Konten dari Pengguna

Rakyat dan Stockholm Syndrome-nya kepada Penguasa

Isyraf Madjid
Ini saya, seseorang yang sampai saat ini sulit mendefinisikan diri sendiri. Satu-satunya hal yang saya pahami ialah saya merupakan Mahasiswa Fakultas Teknologi Industri di UII, dan kader aktif pada organisasi pergerakan mahasiswa, yakni HMI.
19 Juli 2021 14:41 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Isyraf Madjid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source: https://pixabay.com/illustrations/police-crime-criminal-kidnap-2091761/
zoom-in-whitePerbesar
Source: https://pixabay.com/illustrations/police-crime-criminal-kidnap-2091761/
ADVERTISEMENT
Tepat hari ini sebuah notif Whatsapp membangunkanku dari tidur malam di hari yang cukup melelahkan, dengan sedikit tenaga yang tersisa, segera kusisihkan untuk melihat notif yang menyita atensiku tersebut. “Sudah 11 Hari, Stok Tabung Oksigen di Pasar Pramuka Masih Kosong”, “BPK: Total anggaran penanganan Covid-19 mencapai Rp 1.035,2 triliun”,”Info tabung Oksigen segera”,“Pasien Meninggal Akibat Diberi Tabung Oksigen Kosong”, segala jenis tulisan tersebut ramai bermunculan di layar gawai yang kupegang saat ini, ada yang berasal dari Whatsapp, Twitter, hingga portal berita online. Memilukan. Satu kata tersebutlah yang terbesit dipikiranku tatkala melihat informasi-informasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Cukup mengherankan sejatinya bagaimana pandemi Covid-19 telah menghampiri negeri ini lebih dari setahun, dampak yang diberikan? Kasus positif Covid-19 bertambah tak henti-hentinya dari hari ke hari, per tanggal 12 Juli ini saja, dilansir kompas.com bahwasanya terdapat penambahan kasus sebanyak 40.427 menjadi 2.567.630 kasus. Pasien meninggal bertambah 891 menjadi 67.355 orang. Jika dikalkulasikan terdapat 5176 orang yang telah terjangkit, 136 orang telah meninggal setiap harinya terhitung dari tanggal diumumkannya Covid-19 ini menghampiri Indonesia oleh bapak presiden kita.
Mencengangkan tentunya bagaimana kematian telah berubah menjadi angka statistik, seakan nyawa telah menjadi kumpulan angka fibonacci yang berharga jikalau telah terdiri dengan banyaknya susunan angka.
Padahal nyawa tetaplah nyawa, yang sangat berharga baik satu ataupun sepuluh, karena di sana tersemat harapan dan kehidupan oleh manusia-manusia lainnya. Tentunya beragam pertanyaan bermunculan, apakah yang telah kita lakukan setahun lebih ini? Di mana peran negara dalam hal ini? Hingga pertanyaan mengapa tak ada sikap yang kita berikan terkait kezaliman ini?
ADVERTISEMENT
Di tahun 70-an, di salah satu kota eropa utara, yakni Stockholm, terjadi sebuah peristiwa perampokan pada bank Sveriges Kreditbanken yang melibatkan 1 narapidana dan 4 pegawai bank selama 6 hari. Uniknya para pegawai bank yang disekap waktu itu merasa nyaman dan senang kepada pelaku perampokan lebih dari pihak kepolisian hingga berujung pada lahirnya kontak batin yang kuat antara dua pihak tersebut. Dari peristiwa tersebut kemudian lahirlah sebuah syndrome yang marak kita kenal saat ini, sesuatu yang diperkenalkan oleh seorang psikiatri dan krimonolog, yakni Nils Bejerot.
Stockholm syndrome atau sindrom Stockholm sendiri ialah gangguan psikologis pada korban penyanderaan yang mengakibatkan korban merasa kasihan atau bahkan muncul rasa kasih sayang terhadap pelaku. Dalam artikulasi lain stockholm syndrome dianggap dengan capture bonding yang di mana korban penculikan menghabiskan seluruh waktunya dengan sang penculik sehingga mengakibatkan dia merasa asing dengan keberadaan dunia luar.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa kisah yang dituturkan ke dalam cerpen maupun film yang kita konsumsi, sering kali kita menemukan tentang kisah romansa antara si penculik dengan korbannya, atau korban penculikan yang tiba-tiba merasa simpati lalu jatuh cinta dengan orang yang menjahatinya.
Jika kita lihat dengan lanskap yang lebih luas, negeri kita saat ini dapat kita anggap mengalami hal yang sama, bedanya hanya terletak pada subjek yang melakukan dan objek yang dikenai tindakan. Ruhnya sama: perampokan yang berujung pada terciptanya rasa aman dan nyaman. Ajaib bukan.
Jika kita menilik lebih jauh apa yang terjadi di republik ini, beragam peristiwa yang terjadi, Covid-19 yang tak kunjung usai, hingga banyaknya nya kebijakan-kebijakan yang menentang status quo rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi di republik, mulai dari disahkannya pemotongan upah, penghapusan tunjangan hari raya, lonjakan tenaga kerja asing, belum lagi disahkannya UU ITE, RUU Minerba, hingga puncaknya ialah pengesahan Omnibus Law.
ADVERTISEMENT
Segala peristiwa tersebut menampilkan bagaimana rakyat yang notaben-nya merupakan pusat dari segala kebijakan itu ditetapkan, malah harus merasakan nestapa, bagaimana dua pasang matanya dipaksa menyaksikan kebijakan-kebijakannya jauh dari apa yang diinginkan. Ironi Pastinya. Jika diakumulasikan semuanya mengarah kepada praktik menyebarkan teror ataupun ketakutan, yang berpikiran berbeda disingkirkan, yang kerap bersuara diasingkan, hingga yang berlaku resisten terhadap penguasa pun dibungkam.
Apabila harus disimpulkan dengan satu kata, maka kata: perampokan menjadi kata yang paling tepat mengingat tindakan yang telah dilakukan oleh para perwakilan kita sebagai wakil rakyat tersebut. Mereka tak ubahnya penculik dan kita merupakan sandera yang dimanfaatkan, dan diperdaya dengan teror ataupun ketakutan. Sementara Indonesia? Negeri ini telah menjadi bank layaknya Sveriges Kreditbanken pada kisah Stockholm Syndrome tersebut yang dikerok maupun digali kekayaannya demi mendanai kepentingan mereka.
ADVERTISEMENT
Kepentingan bertemu kepentingan, keinginan bersua kebutuhan. Hasrat diutamakan. Praktik inilah yang banyak terlihat pada kontestasi politik kita saat ini. Uang tunai telah menjadi nomor satu dalam hal penentuan kebijakan, rakyat?nomor sekian tentunya, masih ada kepentingan parpol, hingga keluarga yang diperjuangkan. Penyebabnya?Minim etika yang menjadi efek domino dari minimnya akal yang terletak di parlemen.
Praktik divide et impera atau memecah belah pihak banyak diperagakan saat ini oleh para penguasa kita. Pada kontestasi pemilu kemarin kita dikotakkan menjadi kelompok cebong dan kampret, rakyat sesama rakyat dibenturkan, disubsidi oleh penguasa dengan memberikan gaji kepada buzzer, teranyar bagaimana partai politik disusupi dengan mengerahkan kepala staf kepresidenannya untuk memborbardir parpol yang mengusik kelanggengan kekuasaannya. Hal tersebut dilakukan guna mendukung statistik pemilu hingga berujung pada melanggengkan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Di sudut belahan negara yang lain kita telah melihat bagaimana aktivitas telah mampu dijalankan dengan sedikit normal, protokol kesehatan diterapkan, bahkan terdapat negara yang telah membiarkan rakyat berlalu-lalang tanpa adanya masker. Kehidupan jadi sangat normal. Di eropa, negara-negara layaknya Hungaria, Inggris, dan Rusia telah menampilkan bagaimana pertandingan bola telah dilangsungkan dengan kehadiran penonton, sementara itu, di bagian negara Amerika Selatan pun telah dirayakan juga pertandingan sepak bola meski dengan beberapa penonton.
Indonesia? kompetisinya bahkan ditunda, makin unik karena ditunda sampai batas waktu yang entah kapan. Miniatur perbandingan bagaimana pertandingan sepak bola dijalankan itu setidaknya telah memberikan gambaran bagaimana salah, buruk dan tidak indahnya penanganan virus yang diterapkan oleh pemerintah kita, jauh skalanya jika dibandingkan negara lain.
ADVERTISEMENT
Oleh karena republik tetap harus berdiri, negara mesti berperan untuk mendistribusikan keadilan, maka kita semua segera harus sadar, bahwa telah terjadi perampokan atas segala hal yang menjadi hak kita sebagai warga negara. Sudah waktunya kita lepas dari belenggu pihak yang menyandera “sesuatu yang menjadi milik kita”.
Di hari kedua puluh satu pada bulan awal di tahun 1793 yang awalnya tampak biasa-biasa saja. Pria tersebut tetap lelap dalam tidurnya. Namun beberapa jam kemudian, hari nya diwarnai dengan kawalan 1.200 tentara, serta kereta kuda yang membawanya ke Place de la Revolution. Dia, Louis XVI adalah Raja Prancis dari Dinasti Bourbon, yang beberapa tahun lalu sangat dicintai namun dikarenakan ketidakcakapannya dalam memerintah membuat Prancis terpuruk-rakyat luntang-lantung, panen gagal, harga roti dan pangan selangit. Hal itu yang membuat perasaan cinta tersebut berubah sedemikian cepat menjadi perasaan benci yang mendalam. Kata pengkhianat pun terlontar kepadanya tak henti-henti.
ADVERTISEMENT
Tabiat ‘ingin mengumpulkan segalanya’ oleh keluarga kerajaan cukup membuat rakyat geram. Perasaan dirampok oleh pihak kerajaan membuat rakyat Perancis saat itu menjadi murka. Penyebabnya? tak tanggung-tanggung ketika Perancis dilanda inflasi yang terus meningkat, keluarga kerajaan malah hidup nyaman dan makan kenyang, sedangkan rakyat bertahan hidup dengan penyakitan. Puncak dari kebencian terhadap Raja Louis XVI tersebut ialah bagaimana tubuh dan kepalanya ditampilkan terpisah dengan sebuah guillotine dihadapan kerumunan rakyat Perancis yang bergemuruh, bersorak sorai seraya meneriakkan “Vive la nation! Vive la republique!” ataupun “Hidup bangsa! Hidup republik!”.
Hingga hari ini peristiwa tersebut banyak dianggap sebagai momen bersejarah terhadap Perancis dengan moto 'liberté, égalité, fraternité' dan menjadi titik balik perubahan bentuk negara monarki menjadi republik.
ADVERTISEMENT
Terakhir, selepas menilik kisah tersebut, tersemat ibra dan pertanyaan, apakah amuk harus menjadi senjata? Silakan dijawab sendiri. Bagi penulis setidaknya kita perlu melakukan segala ikhtiar demi lepas dari jebakan Stockholm Syndrome ini.