Konten dari Pengguna

Reformasi Birokrasi Melalui Penyadaran Sumber Pendapatan Negara

Iswan Kaputra
Peneliti dan pemberdaya masyarakat pedesaan pada Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia, Medan
18 Desember 2020 14:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iswan Kaputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Reformasi Birokrasi Melalui Penyadaran Sumber Pendapatan Negara
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kita pantas bersyukur bahwa pada beberapa bidang pelayanan publik sudah mengalami sedikit perubahan. Hal ini dapat dilihat dari mulai bangkitnya daerah-daerah yang berinisiatif mereformasi birokrasi dengan cara meningkatnya pelayanan publik. Hal ini tentu tak lepas dari dorongan UU, peraturan baru dan sistem yang terus diperbaiki.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu tentu banyak kalangan yang kurang puas karena reformasi birokrasi menuju good governance masih dirasa lamban. Masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tahun 2006 beliau pernah memberi pengakuan bahwa, birokrasi kita masih bekerja seperti yang dulu, belum berubah secara signifikan, lamban bertindak, lamban mengambil keputusan masih lamban memproses sesuatu. Boros waktu dan tidak efisien.
Presiden Joko Widodo pernah jengkel dibuat perkara birokrasi yang masih belum cepat dan berfaham pelayanan. 27 Maret 2018 lampau, seperti dilansir tirto.id, dengan ekspresi kesal, Jokowi menyatakan, "Saya jengkel sekali, karena keluhan itu saya dengar langsung dari dunia usaha, dari masyarakat. Saya naik ke lantai 3, saya cari kepala kantornya. Untungnya enggak ada. Saya sudah jengkel. Kalau ada saya bisa gaplok langsung saat itu”. Jokowi juga menyarankan keras agar para birokrat harus mampu mendengar keinginan masyarakat. "Oleh karena itu, sebagai birokrat, jangan kalian melayani lambat kalau masyarakat ingin dilayani cepat. Dimaki-maki kita nanti!" kata Jokowi.
ADVERTISEMENT
Meskipun reformasi telah berjalan lebih dari 20 tahun dan masa transisi sudah jauh dilalui, namun untuk mencapai maksimalitas perubahan pada tubuh birokrasi begitu sulit, mengubah kondisi pelayanan pemerintah atau birokrasi yang lebih baik kepada masyarakat, terutama pada sektor pelayanan public, masih merupakan Langkah yang terseok-seok. Hal ini tentu bukan hanya dilihat dari satu atau dua sisi faktor saja, akan tetapi paling tidak ada 4 faktor yang mesti diperbaiki. Faktor-faktor tersebut adalah; faktor sistem, peraturan per-undangan-undangan, kecakapan sumberdaya manusia dan kesadaran serta moral atau mentalitas birokrat itu sendiri.
Dalam tulisan ini kita hanya akan mengulas faktor yang terakhir, yakni faktor kesadaran dan moral atau mentalitas para birokrat dan pejabat negara sebagai “pelayan rakyat”. Sebelum merdeka, setelah 3,5 abat kita dijajah, ditambah 32 tahun dipimpin oleh rezim yang menimbulkan kesan bahwa “pejabat adalah raja yang perlu dilayanai” ditambah kesan lain yang muncul, yakni pameo “jika bisa dipersulit mengapa harus dipermudah”. Tentu hal ini sangat mempersulit reformasi birokrasi mengalami percepatan.
ADVERTISEMENT
Masa penjajahan dimana rakyat ditindas secara fisik, psikologi dan mental pasti menimbulkan bekas secara psikologis pula, yakni dendam yang tertranformasi dari generasi yang mengalami penindasan langsung ke generasi berikutnya, yang tidak mengalami penindasan langsung. Kini dendam tersebut diterjemahkan dalam bentuk bila mana si tertindas mengalami perubahan posisi sosial (si tertindas yang menjadi amtenar atau birokrat) maka dia akan melakukan “penindasan” yang sama terhadap orang “dibawahnya”. Belum lagi, secara teknis, cara-cara licik yang ditularkan para penjajah untuk menangani rakyat, waktu itu.
Sumber Pendapatan Negara
Kita tahu salah satu sumber terbesar negara membiayai operasionalnya dari pajak. Penerimaan pajak tahun 2019 sebesar Rp 1.545,3 triliun (86,5% dari target APBN tahun 2019), sedangkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 405 triliun, (107,1% dari target APBN tahun 2019) dan hibah sebesar Rp 6,8 triliun. Dari total penerimaan, pajak berkontribusi 79%, sedangkan penerimaan yang lain hanya 21%.
ADVERTISEMENT
Dari tahun ke tahun target penerimaan negara dari pajak ini terus akan ditingkatkan. Pajak ini tentu diambil dari kantong rakyat, meskipun jika dihitung dari seluruh pajak yang masuk tentu akan menunjukkan perbandingan jumlah yang sangat besar dari angka-angka yang tertera di atas, karena sudah menjadi rahasia umum kebocoran yang terjadi pada kantor pajak sangat besar jumlahnya (lihat kasus pegawai rendahan kantor pajak, Gayus Tambunan, vonis 29 tahun 2011).
Ada beberapa jenis pajak dari rakyat yang, kita istilahkan, tidak langsung. Salah satu contoh yang dapat diurai adalah, cukai tembakau (maaf, karena cukai tembakau ini yang gampang dihitung karena tercantum nilai pada pita cukainya). Cukai tembakau yang tertera dalam pita cukai tembakau rata-rata 40%. Mengapa cukai tembakau begitu tinggi? Karena rokok dianggap barang khusus. Mengapa dianggap barang khusus? Karena dianggap dapat merusak kesehatan. Pajak minuman beralkohol tentu akan jauh lebih tinggi. Jadi jika kita hitung dengan harga rokok perbungkus rata-rata Rp 20.000,- maka cukai yang ditarik dari 1 bungkus rokok adalah Rp 8.000,-. Jika setiap perokok di Indonesia menghabiskan 1 bungkus per-hari, perorang dan penghisap rokok di Indonesia berjumlah 65 juta orang (data Southeast Asia Tobacco Control Alliance dalam The Tobacco Control Atlas, Asean Region, 2016) dari 268.583.016 jiwa jumlah penduduk Indonesia (Agustus 2020), maka angka yang akan muncul dari cukai barang khusus ini sangat fantastis, yakni Rp 520 milyar per-hari, alias Rp 16,120 triliun perbulan atau Rp 193,440 triliun pertahun, angka penghitungan Saya ini tidak jauh dari yang ditargetkan pemerintahn tahun 2020 sebesar Rp 164,9 triliun dan tahun 2021 sebesar 172,8 triliun. Sangat fatastis, bukan?
ADVERTISEMENT
Nominal di atas, baru dari satu jenis barang konsumtif yang digunakan oleh rakyat. Belum dari barang lain (bukan barang khusus), yang kita konsumsi, pajaknya biasanya dibawah 5%. Tentu bukan rakyat (konsumen) yang langsung menyerahkan uang pajak tersebut –ini yang saya istilahkan tadi dengan pajak tidak langsung– pada pemerintah akan tetapi perusahaan yang membeli pita cukai tembakau atau rokok yang menyerahkannya. Akan tetapi bila tidak ada nilai cukai tembakau yang rata-rata 40%, tentu harga rokok tidak Rp 20,000,- perbungkus di tangan konsumen (mungkin harganya hanya Rp 12,000,-), perusahaan membebankan biaya cukai tersebut kepada konsumen melalui harga jual. Uraian ini hanya sebagai salah satu contoh, dimana negara dibiayai oleh rakyat dari berbagai macam pajak, kutipan, restribusi, cukai, pendapatan dan yang lain, baik langsung maupun tidak langsung.
ADVERTISEMENT
Penataran Penyadaran
Lalu apa kaitannya dengan reformasi birokrasi? Perlu disosialisasikan dengan baik kepada seluruh birokrasi, di dalamnya pegawai negeri sipil/aparatur sipil negara (PNS/ANS) Polisi dan TNI bahwa mereka dihidupi dari uang yang disetor oleh rakyat pada negara. Hal ini merupakan unsur penyadaran yang sangat penting pada birokrasi untuk membongkar faham dan cara kerja lama birokrasi.
Jika pada masa lampau ada penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Sudah saatnya sekarang dilakukannya penataran penyadaran kepada birokrasi dan PNS dengan muatan; dari mana didapat sumber-sumber pebiayaan negara termasuk yang digunakan untuk menggaji dan biaya oprasional kantor-kantor institusi birokrat bekerja. Juga untuk siapa pekerjaan dilakukan.
Dalam orientasi pra-jabatan PNS/ANS juga mestinya muatan ini menjadi muatan utama yang diberikan pada calon PNS/ANS agar ketika mereka menjalankan tugas PNS/ANS-nya dalam kondisi sadar benar bahwa mereka dibayar oleh rakyat dan karenanya bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan diri sendiri maupun pengusaha atau investor.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu kemungkinan besar akan tercipta birokrasi yang baik dalam kerangka percepatan reformasi birokrasi menuju good gouvernance seperti yang telah terjadi pada negara maju yang menjadi cita-cita bersama tujuan sebuah negara.
Iswan Kaputra. Peneliti & Pekerja Sosial pada Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia, Medan.