Konten dari Pengguna

Tantangan dan Peluang Pariwisata Sumbar

Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang
1 September 2024 8:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Israr Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rumah gadang Minang   Sumber foto: koleksi Israr Iskandar
zoom-in-whitePerbesar
Rumah gadang Minang Sumber foto: koleksi Israr Iskandar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sumatera Barat merupakan salah satu daerah yang kaya dengan potensi pariwisata yang bisa menjadi nilai tambah bagi perekonomian masyarakat. Selain wisata alam, daerah ini memiliki potensi wisata budaya, sejarah dan bahkan agama.
ADVERTISEMENT
Dari sisi wisata alam, di masa Orde Baru, Sumatera Barat masuk sepuluh daerah tujuan wisata (DTW). Di Bukittinggi atau Maninjau, misalnya, kita dengan mudah menjumpai banyak sekali bule lalu lalang yang tidak jarang didampingi para pemandu lokal.
Namun sejak era reformasi dan otonomi, pariwisata Sumatera Barat terasa mengalami degradasi. Di Maninjau, sektor pariwisata bahkan seperti sengaja "dimatikan". Masyarakat dan pemerintah lokal lebih memilih melakukan pembudidayaan keramba jala apung dibandingkan turisme, walaupun budidaya ikan ini lebih merusak lingkungan alam.
Sejak era reformasi banyak tumbuh tempat-tempat wisata baru, sekalipun tempat-tempat wisata lama juga kurang berkembang. Objek wisata baru itu antara lain Pantai Mandeh, Nagari Tuo Pariangan, Pantai Carocok, Danau Kembar Alahan Panjang, Kapalo Banda, Silokek, dan beberapa lainnya.
ADVERTISEMENT
Namun dalam perkembangannya, objek-objek wisata itu juga mengandung banyak kelemahan. Masalah ketertiban dan kebersihan menjadi masalah klasik yang kurang tertangani dengan baik. Begitu juga masalah perilaku sosial yang dianggap masih belum ramah wisata.
Kondisi Jembatan Kelok Sembilan di Kabupaten Limapuluh Kota merupakan contoh nyata yang mengabarkan "penyakit" bahkan paradoks pariwisata Sumatera Barat belakangan ini. Sejatinya Kelok Sembilan adalah infrastruktur jalan dan jembatan layang, bukan objek wisata! Namun sejak awal pembukaannya awal 2000 an, jembatan layang yang dibangun di atas lembah dan di lereng Bukit Barisan yang indah itu bersalin rupa menjadi objek wisata.
Tak hanya orang ramai, jembatan megah itu juga dipenuhi pedagang makanan di kedua sisinya. Bahkan banyak kendaraan, bahkan sejenis truk dan bus, memilih parkir di sepanjang jembatan. Keadaan yang mengandung bahaya ini sudah berlangsung bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT
Paradoks lain bisa dilihat dari kawasan Lembah Anai di Tanah Datar. Sudah lama terjadi pembiaran terhadap menjamurnya tempat-tempat pemandian umum (waterboom), restoran, kafe dan rumah makan di wilayah cagar alam ini. Salah satu bagian kecil kawasan ini di masa kolonial Belanda memang menjadi rest area bagi musafir dari wilayah pesisir ke darek (dataran tinggi) dan sebaliknya.
Namun dalam beberapa tahun belakangan, terutama sejak era otonomi, kawasan hutan lindung itu berubah menjadi kawasan keramaian, karena bermunculannya sejumlah waterboom, kafe, restoran, dan rumah makan. Pada Mei 2024 lalu, kawasan ini dilanda banjir bandang dan semua waterboom, sejumlah kafe, restoran dan warung, ludes dihantam banjir.
Sebenarnya hampir semua yang disebut "objek wisata", terutama yang tergolong baru, tumbuh tanpa pengendalian yang baik terhadap sektor-sektor ekonomi ikutannya. Pedagang-pedagang yang hadir dan muncul di lokasi wisata tumbuh tanpa pengaturan yang baik, sehingga terkesan "liar," "tidak tertib," "tidak rapi" dan seterusnya. Alih-alih menunjang perkembangan objek wisata, kemunculan pedagang-pedagang, warung-warung dan pernak-pernik ekonomi kerakyatan dimaksud justru merusak atau mengurangi keindahan alam yang ada.
ADVERTISEMENT
Persoalan ini seperti ini terlihat, misalnya di kawasan wisata Mandeh Pesisir Selatan. Pembukaan objek wisata pada tahun 2015 itu sejalan dengan pembukaan jalan yang cukup lebar yang menghubungkan Bungus Padang dengan Tarusan melewati bagian-bagian pinggir pantai, termasuk perbukitan yang langsung menjorok ke pinggir laut. Namun ketika jalan itu selesai dan objek wisata mulai ramai dikunjungi, warung-warung tenda pedagang pun muncul di pinggir jalan tersebut.
jam gadang Bukittinggi. Sumber: pixabay.com
Tidak hanya objek wisata alam, objek wisata budaya dan religi juga seperti itu. Namun masalah pokok lain yang membuat wisata daerah ini stagnan bahkan mundur adalah masalah infrastruktur dan sikap mental masyarakat. Sampai sekarang, untuk objek wisata, di daerah ini masih banyak unsur ketidakpastiannya, terutama menyangkut tarif atau harga-harga , seperti parkir, transportasi tertentu, harga makanan, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Di balik tantangan, wisata Sumbar masih punya peluang. Pembangunan infrastruktur yang cukup pesat di kawasan Sumatera, termasuk daerah tetangga, menjadi kans bagus untuk pertumbuhan wisata dan ekonomi masyarakat Sumbar. Dibukanya jalan tol dari Pekanbaru ke Tigabelas Koto Kampar, bahkan sampai perbatasan Sumbar, menjadi peluang emas bagi wisata Minang, sekalipun infrastruktur Sumbar sendiri dianggap kurang berkembang.
Tentu saja, kalau pariwisata Sumatera Barat ingin lebih maju lagi dan menangkap peluang ekonomi lebih maksimal, sikap mental masyarakat lokal harus benar-benar dibenahi kembali. Masalah ini tidak hanya menjadi fokus pemda, tetapi juga masyarakat sendiri, lewat tokoh-tokoh masyarakat untuk terus beradaptasi dengan ekonomi jasa wisata yang maju, tanpa harus menggerus nilai-nilai lokalitas sendiri.
ADVERTISEMENT