Thomas Hobbes dan Negara Leviathan

Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang
Konten dari Pengguna
18 September 2023 9:56 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Israr Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kastil Kuno. Sumber Foto: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kastil Kuno. Sumber Foto: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Thomas Hobbes (1588-1679) adalah salah satu tokoh penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan, terutama ilmu politik modern. Pemikir Inggris kelahiran 5 April 1588, di Malmesbury, Britania Raya ini menyumbangkan kritik yang radikal terhadap skolatisme Abad Pertengahan. Ia sendiri sebetulnya juga berusaha mengembangkan sebuah filsafat yang lengkap yakni yang memperlakukan ilmu alam, ilmu politik, dan teori tentang metode ilmiah sebagai satu kesatuan sistem (Sabine, 1981:115)
ADVERTISEMENT
Sepanjang karirnya, Hobbes menerbitkan berbagai naskah berharga mengenai matematika, determinisme dan kehendak bebas, Common Law, dan tinjauan analitis terhadap Perang Sipil di Inggris. Kendati demikian, sumbangan terbesar Hobbes adalah pada filsafat politik modern.
Di sinilah ia menampilkan teorinya mengenai hubungan manusia dengan negara. Risalah politiknya yang paling terkenal dan menjadi magnum opus-nya adalah Leviathan (1651) yang diakui sebagai salah satu mahakarya filsafat politik.
Tentu menarik untuk melihat konsep Hobbes mengenai negara, yang secara umum terangkum dalam Leviathan, baik untuk konteks di masa Hobbes hidup maupun masa-masa sesudahnya, bahkan sampai dewasa ini. Ada kesan konsep negara Hobbes sudah “keluar” sedemikian jauh dari cita-cita idealnya.
Negara model ini diadopsi pada abad-abad berikutnya, terutama abad 20, tapi dalam praktiknya lebih banyak bergelimang kekerasan, khususnya terhadap rakyat. Padahal, negara Leviathan sendiri sejatinya mencitakan kesejahteraan dan kedamaian masyarakat. “Tujuan untuk mematuhi (orang lain/penguasa) adalah (agar mendapat) perlindungan," kata Hobbes dalam Leviathan. (Noer, 1997:115)
ADVERTISEMENT

Homo Homini Lupus

Sumber ilustrasi: pixabay
Latar belakang kehidupan keluarga dan lingkungan masyarakat Eropa sangat mempengaruhi corak pemikiran Hobbes. Ia pertama-tama melukiskan dirinya sebagai saudara kembar rasa ketakutan.
Rasa takut itu antara lain terjadi ketika semakin dekatnya Armada Spanyol ke kawasan Inggris. Kedatangan balatentara Spanyol begitu mencekam perasaan ibunya. Suasana ketakutan itulah yang memaksa Hobbes dilahirkan ke dunia lebih awal (prematur).
Hobbes sendiri lahir dan besar dalam keluarga miskin. Karena itu ia disekolahkan pamannya sampai Universitas Oxford. Di sini ia mempelajari pemikiran Aristoteles dan dikritiknya. Pada masa itu ia berkesempatan berkeliling Eropa dan berkenalan dengan banyak tokoh pemikir dan ilmuwan abad 17 di antaranya Galileo Galilei, Rene Descartes, dan Francis Bacon.(Suhelmi, 2001).
ADVERTISEMENT
Di samping itu, pelbagai peristiwa sosial politik yang disaksikannya juga membentuk pemikiran Hobbes yang “unik”. Ia merupakan seorang pemikir yang lahir dan mengalami intelektualisasi dalam keadaan sosial politik anarki di Inggris abad 17.
Sejak lahir hingga akhir hayatnya terjadi perang sipil dan perang agama, konfrontasi tak henti-hentinya antara raja dengan Dewan Rakyat. Kekerasan, kekejaman, dendam kesumat, dan ketakutan akibat peperangan agama dan perang sipil adalah pemandangan yang “biasa” di negerinya saat itu.
Pelbagai peristiwa “horor” tersebut menimbulkan luka-luka sejarah yang membuat Hobbes terobsesi mencari pemecahan masalah. Bagaimana perang dan konflik bisa dihindari dan terciptanya perdamaian yang hakiki?
Melalui kajian serius terhadap persoalan sosial politik yang dihadapi Eropa, khususnya Inggris, Hobbes menarik beberapa kesimpulan penting. Pertama, salah satu sebab terjadinya perang agama, perang sipil dan konflik-konflik sosial adalah karena lemahnya kekuasaan negara. Kedua, perang dapat dihindari dan perdamaian akan tercipta jika kekuasaan negara mutlak, tidak terbagi-bagi.
ADVERTISEMENT
Dalam mencari pemecahan masalah, Hobbes mempertanyakan berbagai realitas yang dihadapinya: bagaimana masyarakat dapat diatur sehingga konflik dapat dihindari? Hobbes sendiri menghadapi kenyataan kontradiktif ketika dihadapkan pada persoalan perang sipil dan agama.
Di satu pihak raja-raja menegaskan bahwa perjuangan mereka didasarkan pada norma-norma luhur dalam teks-teks agama. Tapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya: kaum agamawan dalam sejarahnya sering tampil sebagai aktor-aktor politik yang kejam, iri hati dan penuh rasa dendam.
Di sinilah Hobbes sampai pada pandangannya mengenai hakikat manusia dan kekuasaan. Hakikat alamiah yang melekat pada diri manusia, katanya, adalah persaingan mencari kebahagiaan. Dalam menghadapi persaingan itu, manusia terdorong untuk menggunakan kekuasaan yang ada padanya.
Manusia adalah pemburu kekuasaan. Dalam konteks itulah muncul “doktrin” Hobbes yang terkenal bahwa manusia akan menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Manusia senantiasa terancam keselamatannya oleh sesamanya. (Blitz, 1989: 417)
ADVERTISEMENT

Negara Leviathan

Sumber ilustrasi: pexels.com
Oleh karena itu, setiap masyarakat manusia memerlukan adanya perlindungan bagi keselamatan warganya. Pusat perlindungan itu adalah negara. Negara versi Hobbes harus memiliki kekuasaan mutlak, meskipun negara itu dibentuk secara bersama berdasarkan “perjanjian sosial”. Perjanjian itu sendiri berangkat dari tabiat ketakutan manusia yang menyebabkan seseorang datang kepada yang lain untuk mengadakan perjanjian bersama.
Dalam konteks inilah negara mengasumsikan sebuah undang-undang alam (lex naturalis) yang merupakan suatu peraturan yang ditemui dengan perantara akal yang menyuruh atau melarang dan membatasi kemerdekaan untuk kepentingan orang lain. Tujuan UU sangat mulia yakni perdamaian dengan membatasi kemerdekaan alamiah dari setiap orang (Sabine, 1981:115).
Di samping membatasi kemerdekaan alamiah dari setiap orang, Hobbes juga berpendapat perlunya diangkat seorang raja dengan kekuasaan yang mutlak. Raja harus berlaku “netral”, yakni berdiri di atas kepentingan-kepentingan warganya. Tapi raja sendiri bukan merupakan bagian dari perjanjian bersama itu.
ADVERTISEMENT
Raja bahkan tidak dapat melanggar hukum, karena ia merupakan hukum itu sendiri. Di sini Hobbes sendiri sebenarnya tidak menyangkal kekuasaan absolut bisa melahirkan negara despotis. Tapi menurut dia, negara despotis masih jauh lebih baik daripada terjadinya anarki akibat rapuhnya kekuasaan negara.
Obsesi Hobbes memilih negara kekuasaan punya logika tersendiri. Sebagai ilmuwan yang terlibat langsung dalam berbagai pergolakan politik di negaranya dan merasakan pahit getirnya perang saudara dan agama, Hobbes terobsesi untuk menemukan jawaban bagaimana menghindari perang, konflik politik serta menciptakan perdamaian. Akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa negara kekuasaan harus memiliki karakter yang kuat, kejam, dan ditakuti untuk tujuan melindungi warganya.
Hobbes mengibaratkan negara sebagai Leviathan, sejenis monster yang ganas dan menakutkan yang terdapat dalam kisah Perjanjian Lama. Makhluk menakutkan ini selalu mengancam keberadaan makhluk-makhluk lainnya. Negara Leviathan harus menimbulkan rasa takut kepada siapapun yang melanggar hukum negara.
ADVERTISEMENT
Bila warga negara melanggar hukum, negara Leviathan tak segan-segan menjatuhkan vonis hukuman mati. Negara macam ini harus kuat. Bila lemah, anarki dan perang sipil akan mudah meletus dan dapat mengakibatkan terbelahnya kekuasaan.
Apapun kritik terhadap konsep negara Leviathan, Hobbes hingga akhir hayatnya tetap yakin bahwa negara seperti itu adalah yang terbaik!

Lebih “Diterima” di Abad 20

Sejak awal sistem filsafat politik Hobbes telah mengundang kontroversi. Di abad 17, Hobbes dianggap sebagai pelaku subversi yang berbahaya oleh mereka yang percaya pada atau berkepentingan terhadap terpeliharanya tatanan tradisional. Para pendeta mengecam pandangannya tentang dunia yang materialistis sebagai suatu sikap ateis dan pandangan mekanistisnya mengenai manusia sebagai suatu pandangan yang mengabaikan jiwa.
ADVERTISEMENT
Ilmuwan hukum menyerang doktrin absolutismenya telah menempatkan kedaulatan raja di atas hukum sipil. Bahkan raja-raja Eropa pada masa itu was-was juga menerima ajarannya bahwa otoritas politik mesti dilandaskan pada kekuasaan nyata ketimbang “hak suci surgawi”. Di abad 18 dan 19, pembelaan Hobbes terhadap absolutisme beradu dengan tuntutan umum akan adanya pemerintahan yang konstitusional.
Hobbes justru lebih “diterima” di abad 20 ketimbang sebelumnya. Kendati sejumlah ilmuwan melihat kesejajaran antara negara Leviathan dengan tiran-tiran abad 20, hampir semuanya mengakui bahwa Hobbes telah mencerahkan analisis despotisme, yang tujuan utamanya adalah menjamin keamanan sipil. Ini tentu saja berbeda dengan negara-negara totaliter yang brutal dan dikuasai oleh orang-orang yang fanatik di abad 20.
Dalam konteks ini sebetulnya menarik untuk membedakan antara “idealisme” negara Leviathan dengan kenyataan yang kemudian berkembang pada negara-negara otoriter abad 20, yang mungkin sekali tak terbayangkan oleh Hobbes sewaktu mengkreasi konsep tersebut.
ADVERTISEMENT