Tidak heran, mereka yang maju dan terpilih dalam Pilgub Jakarta adalah tokoh-tokoh politik populer. Partai-partai politik yang mengajukan dan mendukung calon kepala daerah di Jakarta akan berhitung betul, terutama tentu potensi menang, posisi politik dan dampaknya terhadap partai mereka.
Jika dikilas balik, dalam Pilgub Jakarta 2012, misalnya, yang pada putaran pertama menampilkan enam paslon, namun pada akhirnya mengerucut menjadi dua calon saja pada putaran kedua: Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli versus Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Fauzi Bowo adalah petahana dan didukung banyak partai. Sedangkan Joko Widodo sebagai penantang, merupakan (eks) Walikota Solo yang sangat populer.
ADVERTISEMENT
Kalau dilihat dari sisi jumlah partai pendukung, Fauzi Bowo jelas lebih unggul. Namun dalam sistem pemilihan langsung oleh rakyat, tingkat popularitas dan tingkat keterpilihan menjadi sangat penting. Media massa dan media sosial bisa melejitkan popularitas seseorang. Pada saat itu, Jokowi yang datang dari daerah menjadi the rising star. Singkat cerita, Jokowi-Ahok terpilih dan mengalahkan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli.
Sejarah menunjukkan, Jokowi yang baru saja menjabat Gubernur Jakarta kemudian didorong-dorong maju lebih jauh lagi. Popularitasnya sebagai gubernur makin moncer. Tiada hari tanpa berita tentang Jokowi. Model pencitraan politik yang ditampilkan, tentu berdasarkan corak kerja dan kepemimpinannya, seolah tanpa preseden, khususnya untuk konteks Ibukota saat itu.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, seorang yang dua tahun sebelumnya masih menjadi kepala daerah dari sebuah kota yang berukuran sedang (Solo), maju dalam kontestasi Pilpres 2014. Dalam pilpres yang terpolarisasi dan mulai diwarnai politik identitas (karena hanya dua paslon), Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla menang atas paslon Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Selanjutnya, Pilgub Jakarta 2017 yang pada putara pertama tampil tiga cagub-cawagub, yakni Ahok, Anies Baswedan, dan Agus Harimurti Yudhoyono, kemudian mengerecut menjadi dua calon pada putaran kedua, yakni Ahok vs Anies. Putaran kedua Pilgub yang membentuk polariasi tajam dan pasang naik politik identitas itu akhirnya dimenangkan Anies yang berpasangan dengan Sandiaga Uno.
Tidak seperti Jokowi yang di tengah masa jabatannya sebagai Gubernur kemudian maju sebagai capres pada 2014 dan terpilih, pada Pilpres 2019 preseden lima tahun sebelumnya itu tak berulang, kecuali majunya Wagub Sandiaga Uno sebagai cawapres mendampingi Ketua Gerindra Prabowo Subianto. Namun pasangan Prabowo-Sandi kalah dari petahana Jokowi-Maruf Amin.
ADVERTISEMENT
Barulah pada Pilpres 2024 lalu, salah satu mantan gubernur Jakarta, Anies Baswedan, maju untuk memperebutkan kursi "RI 1". Ia bersaing dengan mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Hanya saja, kedua mantan kepala daerah yang sangat populer tersebut belum berhasil terpilih menjadi presiden, karena dikalahkan Prabowo yang berpasangan Gibran Rakabuming Raka.
Nama terakhir ini terkesan lebih mengejutkan lagi: walikota langsung loncar menjadi wapres. Namun hampir semua orang paham, majunya Gibran dan terpilihnya paslon Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden tidak terlepas dari pengaruh popularitas Jokowi, ayah Gibran, yang sangat tinggi, walaupun ia dihantam isu politik dinasti dan dugaan kecurangan.
ADVERTISEMENT
Kini, walaupun belum tentu siapa nama calon gubernur yang betul-betul akan maju, tetapi kehebohan yang menyertai Pilgub Jakarta dan beberapa Pilgub di Jawa sudah terasa sejak Pilpres 2024 usai. Nama-nama penting sudah mencuat, dan kini semua partai dan pemain politik kelas berat di tingkat nasional turun lapangan dan berhitung. Keadaan politik masih sangat dinamis sampai pendaftaran paslon di KPU Agustus nanti. Di Jakarta, misalnya, sejumlah nama sudah muncul, termasuk petahana Anies Baswedan. Selain itu ada nama Ridwan Kamil, Kaesang Pangarep, Sandiaga Uno, Sohibul Iman dan beberapa lainnya.
Walaupun Pilkada Jakarta dan pilkada di Jawa akan mendapatkan exposure yang lebih luas, tetapi pilkada-pilkada di puluhan propinsi dan ratusan daerah kabupaten dan kota lainnya semestinya juga mendapatkan perhatian, khususnya dari media. Sebab tantangan utama saat ini antara lain adalah politik dinasti dan politik uang yang seolah sulit dicegah dalam pemilu yang bercorak liberal democracy seperti di Indonesia. Jangan sampai pilkada justru keluar dari esensinya yakni mendapatkan pemimpin terbaik untuk kepentingan rakyat.
ADVERTISEMENT