Sumbar dan Tragedi G30S

Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang
Konten dari Pengguna
24 September 2023 13:21 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Israr Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilutrasi rumah adat Minangkabau. Foto: Israr Iskandar
zoom-in-whitePerbesar
Ilutrasi rumah adat Minangkabau. Foto: Israr Iskandar
ADVERTISEMENT
Tragedi nasional Gerakan 30 September (G30S) 1965 di Jakarta memang sudah lama berlalu. Tetapi dalam konteks tertentu, peristiwa yang menjadikan PKI sebagai terdakwa dan bahkan “terpidana mati” itu, tergolong sejarah kontemporer.
ADVERTISEMENT
Tak heran, geger di “malam jahanam” itu getarannya masih terasa sampai sekarang, termasuk di Sumatera Barat (Sumbar). Narasi-narasi seputar peristiwa 58 tahun lalu dengan segala macam aksentuasinya masih terus bergema dan digemakan secara berulang, terutama setiap bulan September.
Sampai belasan jam setelah G30S meletus, masyarakat di Jakarta dan berbagai daerah pada umumnya masih “buta” terhadap apa yang sebenarnya terjadi di ibu kota pada dini hari sebelumnya.
Pengumuman Letkol Untung, Komandan Batalion Cakrabirawa (pasukan penjaga Istana Presiden), lewat RRI pada pagi sampai sore 1 Oktober 1965 tentang adanya “Gerakan 30 September” yang dilakukannya untuk melindungi Presiden Sukarno dari ancaman “Dewan Jenderal” dan pengumuman tentang pembentukan dewan revolusi di mana ketuanya adalah untung sendiri, telah menjadi tanda tanya besar bagi mayoritas rakyat, bahkan juga sebagian kalangan elite.
ADVERTISEMENT
Baru pada malamnya, ketika Pangkostrad Mayjend Soeharto, atas nama Menpangad, menyampaikan pengumuman yang isinya sangat berbeda, bahwa telah terjadi penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal Angkatan Darat, termasuk Menpangad Ahmad Yani, oleh sekelompok bersenjata yang menamakan dirinya Gerakan 30 September, kebingungan di kalangan masyarakat mulai berkurang. Sejumlah pihak, termasuk di daerah, seperti di Sumatera Barat, mulai mengarahkan telunjuknya kepada PKI sebagai dalang “geger” G30S 1965.
Sejumlah kalangan di Padang, yakni mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Islam, kelompok mahasiswa yang sering mendapat tekanan PKI pada masa “Orde Lama” dan awak eks Aman Makmur, koran yang dibreidel penguasa “Demokrasi Terpimpin”, sudah berani mengatakan bahwa tragedi berdarah itu didalangi PKI.
Mereka melakukan aksi-aksi spontan, dengan melakukan corat-coret dengan pesan bernuansa anti-komunis pada malam 3 Oktober 1963. Mereka tak hanya menuding PKI sebagai dalang kudeta, tapi juga menyebut tokoh-tokoh komunis, baik kategori tokoh nasional maupun lokal, sebagai orang-orang yang bertanggung jawab atas penculikan dan pembunuhan para perwira AD.
ADVERTISEMENT
Namun aksi-aksi yang pada mulanya mendapat back-up diam-diam dari sejumlah perwira “kanan” di Kodam III/17 Agustus (membawahi daerah Sumbar dan Riau) itu tidak berlangsung lama. Mereka kemudian mendapat peringatan dari para pejabat Kodam (lainnya).
Resistensi dari para perwira “kiri” di badan militer daerah, yang jumlah dan pengaruhnya memang masih dominan, membuat aksi-aksi anti-komunis pada tahap permulaan di kota Padang itu harus terhenti.
Realitas politik itu pula yang menjadi penjelas mengapa aksi-aksi antikomunis pasca-Gestapu di Sumatera Barat sesudah 1 Oktober 1965 dan awal 1966 tidak seeksesif di Jawa. Ketika KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) berdiri di Jakarta akhir Oktober 1965, perwakilannya di Sumatera Barat justru baru terbentuk pada tahun berikutnya. Begitu juga kesatuan aksi pelajar (KAPPI), sarjana (KASI), guru (KAGI) dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Aksi-aksi antikomunis dan “Orde Lama” di Sumbar baru efektif justru setelah Soeharto lewat Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) membubarkan PKI dan mengamankan mereka yang dianggap terlibat dan terkait G30S.
Sejak itu aksi-aksi Angkatan 66 Sumbar bahkan tak kalah eksesif dibandingkan rekan mereka di Jawa. Mereka aktif melakukan unjuk rasa, termasuk melakukan sweeping terhadap orang-orang komunis dan bahkan mereka yang dianggap sebagai unsur-unsur “Orde Lama” (Djalal dan Hendrik, 2019).
Di antara aksi yang terkenal adalah pencopotan tanda pangkat Jaksa Tinggi Sumbar Suwarno yang mereka indikasikan sebagai komunis. Aksi itu dipimpin Saidal Bahauddin, tokoh mahasiswa dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas dan mantan anggota pasukan PRRI.
Aksi-aksi itu kemudian mendapat sokongan terutama Pangdam yang baru, yakni Poniman, seorang perwira pro-Soeharto asal Divisi Siliwangi dan Rektor Unand Harun Zain, walaupun sebelumnya kedua tokoh ini tidak mengetahui adanya aksi sweeping atas pejabat kejaksaan tinggi itu.
ADVERTISEMENT
Aksi heroik lainnya adalah demonstrasi “Tritura” (Tiga Tuntutan Rakyat) dan “Ampera” (Amanat Penderitaan Rakyat) oleh pelajar-pelajar Bukittinggi. Namun aksi-aksi di tahun 1966 itu juga bisa dianggap agak bernuansa “rasial”. Mereka menanggalkan papan nama berhuruf Cina.
Aksi itu bahkan menimbulkan korban jiwa yakni Ahmad Karim, pelajar STM Bukittinggi, asal Pasaman, yang ditembak oleh anggota militer dari Korem setempat. Gugurnya Ahmad Karim memicu unjuk rasa lebih besar di berbagai kota di Sumbar. Memenuhi tuntutan demonstran, Ahmad Karim kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Ampera dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bukittinggi.
Ketika mahasiswa di Jawa mulai mengarahkan tuntutannya pada Presiden Sukarno yang dianggap harus bertanggung jawab atas G30S dan kekacauan ekonomi, Angkatan 66 Sumbar yang sebagian merupakan eks PRRI itu juga melakukan tuntutan serupa.
ADVERTISEMENT
Di tanah Minangkabau, sebenarnya aksi-aksi yang mengarah pada Sukarno berlangsung jauh sebelum Sidang MPRS yang melengserkan Presiden pertama RI itu. Hanya saja, aksi-aksi pendahuluan yang dilakukan sejumlah elemen lokal tersebut terhenti karena ada resistensi dari para simpatisan Presiden Sukarno di badan militer daerah (Djalal dan Hendrik, 2019).
Ilustrasi jam gadang Bukittinggi Sumbar. Foto: Pexels.com
Sebagaimana di Jawa, Bali, Sumatera Timur dan sejumlah daerah lain, tragedi G30S dalam konteks Sumbar tak hanya diwarnai aksi-aksi sporadis golongan pelajar dan mahasiswa di daerah perkotaan, tapi juga (kembali) riuh oleh berbagai pertentangan dan konflik sosial sampai ke nagari-nagari (desa di Minangkabau).
Pertentangan sosial yang timbul selama pergolakan PRRI seolah “bersambung” pada masa pasca-G30S. Dalam pertentangan itu bahkan ada anggota masyarakat yang menyertakan dendam pribadi di antara sesama dalam suatu kaum, kampung, dan nagari.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini diperparah oleh “ketidakmengertian” dari sebagian aparat yang bertugas ke wilayah ini terhadap persoalan sebenarnya karena mereka hanya mendapatkan informasi sepihak. Tidak heran, saat aksi penumpasan PKI, para anggota OPR mendapatkan tindakan pembalasan dari mereka yang merasa dirinya dizalimi di masa penumpasan PRRI.
Seperti di tempat lain, tak jarang juga sasaran aksi balas dendam pasca-Gestapu di Sumbar adalah mereka hanya ikut “baris berbaris” semasa Demokrasi Terpimpin. Mereka dipenjarakan atau dibunuh dan keluarganya dipermalukan (Alaidin Koto 2016).
Ilustrasi Masjid Raya Sumbar. Foto: Israr Iskandar
Bagaimanapun, setelah Orde Baru-Soeharto berkuasa terjadi banyak perubahan, utamanya di bidang ekonomi, karena ditopang stabilitas politik. Sejak awal berkuasa, rezim Orde Baru sudah memilih menerapkan kebijakan ekonomi bercorak liberal dengan antara lain memberi “karpet merah “ kepada pemodal asing dan pemodal dalam negeri sendiri.
ADVERTISEMENT
Ekonomi ekstraktif yang mengandalkan SDA yang melimpah menjadi katalisator pembangunan ekonomi Orde Baru. Terlepas bahwa terdapat banyak kelemahan mendasar, seperti membiaknya konglomerasi, korupsi dan ketimpangan, tetapi secara umum pertumbuhan dan kinerja ekonomi rezim Orde Baru menakjubkan.
Bagi Sumatera Barat, masa Orde Baru adalah masa titik balik dalam sejarah perjalanan daerah ini. Terdapat perubahan-perubahan penting pasca-Gestapu di Sumbar, sekalipun perubahan itu harus disesuaikan dengan “kemauan” penguasa Jakarta.
Pada masa itu memang tak ada pilihan lain bagi Sumbar yang “babak belur” akibat penumpasan pemberontakan PRRI yang melibatkan mayoritas rakyat daerah dan tekanan politik pada masa pra-Orde Baru kecuali “berkompromi” dengan sistem kekuasaan baru yang terpusat.
Dari hasil kompromi itu, daerah mendapatkan manfaatnya, di mana terjadi pembangunan yang pesat, setidaknya jika dibandingkan dengan keadaan sebelum G30S. Namun efek dan ekses-nya juga menjadi “sebanding”, walaupun hal hampir serupa juga terjadi di banyak daerah lain.
ADVERTISEMENT
Di bidang politik, umpamanya, elite Sumbar atau Minangkabau harus menerima “syarat” untuk memenangkan Golkar dalam Pemilu Orde Baru dengan mereduksi kekuatan politik yang sejatinya punya akar kuat di daerah ini, yakni politik Islam, khusus yang sebelumnya diwakili Masyumi, partai pilihan mayoritas Minang pada Pemilu pra-Orde Baru.
Begitu juga suara-suara kritis yang pernah berkumandang di masa 1950-an, juga (dipaksa) menyusut drastis pada masa Soeharto, suatu keadaan yang berdampak panjang hingga dewasa ini.