Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perempuan, Sosok Pemain Inti yang Dijadikan Cadangan
5 November 2020 10:16 WIB
Tulisan dari Isyraf Madjid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kalimat itu sejatinya bukan merupakan bualan belaka jika menilik fenomena yang terjadi pada perempuan dari awal usia peradaban umat manusai hingga kini, mereka kerap kali menjadi manusia kasta kedua, yang jika dituturkan oleh Simone de Beauvoir merupakan “the second sex”. Namun ironinya, hal tersebut kerap kali dijadikan sebagai sebuah hal yang lumrah, sehingga tindakan-tindakan ataupun gerakan-gerakan yang ingin memperjuangkan hak-hak perempuan bagi sebagian orang dianggap sebagai usaha yang berlebihan, kurang kerjaan, hingga pada titik terendah, yakni tidak penting dan tidak perlu dilakukan.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, jika ingin berpikir lebih mendalam maka kita dapat menemukan bahwasanya usaha ataupun gerakan yang ingin memperjuangkan kesetaraan antara perempuan dengan laki-laki, yang saat ini kita kenal dengan sebutan feminisme bukanlah gerakan yang tidak penting dan tidak perlu dilakukan, karena gerakan tersebut bukanlah hal yang melanggar batas koridor keseimbangan hidup umat manusia, dengan mengakui hal tersebut unsur yin dan yang kehidupan tidaklah bakal bersinggungan. Gerakan tersebut hanyalah sebuah usaha yang ingin merelokasi hakekat dari perempuan, mengembalikan fungsinya ke tempat semula sebagaimana maksud dia diciptakan.
Perempuan. Kata tersebut selalu menjadi pertanyaan dan merupakan diskursus dunia saat ini. Kata perempuan selalu dibarengi dengan beragam kata lainnya, entah itu pendidikan, politik, hingga lingkungan yang mana semua hal tersebut berputar pada hak dan kewajiban yang dimiliki oleh perempuan tersebut. Meski kata “perempuan” dan “haknya” selalu berbarengan dalam sebuah diskusi, namun jika dibawa kepada kehidupan nyata, kedua hal tersebut bak dua hal yang berdiri tegak namun dipisahkan oleh tembok yang teramat besar, yang jika ingin kita analogikan dalam sebuah pertandingan sepakbola ialah bagaikan pemain cadangan yang tak berhak menyentuh bola. Sehingga atas keresahan tersebut lahirlah gerakan-gerakan feminisme dengan beragam corak pemikirannya.
ADVERTISEMENT
Akar dari gerakan feminisme dimulai di Yunani Kuno oleh Sappho (wafat 570 SM), yang kemudian dilanjutkan oleh beberapa tokoh lainnya. Gerakan feminisme sendiri digaungi dengan beberapa corak pemikiran yang dibalut dengan beberapa fase atau gelombang. Gelombang pertama dianggap dimulai dari tulisan seorang Mary Wollstonecraft, yakni The Vindication of the Rights of Woman (1792). Tulisan Wollstonecraft menyerukan agar terjadinya pengembangan sisi rasional pada perempuan dan menuntut agar anak perempuan dapat belajar di sekolah pemerintah dalam kesetaraan dengan anak laki-laki. Gelombang pertama (1848-1920) sendiri disebut suffrage period dengan “hak memilih” (right to vote) sebagai bentuk partisipasi dalam demokrasi. Gerakan itu dimulai dengan The Seneca Falls Convention yang dipimpin Elizabeth Cady Stanton pada 1848, di mana 300 perempuan dan laki-laki melakukan rally untuk ekualitas. Lalu feminisme gelombang kedua pun dimulai pada tahun 1960-an yang ditandai dengan terbitnya The Feminine Mystique (Freidan, 1963), diikuti dengan berdirinya National Organization for Woman (NOW, 1966) dan munculnya kelompok-kelompok conscious raising (CR) pada akhir tahun 1960-an (Thompson, 2010). Feminisme gelombang kedua dinilai sebagai feminisme yang paling kompak dalam paham dan pergerakan mereka (Thornham, 2006). Feminisme gelombang kedua sendiri datang dengan narasi yang cukup besar, yakni womens liberation, sesuatu yang dianggap sebagai gerakan kolektif yang revolusionis. Gelombang ini muncul sebagai reaksi atas ketidakpuasan perempuan terhadap berbagai diskriminasi yang mereka alami meskipun emansipasi secara hukum dan politis telah dicapai oleh feminisme gelombang pertama. Kemudian setelah mengalami berbagai kritik terhadap universalisme dalam feminisme gelombang kedua, hal tersebut mendorong terjadinya pendefinisian kembali berbagai konsep dalam feminisme pada akhir tahun 1980-an. Hingga akhirnya Feminisme gelombang ketiga ini disebut juga dengan istilah postfeminisme. Akan tetapi, banyak pula tokoh feminis mengklaim bahwa postfemenisme berbeda dengan feminisme gelombang ketiga karena postfeminisme merupakan gerakan yang menolak gagasan-gagasan feminisme tahun 1960-an.
ADVERTISEMENT
Hingga bertahun-tahun kemudian sejak pertama kalinya gerakan feminisme digalakkan, beragam hal pun disematkan kepadanya, salah satunya sering dikatakan ialah feminisme selalu tentang ekonomi. Namun, bagaimana mungkin? Apakah hal tersebut benar? Jawabannya sederhana. Saat seorang feminis menginginkan sebuah ruangan untuk dirinya sendiri, maka ia akan membutuhkan uang bukan? Toh, sejatinya manusia merupakan homo economicus, hal tadi sama dengan sematan orang-orang kepada pemain yang duduk dibangku cadangan yang tak urung berkontribusi, pemain pemakan gaji buta.
Melanjutkan prolog bahwanya feminisme selalu tentang ekonomi, para perempuan selalu diidentikkan dengan uang, , segala hal yang dilakukannya hampir berorientasi pada hal yang bersifat laba. Bagi saya, hal tersebut bisa terjadi karena banyak hal yang mana menurut saya bukan dikarenakan sifat bawaan ataupun hal yang lahiriah dia miliki, asbabun nuzulnya ialah karena pola kehidupan yang membentuk hal tersebut, baik itu itu adat maupun budaya. Tindakan penuntutan waris, penuntutan hak kepemilikan, penuntutan hak untuk berbisnis, penuntutan hak untuk bekerja, penuntutan hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang serupa, semuanya bermuara kepada kebebasan untuk menentukan pilihan atas hidup sendiri, mendukung diri mereka sendiri sehingga nantinya mereka tidak perlu melakukan sesuatu karena uang, yang pada banyak kasus menikah atas dasar uang, sebaliknya menikah demi cinta.
ADVERTISEMENT
Tanpa perlu menilik secara mendalam, kita bisa melihat bahwasanya setiap kerja perawatan (care work) yang dilakukan perempuan terhadap keluarganya tidak pernah dilihat dan dihitung sebagai aktivitas yang produktif dalam skala ekonomi standar. Padahal Kerja perawatan yang dilakukan oleh para perempuan jika dikalkulasikan baik secara bentuk maupun manfaat kerjanya bisa saja lebih berat dan banyak bagi beberapa profesi yang ditekuni para lelaki. Efek kinerja dari perempuan tidak hanya menjadi penyeimbang bagi kehidupan laki-laki melalui kepedulian dan empatinya tetapi juga menjadi pendukung dalam menciptakan keseimbangan di masyarakat.
Namun, pekerjaan perempuan selaku ibu rumah tangga(baca: pekerja rumah) selalu tidak dianggap dalam perhitung-hitungan ekonomi. Simone De Beauvoir, penulis cum aktivis potik yang juga dikenal dekat dengan sastrawan Jean-Paul Sarte itu mendefinisikan perempuan sebagai “the second sex”. Laki-laki selalu menjadi yang utama, laki-laki yang mendefinisikan dunia sedangkan perempuan menjadi “the other”, singkatnya bahasa yang kita gunakan ialah bahasa yang mengkerdilkan perempuan atau bahasa “laki-laki”, contoh nya saja, toh selalu ada sebutan bagi perempuan yang hamil di luar nikah, namun tak pernah ada sebutan bagi laki-laki yang kabur karena menolak bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Balik kepada kinerja ekonomi perempuan yang banyak berkutat pada hal rumahan, fungsi ekonominya ialah kerja perawatan, yang mana melalui kepedulian dan empatinya, dapat memberikan arti bagi perjuangan laki-laki di dunia kerja, dengan kinerja yang lebih optimal dan hasil yang lebih dihitung, persis sepeti pemain cadangan dalam tim sepak bola yang tak urung dimainkan, diperas hanya untuk membantu kinerja pemain dalam hal latih tanding sehingga dapat memberikan kinerja yang maksimal pada hari pertandingan resmi.
Apakah laki-laki terlahir dengan kekuatan yang luar biasa? Apakah perempuan adalah makhluk yang lemah? Apakah laki-laki dapat menjadi perempuan ataupun sebaliknya? Selalu ada pertanyaan yang lahir dari mulut manusia dan beragam pertanyaan-pertanyaan lainnya yang begitu membingungkannya, namun selayaknya pertanyaan dia cuma bisa menciptakan dua hal yakni rasa puas akan jawaban yang telah diberikan ataupun rasa penasaran akan pertanyaan yang tak tertuntaskan. Namun satu hal yang pasti yang dapat kita yakini bahwasanya peristiwa yang menjadikan perempuan seperti ini ialah: arogansi laki-laki- yang ingin menjadikannya raja diatas perempuan-perempuan lainnya, hal ini jauh diatas sindrom Queen Bee.
ADVERTISEMENT
Oleh karena perempuan selalu digambarkan lemah, irasional, serta selalu menggunakan perasaan, hal itu berakibat dia dianggap tidak dapat memimpin karena tidak dapat memproduksi keadilan. Meski sejatinya keadilan itu merupakan produk yang lahir dari rahim perempuan, mengapa demikian, karena tatkala perempuan mengalami fase mengandung dari awal hingga akhir, maka dia mesti membagi stok makanan yang dia konsumsi kepada si bayi, yang bertujuan agar si bayi tidak mati. Secara lahiriah para perempuan seperti itu, mereka difasilitasi oleh alam. Maka, dengan kata lain sejatinya keadilan dan perempuan merupakan dua kata yang tak boleh dipisahkan. Dalam hal ini dunia yang notabene-nya diatur oleh laki-laki kembali salah dalam mempersepsikan perempuan.
ADVERTISEMENT