Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Sumbar, Orde Lama, dan Kontestasi Sejarah
7 September 2023 15:30 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Israr Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam dua kali Pemilihan Presiden terakhir, isu “Orde Lama” versus “Orde Baru” ikut menyeruak di panggung politik nasional. Dalam kontestasi seperti pada Pilpres 2019, di mana terjadi polarisasi antara dua kubu yang saling berhadapan, yakni pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin versus Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, isu kontestasi sejarah ini juga menyelinap.
ADVERTISEMENT
Di Sumatera Barat, di mana mayoritas pemilihnya saat itu memiliki preferensi pada Prabowo Subianto dengan angka keterpilihan yang sangat tinggi, isu terkait narasi politik masa lalu ini dalam batas tertentu juga muncul. Isu ini seakan melengkapi narasi-narasi yang memperkuat keyakinan pemilih terhadap pilihan politiknya.
Rendahnya keterpilihan incumbent Jokowi di ranah Minang pada 2019, walaupun perhatiannya pada pembangunan daerah ini cukup banyak pada periode pertamanya, juga terkait antara lain dengan isu narasi sejarah bahwa capres PDI Perjuangan dan bahkan koalisinya itu mewakili spektrum “Orde Lama”, walaupun tidak semuanya dinyatakan secara eksplisit.
Memang dalam khazanah sejarah Indonesia, “Orde Lama” merujuk pada masa pemerintahan ketika konsep politik "Nasakom" (nasionalisme, agama dan komunisme) mendominasi jagat politik Indonesia. Bahkan pada masa inilah PKI dengan idiologi komunisnya tampil menjadi kekuatan politik terbesar di samping Sukarno dan Angkatan Darat (Feith, 1995)
ADVERTISEMENT
Sudah tentu di sebagian kalangan pemilih, isu-isu komunis versus non-komunis semacam ini seakan menemukan konteks reaktualitasnya. Media sosial menjadi saluran bagi penyebaran secara masif beragam isu politik, termasuk yang sumir dan simplistis, bahwa seolah yang berhadapan dalam Pilpres adalah representasi “Orde Lama” melawan representasi spektrum “Orde Baru”.
Apalagi memang Prabowo sendiri eksis sebagai tokoh dan pejabat militer di masa Orde Baru. Bahkan ia adalah mantu Soeharto, presiden terlama dalam sejarah Indonesia yang juga merupakan aktor utama penumpasan PKI, menghukum tokoh-tokohnya dan menaruh rezim “Orde Lama” dengan segala narasinya di pinggiran sejarah.
Sedangkan Jokowi merupakan kader PDIP, yang notabene “titisan” PNI (Partai Nasional Indonesia), partai yang menjadi salah satu pilar terpenting “Orde Lama”. Apalagi, Megawati Soekarnoputri yang menjadi Ketua Umum PDIP adalah putri dari proklamator dan Presiden RI Pertama, seorang figur besar bangsa yang pada periode Demokrasi Terpimpin “tergelincir” dalam perilaku kekuasaan otoritarian.
ADVERTISEMENT
Kontestasi Historis
Tanpa maksud mengorek luka lama, relasi Sumatera Barat dengan pemerintahan Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno menarik untuk dicermati kembali sebagai bahan pelajaran sejarah bagi bangsa di masa kini dan masa depan.
“Orde Lama” sendiri sebenarnya istilah yang ditimpakan rezim Soeharto kepada periode pra-Orde Baru. Dengan menyebut era pemerintahannya sebagai Orde Baru, maka pemerintahan sebelumnya seolah langsung menjadi “Orde Lama”. Bahkan dalam semangat hegemoni sejarah yang eksesif terjadi pemaknaan historis yang salah kaprah, seolah keseluruhan periode sejarah Indonesia sebelum Soeharto adalah “Orde Lama”, termasuk misalnya periode Demokrasi Liberal 1950-an.
Namun yang dimaksudkan di sini adalah periode yang “tonggak”nya dimulai ketika Presiden Sukarno memberlakukan Dekrit 5 Juli 1959. Peristiwa krusial itu sekaligus menandai episode pertama otoriterianisme dalam sejarah modern Indonesia. Ujungnya nanti adalah kudeta G30S tahun 1965 dan diberhentikannya Sukarno sebagai Presiden RI pada tahun 1967 lewat sidang MPRS.
ADVERTISEMENT
Pada masa Demokrasi Terpimpin inilah Sumatera Barat bisa dikatakan berada pada periode “kelam” dalam sejarah modernnya. Kegagalan Pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang pecah antara 1958 sampai 1961 dan kemudian ditumpas secara keras oleh pasukan tentara pemerintah pusat yang tak jarang juga diasosiasikan dengan "tentara Sukarno" seolah telah menjadi “titik balik” bagi perjalanan sejarah Sumatera Barat dan suku Minangkabau secara keseluruhan.
Penumpasan PRRI yang keras tak hanya menyebabkan banyaknya warga Sumatera Barat yang tewas (termasuk tunas-tunas muda yang jumlahnya bahkan melebihi korban di pihak pasukan pemerintah pusat), tetapi juga banyak di antara mereka yang eksodus ke luar daerah. Pilihan merantau tidak hanya untuk menghindari tekanan politik dari “tentara pendudukan” (APRI) dan golongan komunis (PKI) yang mendapat “angin”, sekalipun pada saat itu secara kuantitas jumlah golongan kiri di daerah ini adalah minoritas (Naim, 1971).
ADVERTISEMENT
Secara fisik, tragedi PRRI dan penumpasannya juga telah menyebabkan hancurnya banyak prasarana seperti jalan, jembatan, sekolah, kampus, irigasi, pasar, dan lainnya. Sumatera Barat pasca PRRI seperti negeri yang dikalahkan garuda. Masyarakat Sumatera Barat yang mendukung PRRI, dan tetap tinggal di daerah ini mengalami muno (murung dan tak berdaya), harus menjalani hidup dalam kondisi tertekan sebagai orang kalah dan dicap “pemberontak”, terutama oleh golongan komunis.
Kondisi ini baru berakhir setelah terjadi perubahan politik di tingkat nasional menyusul kudeta Gestapu 1965. Kudeta G30S yang menempatkan PKI sebagai tersangka sejarah itu kemudian ditumpas Angkatan Darat di bawah pimpinan Soeharto, yang lalu menjadi pemimpin Orde Baru. Sumatera Barat menyambut hangat kehadiran negara Orde Baru, bukan praktik panjang otoriterismenya, tapi kemudian yang berlaku karena Soeharto dianggap telah mengakhiri sebuah episode “kelam” dalam sejarah suku mereka dalam relasinya dengan Jakarta.
ADVERTISEMENT
Namun sejarah tidaklah hitam putih. Sebagaimana juga Orde Baru nantinya, Orde Lama adalah periode sejarah yang kompleks. Mungkin mayoritas masyarakat Sumatera Barat trauma dengan pengalaman di bawah pemerintahan Demokrasi Terpimpin, terutama manakala komunis seolah mendapat angin di ranah Minang, tetapi periode sejarah politik itu tak muncul dengan sendirinya. Ada banyak rangkaian peristiwa yang mendahului yang mesti dipahami dengan bijak sebagai bagian ko-adaptasi politik yang berlangsung dalam proses pembentukan bangsa kita.