Konten dari Pengguna

Di Balik Maraknya Judi Online: Cerminan Rapuhnya Keuangan Digital Nasional

Iswanda F Satibi
Dosen Prodi Bisnis Digital UPN Veteran Jawa Timur. Founder Business Indicator Strategies and Digital Initiatives
23 April 2025 15:01 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iswanda F Satibi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menyampaikan keterangan kepada wartawan usai rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (13/1/2025). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menyampaikan keterangan kepada wartawan usai rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (13/1/2025). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Maraknya judi online di Indonesia bukan sekadar mitos. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memperkirakan nilai transaksi judi online pada 2024 mencapai Rp359,81 triliun per tahun dan melibatkan sekitar 8,8 juta pemain. Bahkan, ada klaim lain yang lebih mencengangkan bahwa perputaran dana aktivitas terlarang ini menembus Rp900 triliun. Kebanyakan pelaku berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah yang sering kali tergiur “cuan instan.” Angka tersebut bukan main-main, laporan lain dari PPATK juga memperkirakan deposit judi online pada 2024 mencapai Rp51 triliun.
ADVERTISEMENT
Aktivitas judi online ini melibatkan mekanisme pembayaran digital seperti transfer bank, dompet elektronik, hingga QRIS. Proses transaksi begitu cepat dan relatif sulit dilacak apabila identitas pengguna tidak terverifikasi secara ketat. Menurut rilis “Indonesia Fintech Market Report – Q1 2025” pada 11 April 2025, transaksi melalui dompet elektronik (e-wallet) di Indonesia terus meningkat hingga 90% dari periode sebelumnya. Padahal, tanpa pengawasan tepat, integrasi e-wallet dan sistem pembayaran digital lainnya bisa dengan mudah disalahgunakan oleh sindikat judi untuk menyamarkan aliran dana.
Salah satu alasan kenapa modus ini tumbuh subur adalah rendahnya literasi keuangan digital di kalangan masyarakat umum –khususnya masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Mereka mudah terperangkap iklan “game penghasil uang” atau “taruhan bola online” –yang juga marak di kolom komentar sosial media, karena menjanjikan “kemenangan” mudah hingga “kekayaan” cepat.
ADVERTISEMENT
Celakanya, banyak pengguna teknologi keuangan (fintech) yang belum siap menghadapi risiko fraud yang ada di ekosistem keuangan digital. Alhasil, kondisi ini menjadi lahan basah bagi pelaku kejahatan siber. Tidak heran, Komdigi telah memblokir jutaan konten judi online, sementara OJK dan perbankan menutup ribuan rekening yang terkait aktivitas ilegal ini sebagai respons tegas. Akan tetapi, aksi pemblokiran seringkali mendapatkan respons yang lebih cepat oleh pelaku dengan membuat domain baru atau menggunakan akun e-wallet palsu.
Fenomena judi online juga disokong oleh pesatnya inovasi fintech di Indonesia. Tahun 2024, DailySocial melaporkan bahwa fintech menjadi sektor pendulang dana terbanyak untuk startup lokal, menguasai sekitar 41,8% dari seluruh total investasi. Dalam laporan bertajuk Indonesia Startup Report 2025 yang dirilis pada Februari 2025 tersebut, sektor ini mencakup layanan pembayaran digital, asuransi berbasis teknologi (insurtech), sampai pinjaman online berbunga kompetitif. Secara teori, geliat ini dapat dikatergorikan sebagai pertumbuhan positif karena membuka akses bagi masyarakat yang belum mempunyai akses perbankan (unbanked). Namun, kenyataannya, banyak celah pengawasan yang belum sempurna. Praktik pencucian uang dan judi online tumbuh diam-diam di balik euforia perkembangan fintech tersebut.
ADVERTISEMENT
Implikasi Kelemahan Ekosistem Keuangan Digital
Jika mengacu pada laporan Tech In Asia (www.techinasia.com), tampak bahwa pendanaan fintech di Asia Tenggara memang berfluktuasi, bahkan tercatat mengalami penurunan sebesar 66% dibanding kuartil 1 2024. Namun, Indonesia masih menjadi magnet karena populasi masyarakat yang besar dan transaksi digital yang terus naik. Menurut data Bank Indonesia, transaksi digital payment di Indonesia pada 2024 menembus 34,5 miliar kali transaksi, tumbuh 36,1% secara tahunan (year-on-year). Penggunaan QRIS pun naik 175,1% pada periode yang sama. Di satu sisi, ini menandakan ekosistem keuangan digital kita aktif dan cepat beradaptasi. Di sisi lain, efektivitas pengawasan belum sebanding dengan percepatan teknologi.
Salah satu contoh nyata, menurut hasil analisa PPATK, adalah penggunaan QRIS untuk menyamarkan transaksi. Modusnya, pemain judi mentransfer nominal kecil secara berulang ke akun penampung melalui QRIS di berbagai merchant. Ketika digabungkan, nilainya bisa puluhan juta hingga ratusan juta rupiah per hari. Di sinilah letak kelemahan terbesar, yaitu kurangnya real-time monitoring dan integrasi data lintas platform –sekalipun Bank Indonesia sudah merumuskan standar anti pencucian uang (Anti Money Laundering) terbaru, OJK merampungkan ketentuan bagi perusahaan teknologi finansial, Komdigi memblokir situs, dan kepolisian menindak pemilik akun. Namun, semuanya bekerja pada jalur masing-masing –dan cenderung sporadis, sehingga aktivitas ilegal sulit dipantau secara menyeluruh.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini diperparah oleh literasi keuangan digital yang rendah. Masyarakat tidak siap menghadapi berbagai tawaran “cuan cepat” berbasis aplikasi. Kita ambil contoh, tak sedikit orang rela meminjam uang di platform pinjaman online yang belum berizin resmi, lalu menggunakannya untuk deposit ke situs judi online. Di kalangan anak muda, aktivitas ilegal ini merambah melalui plugin gim atau link streaming yang tiba-tiba menampilkan pop-up “mainkan sekarang, bawa pulang hadiah jutaan.” Sebagian anak muda ini tidak sadar bahwa hal tersebut adalah jebakan yang akan menjerumuskan mereka ke ranah pelanggaran hukum.
Penegakan hukum pun masih bersifat reaktif. Komdigi bisa menutup ratusan ribu domain, tapi operator judi juga menyiapkan ribuan domain cadangan. PPATK dapat memeriksa aliran uang dalam rekening bank, tapi transaksi e-wallet terkadang luput jika pelaporannya tidak dilakukan. Rilis Chambers and Partners bertajuk “FIntech 2025” yang diterbitkan pada 25 Maret 2025 mengulas banyak platform belum memakai AI (artificial intelligence) canggih untuk menapis transaksi mencurigakan. Ketiadaan data hub nasional, seperti yang direncanakan dalam Indonesia Payment System (IPS) Blueprint 2025, membuat setiap lembaga terpaksa mengandalkan laporan manual yang berjalan dalam proses birokrasi “tradisional” –atau baku-kaku. Akhirnya, proses identifikasi judi online kerap memakan waktu lama. Saat terungkap, pelaku sudah memindahkan uangnya ke tempat lain.
ADVERTISEMENT
Jika ditelaah dengan saksama, inti persoalan terletak pada kurangnya sinkronisasi dan belum tegaknya sistem integrasi. Melalui IPS Blueprint 2025, Bank Indonesia sudah punya cetak biru sistem pembayaran bernama “Operational Framework of Indonesia Payment Systems Blueprint 2025” yang mencakup lima pilar: Open Banking, Retail Payment Systems, Financial Market Infrastructures, Data, serta Regulatory, Licensing, and Supervisory. Implementasinya sudah dimulai, misalnya dengan peluncuran BI-FAST untuk memudahkan transfer real-time dan perluasan QRIS Merchant Presented Mode (MPM) atau Customer Presented Mode (CPM). Persoalannya, langkah-langkah ini belum diiringi pemantauan transaksi yang kuat.
Penguatan Ekosistem Keuangan Digital
Untuk menuntaskan praktik judi online, ada empat langkah yang bisa dipertajam dan disesuaikan dengan semangat IPS Blueprint 2025. Pertama, perlu segera dibangun data hub terpadu antarlembaga (BI, OJK, Komdigi, PPATK, Polri) dengan akses dan wewenang jelas. Langkah ini memungkinkan identifikasi aktivitas anomali secara real-time. Misalnya, saat sebuah e-wallet mencatat ratusan transaksi kecil dalam satu jam ke satu akun penampung, data hub langsung mengirim alarm ke PPATK untuk ditindak. Proses ini tak boleh lagi bergantung pada pelaporan manual.
ADVERTISEMENT
Kedua, Bank Indonesia dan OJK harus mewajibkan seluruh penyedia jasa keuangan digital mengadopsi AI dalam mendeteksi penipuan. Jangan biarkan hanya bank besar yang punya sistem advanced, sementara fintech kecil masih kebingungan. Dengan AI, pola transaksi mencurigakan, termasuk modus pencucuian uang –structuring maupun smurfing, akan lebih cepat terendus. Tak kalah penting, kerangka perizinan fintech perlu diperkuat agar hanya pelaku yang serius berinvestasi dalam keamanan dan pemenuhan AML/CFT (Anti-Money Laundering and Countering the Financing of Terrorism) yang bisa bertahan serta mampu menutup celah transaksi judi online.
Ketiga, literasi keuangan digital harus ditingkatkan. Sesuai semangat inklusi, kita tak hanya perlu memasukkan modul kewirausahaan digital di sekolah, tapi juga edukasi soal risiko judi online dan kejahatan siber. Kampanye ini bisa kolaborasi dengan komunitas dan universitas, memanfaatkan influencer yang dekat dengan generasi muda. Semakin banyak orang paham betapa bahayanya situs judi online, semakin kecil peluang mereka terjerumus.
ADVERTISEMENT
Terakhir, penegakan hukum mesti lebih solid dan cepat. Kegiatan memblokir domain tak cukup jika Komdigi berjalan sendiri. Harus ada mekanisme “blokir simultan,” di mana begitu satu situs judi dikenali, nomor rekening dan e-wallet terkait langsung dibekukan. Perlu pula kerja sama internasional untuk menutup celah server di luar negeri. Penegak hukum di Indonesia harus menyiapkan dasar perjanjian ekstradisi atau mutual legal assistance agar bandar besar tidak aman bersembunyi di luar.
Langkah-langkah ini sejalan dengan visi besar IPS Blueprint 2025, yaitu: menciptakan sistem pembayaran yang interoperabel, inklusif, dan aman. Retail Payment Systems seperti QRIS memang memudahkan transaksi, tapi harus ditambah lapisan keamanan ekstra. Inisiatif Data Hub dalam blueprint itu juga wajib disegerakan, agar laporan-laporan keuangan tidak tersebar tanpa koneksi. Sementara itu, sektor Regulatory, Licensing, and Supervisory pada ekosistem keuangan digital perlu menelurkan aturan lebih rinci soal penindakan tegas bagi perusahaan e-wallet atau fintech yang sengaja lalai. Bahkan, jika pelanggaran terulang, bisa dilakukan pencabutan izin.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, judi online ini bagaikan cermin yang memperlihatkan rapuhnya beberapa aspek ekosistem keuangan digital di Indonesia. Laporan-laporan mengenai nilai transaksi besar, pertumbuhan e-wallet, hingga perkembangan fintech menunjukkan bahwa infrastruktur pembayaran memang berkembang, tapi kontrolnya kurang maksimal. Melalui pemantapan langkah-langkah yang padu, mulai integrasi data lintas lembaga, pemanfaatan AI, peningkatan literasi, sampai penegakan hukum tegas, kita bisa menutup peluang para sindikat judi. Dengan begitu, IPS Blueprint 2025 tidak hanya menjadi dokumen visioner, melainkan betul-betul terasa dampaknya dalam melindungi masyarakat dan memajukan ekonomi digital Indonesia.