Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Timnas Syndrome dan Kecintaan yang Tidak Akan Luntur
16 Februari 2022 16:17 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Isyraf Madjid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
84 tahun yang lalu, 1938 tepatnya, sebuah negara dari semenanjung asia melukiskan sejarah, dengan menjadi satu-satunya negara yang berasal dari benua Asia untuk tampil di panggung Piala Dunia. Tentunya hal itu menjadi raihan sejarah yang baik, belum lagi di tengah masa penjajahan tersebut, sepakbola menjadi sesuatu yang mencipta secercah kebahagiaan di tengah hiruk-pikuknya kehidupan bermasyarakat saat itu. Namun kini apa yang terjadi sungguh menggetarkan hati, sepakbola yang notabene-nya olahraga yang diidolakan hampir seluruh dari masyarakat Indonesia menjadi seakan bunyi-bunyian yang tanpa partitur musik, yang justru mengarah kepada ketidakselarasan dan minim keindahan. Alhasil selalu hadir distopia tatkala timnas akan bermain. Selalu hadir bayangan yang menakutkan akan seperti apa nasib timnas di turnamen tersebut.
ADVERTISEMENT
Teranyar bagaimana kurang lebih 11 tahun lalu, pada gelaran Piala AFF 2010, kita diberikan sebuah penyaksian yang indah di awal kisah, yang tentunya tetap menampilkan kesan kelam yang seakan tak pernah pudar di akhir kisah. Khas Indonesia tentunya. Uniknya pada gelaran tersebut, kita dipenuhi rasa yang campur aduk, mengingat masih terdapat beberapa orang yang gagap menyanyikan Indonesia Raya namun turut andil dalam membela merah putih di lapangan. Perasaan itu pun menjadi tumpah ruah tatkala suatu ketika mereka dengan sangat gembira mencium lambang garuda selepas merayakan kemenangan. Impas rasanya dan tak perlu diragukan lagi kecintaan mereka akan Tanah Air ini.
Adapun kisah penulis dan AFF 2010 berada di penghujung tahun sekolah dasar yang dialami, disaat teman-teman lain disibukkan oleh kegiatan belajar malam, penulis malah memberanikan diri untuk menyalakan TV dan turut memaksakan diri untuk mengikuti euforia yang dirasakan oleh para suporter timnas saat itu. Muara haru ialah tatkala Christian Gonzalez menyarangkan si kulit bundar dari jarak yang cukup jauh, dari luar kotak penalti, 30 m tepatnya dari posisi Neil Etheridge-penjaga gawang Filipina, selepas melakukan u-turn layaknya peraga busana di akhir catwalk-nya yang sangat indah. Momen magis itu terkenang dan menjadi fantasi yang seakan tak lekang oleh zaman.
ADVERTISEMENT
Namun, jangan lupa kalau negeri ini memang tak pernah berhenti membuat kita patah hati, dan seakan didesain untuk selalu seperti itu, di saat tingginya animo masyarakat mendukung timnas sepak bolanya menorehkan sejarah, tercipta secuil kisah di mana terdapat segelintir orang yang katanya "menjual" keberlangsungan pertandingan ini, sehingga hasilnya dapat kita ketahui, timnas kalah lagi, dan turnamen tersebut pun berujung anti klimaks, layaknya kisah-kisah dahulu.
Sejatinya selalu ada janji yang tersemat setiap turnamen 2 tahunan itu digelar, sebuah ikrar untuk tidak usah menaruh atensi berlebih, anggapan bahwasanya timnas bakal seperti itu saja dan tidak akan melakukan banyak hal-hal gemilang. Nahasnya, cinta memang tak mengenal dimensi itu, setiap kali timnas main entah dalam gelaran apa pun, tiap waktu itulah selalu muncul hasrat berlebih untuk mengikuti apa pun perkembangannya terlebih selalu tercipta harapan untuk melihat bendera Negara Indonesia ditempatkan lebih tinggi dibanding bendera negara lainnya.
ADVERTISEMENT
Berkisah sedikit di luar sepak bola, dalam panggung olahraga lain, dikenal sebuah kutukan yang amat terkenal, kutukan yang kelak bertahan hingga bertahun-tahun lamanya. Sebagaimana kutukan tentu dia sifatnya tidak scientific, sehingga tidak bisa dikemukakan dengan ilmiah. Alhasil beberapa orang meyakini dan beberapa orang lain tentunya tidak. Namun, setidaknya hal ini patut dikisahkan sehingga kita bisa melihat apakah timnas kita berada pada belenggu yang sama ataupun tidak.
The Curse of Bambino namanya, di mana pada tahun 1903 dikenal sebuah tim yang memenangkan kejuaraan series dunia pertama, dan 5 gelar lainnya dalam olahraga bisbol. Namun nahasnya, setelah melakukan sebuah langkah penjualan kepada salah satu pemain hebatnya ke tim lawan, New York Yankees, kemujuran seakan tak pernah hadir kembali pada klub itu, gelar juara pun menjadi sesuatu yang tak akrab lagi. Kita kelak mengenal kutukan tersebut dengan sebutan "Curse of The Bambino", sebuah kutukan yang melekat pada tim Boston Red Sox. Kutukan yang konon katanya lahir karena menjual Babe Ruth-pemain andal di tim tersebut. Kutukan yang kelak bertahan hingga 86 tahun, berawal dari tahun 1918 hingga 2004.
ADVERTISEMENT
Hal tersadis dari kutukan tersebut ialah bukan sekadar tak menjuarai turnamen, akan tetapi kekalahan yang selalu diterima dengan cara yang paling menyiksa. Puncaknya ialah dengan tidak banyak berbuat di setiap musim yang digelar, tercatat Red Sox mencapai partai pamungkas dari World Series hanya empat kali dalam beberapa dekade setelah kepergian Ruth. Dan Empat kali pun mereka kalah. Hingga akhirnya, kutukan tersebut berakhir di tahun 2004, kala Red Sox bersuai kembali dengan Yankees di gelaran American League Championship Series, di mana mereka berhasil menang setelah dengan ajaib membalikkan skor selepas tertinggal 0-3.
Timbul sebuah pertanyaan, apakah Timnas Indonesia pun mengalami sebuah kutukan yang sama, selepas sebelumnya menjadi terunggul di Asia, dengan menjadi negara Asia pertama yang berlaga di Piala Dunia. Jika memang itu kutukan, lantas kutukan apakah yang dialami sejak 1938 tersebut, kezaliman apa yang telah dilakukan? atau ternyata kezaliman tersebut baru dilakukan di tahun 2010, sejak salah satu petinggi negara kita melakukan kegiatan ‘jual-menjual’, layaknya kisah Boston Red Sox?
ADVERTISEMENT
Jawabannya tak ada yang benar-benar tahu. Satu hal yang setidaknya penulis tahu ialah bahwa tetap ada keyakinan di segenap bangsa ini akan penampilan yang menawan dari diri timnas kita, yang tentunya akan berujung pada kemujuran. Terlebih melihat beberapa bulan lalu, terdapat segelintir anak muda, yang meski dibebankan dengan banyak keraguan, tetap mampu tampil dengan penuh percaya diri hingga dapat berdiri gagah pada pesta final termegah perayaan sepak bola di Asia Tenggara.
Harapan dan kecintaan itu masih ada, dan memang Timnas Syndrome sangat sulit dihilangkan, apa pun obat maupun batasan kondisinya.
ADVERTISEMENT