Antargolongan di UU ITE

ITMAAMUL WAFAA SAMUDRA
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
5 Maret 2021 12:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ITMAAMUL WAFAA SAMUDRA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi UU ITE Foto: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi UU ITE Foto: Maulana Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
UU ITE selalu menjadi perbincangan dan perdebatan kaum intelektual dan masyarakat pada umumnya, karena UU ITE memiliki dampak yang serius di tengah globalisasi perubahan teknologi dan Informasi berevolusi yang cepat, sehingga mampu mempengaruhi perilaku masyarakat dalam merespons sebuah isu yang terjadi, kemajuan teknologi memberikan pengaruh positif dan negatif saat merespons informasi, ibarat pedang bermata dua. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di satu pihak memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan peradaban manusia, di lain pihak kemajuan teknologi dapat dimanfaatkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan hukum, seperti penipuan, penghinaan, pencemaran nama baik demi kepentingan pribadi maupun kelompok.
ADVERTISEMENT
UU ITE menjangkau selalu memonitor perilaku sosial masyarakat yang berada di dunia maya atau cyber, kemajuan teknologi informasi bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dengan munculnya media sosial, seperti Instagram, Youtube, What’s up, Twitter, dan lain sebagainya, menjadi sarana yang sangat mudah dalam menjalankan komunikasi saat ini, namun bahayanya ketika media sosial dijadikan sebagai alat untuk menebarkan kebencian yang berujung pada kerusakan moralitas bangsa, hal ini tentu tidak diinginkan oleh negara. Indonesian digital report data yang ada menyebutkan total populasi masyarakat Indonesia 272,1 juta jiwa, yang mana pengguna media sosial aktif sebanyak 160 Juta. Melihat data tersebut bisa dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia melek dunia digital, yang mana bisa mendapatkan informasi dengan sangat cepat melalui media sosial.
ADVERTISEMENT
Pemanfaatan media sosial oleh masyarakat juga menjadi sarana untuk berdemokrasi dengan mengungkapkan ide dan gagasan dengan mempost secara langsung
Ujaran kebencian atau hate speech merupakan tindakan menyebarkan rasa kebencian dan permusuhan yang bersifat SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Dalam arti hukum ujaran kebencian adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Website yang menggunakan atau menerapkan ujaran kebencian (Hate Speech) ini disebut (Hate Site). Kebanyakan dari situs ini menggunakan Forum Internet dan Berita untuk mempertegas suatu sudut pandang tertentu (Sutan Remy Syaheidini: 2009: 38).
Mengutip Sahrul Mauldi bahwa ujaran kebencian (Hate Speech) yang berbau SARA, memiliki dampak yang berbahaya bila dilakukan melalui media sosial karena jangkauannya yang luas dan penyebaran yang cepat. Ujaran kebencian sangat berbahaya pada titik yang paling parah dapat menimbulkan genosida. Sementara pada titik terendah dapat menimbulkan konflik horizontal dalam skala yang mungkin kecil. Berdasarkan laporan polda metrojaya tengah menyelidiki 480 kasus ujaran kebencian selama pandemi.
ADVERTISEMENT
Dasar peraturan yang menjadi landasan melarang melakukan ujaran kebencian tertuang dalam Deklarasi HAM PBB 1948, Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (Convention On the Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination / CERD); dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (international Covenant on Civil and Political Rights /ICCPR), Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No. 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Surat Edaran Mabes Polri No:SE/6/X/2015 tentang penanganan ujaran kebencian.
Fenomena kasus yang terjadi di Indonesia sering kali para pelaku dijerat dengan UU ITE pasal 28 Junto Pasal 45 UU ITE, bunyi pasal tersebut bahawa “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dana tau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dana atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
ADVERTISEMENT
Dalam kenyataan sosial masih menjadi perdebatan antara kebebasan berpendapat dan ujaran kebencian, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin berpendapat bahwa Ujaran kebencian adalah bagaimana seseorang atau kelompok menyerang personal atau agama suatu kelompok dan dapat mengancam demokrasi dan HAM, sedangkan kebebasan berpendapat dapat dilihat dari apakah ucapan tersebut mengandung unsur mengancam seseorang atau golongan tertentu, dan apakah ucapan tersebut juga mengandung unsur kekerasan.
Contoh kasus Jerinx Majelis hakim telah menjatuhkan vonis terhadap I Gede Ari Astina alias Jerinx SID dalam kasus ujaran kebencian. Jerinx divonis 1 tahun 2 bulan penjara. jerinx di jerat pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 A ayat (2) UU ITE No 19 Tahun 2016 Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
ADVERTISEMENT
Menurut Indonesia Criminal Justice Reform pernyataan Jerinx pada dasarnya ditujukan kepada IDI sebagai organisasi yang mempunyai kepentingan terhadap publik. Dengan demikian, organisasi tersebut seharusnya dapat dipisahkan dengan perasaan personal dokter yang merasa tersinggung atas pernyataan Jerinx.
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan No 76/PUU-XV/2017 yang memperluas makna antar golongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Dalam putusan tersebut MK menyatakan ”melalui putusan Mahkamah ini dipertegas bahwa istilah “antargolongan” tidak hanya meliputi suku, agama, dan ras, melainkan meliputi lebih dari itu yaitu semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi oleh istilah suku, agama, dan ras.”
Dalam hukum pidana dikenal prinsip “lex certa, lex stricta, dan lex scripta” yang merupakan bagian dari asas legalitas yang mana perundang-undangan pidana meghendaki terpenuhinya prisnsip lex scripta : must be written; Certainty of law; formal/legal certainty, kemudian lex certa : must be clear and unambiguous dan lex stricta : must be narrowly interpreted, demi terciptanya kepastian hukum. Berdasarkan prinsip ini, maka perumusan hukum pidana harus pasti dan ketat dan karenanya tidak boleh ditafsirkan secara meluas. Penafsiran yang terlampau meluas bisa berdampak pada kemungkinan penggunaan ketentuan pidana yang di luar batas–batas kewajaran yang dapat diterima.
ADVERTISEMENT
Tiara Kumalasari menerangkan contoh tafsir meluas yaitu orang yang hendak mengeluarkan pendapatnya berupa kritikan kepada pelayan publik melalui media elektronik, tidak menutup kemungkinan dapat dianggap sebagai ancaman dan dapat dilaporkan menggunakan pasal tersebut, sedangkan contoh tafsir menyempit yaitu konsep “antargolongan” dapat saja diartikan sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 163 IS, yaitu pembagian golongan penduduk menjadi golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan Bumiputera. Berbeda halnya dengan suku, agama, dan ras yang memang sudah jelas maknanya.
Berdasarkan pemaparan di atas perdebatan ujaran kebencian dan kritik yang ditujukan kepada pelayan publik menjadi delimatis dan perlu ditelaah lebih lanjut karena konsep antargolongan termasuk di dalamnya adalah pelayan publik
Analisis Ujaran Kebencian
Mengutip Anam, M. C., & Hafiz, M. melalui Penjelasannya dalam jurnal keamanan Nasional bahwa Kata “hate speech” atau dalam bahasa Indonesia sering disebut “ujaran kebencian” adalah istilah yang berkaitan erat dengan minoritas dan masyarakat asli, yang menimpa suatu komunitas tertentu dan dapat menyebabkan mereka sangat menderita, sementara (orang) yang lain tidak peduli. Ia dapat memunculkan penderitaan psikis maupun fisik, yang dalam praktiknya banyak menimpa kelompok minoritas dan masyarakat asli. Beberapa contoh terakhir menunjukkan bahwa ujaran kebencian telah menimbulkan kekerasan terhadap kelompok tertentu, seperti pada Kristen Koptik di Mesir, Muslim di Myanmar dan para imigran di Yunani, serta peristiwa genosida di Rwanda yang hingga kini terus diperingati sebagai salah satu kejahatan kemanusiaan terpenting dalam sejarah dunia modern.
ADVERTISEMENT
Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI mengutip dari David O. Brink bahwa ada pernyataan atau ujaran yang bersifat diskriminatif namun tidak termasuk dalam kategori ujaran kebencian, Menurut Brink, hate speech lebih buruk dari sekadar pernyataan yang diskriminatif. Ia menggunakan simbol tradisional untuk melecehkan seseorang karena keterikatannya pada kelompok tertentu dan sebagai ekspresi dari penghinaan kepada targetnya agar menimbulkan efek kesengsaraan secara psikologis, selanjutnya menurut Margaret Brown – Sica dan Jeffrey Beall menyebutkan bahwa hate speech atau ujaran kebencian berwujud dalam banyak tindakan seperti menghina, menyakiti atau merendahkan kelompok minoritas tertentu dengam berbagai macam sebab, baik berdasarkan ras, gender, etnis, kecacatan, kebangsaan, agama, orientasi seksual atau karakteristik lain. Sedangkan Kent Greenawalt, hate speech merupakan penghinaan dan julukkan personal yang sangat kasar yang ditujukan kepada ras, etnis, agama, gender atau preferensi seksual yang dapat menimbulkan masalah tertentu. Bisa disimpulkan bahwa ujaran kebencian adalah ujaran yang bersifat diskriminatif dengan menggunakan simbol tradisional untuk melecehkan seseorang bedasarkan ras, agama, gender, etnis, kecacatan bangsa, orientasi seksual yang menimbulkan efek kesengsaraan secara psikologis.
ADVERTISEMENT
Di dalam Convention On the Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination disebutkan “In compliance with the fundamental obligations laid down in article 2 of this Convention, States Parties undertake to prohibit and to eliminate racial discrimination in all its forms and to guarantee the right of everyone, without distinction as to race, colour, or national or ethnic origin, to equality before the law” kemudian dalam UU No. 40 Tahun 2008 Pasal 4 Huruf (b) tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis menyebutkan bahwa “menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan: membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain, berpidato mengungkapkan atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain, mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar, di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain, melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau merampas kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis”.
ADVERTISEMENT
Melihat konvensi dan UU diatas bisa terlihat bahwa titik tolak dalam melakukan ujaran kebencian berdasarkan suku, rasa, agama merupakan perbuatan yang sangat membahayakan dan menciderai hak asasi manusia dan amat berbahaya karena bisa menimbulkan gejolak secara horizontal.
Antargolongan di UU ITE
Perihal ujaran kebencian melalui media elektronik di Indonesia secara lex specialis di atur dalam UU ITE, sampai saat ini menimbulkan perdebatan dan ketidakpastian hukum sehingga menimbulkan tafsir yang berbeda karena di dalam undang-undang ITE terdapat Frasa “antargolongan”. Salah satu contoh yang terjadi pada kasus jerinx yang mana jerinx dituntut dengan menggunakan pasal 28 jo pasal 45 UU ITE yang mana di dalam putusannya oleh hakim dianggap secara meyakinkan melakukan ujaran kebencian kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI), sehingga IDI yang mana statusnya bukanlah Suku, Agama dan Ras maka dimasukkan dalam rumusan delik UU ITE dengan kategori “antargolongan”. Bunyi pasal 28 jo pasal 45 UU ITE “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dana atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan rumusan delik yang ada di dalam pasal tersebut cukup jelas bila sampai pada ujaran kebencian berdasarkan suku, agama dan ras karena sesuai dengan prinsip HAM dan, konvensi anti diskriminasi ras dan etnis, serta secara tegas pula tertuang di UU No. 40 tahun 2008 sebagai wujud komitmen Indonesia menentang diskriminasi berdasarkan ras dan etnis, namun di UU ITE ada frasa terakhir menyebutkan “antargolongan” yang tidak masuk dalam terminologi secara khusus baik di dalam konvensi maupun undang-undang, sehingga menimbulkan diskursus dan ketidak ada pastian hukum. Dibeberapa putusan MK juga timbul Paradoks. Tafsir frasa "golongan" Putusan MK Nomor 140/PUU-VIII/2009, Putusan MK Nomor 76/PUU-XV/2017, dan Putusan MK Nomor 76/PUU-XVI/2018 tidak memberikan definisi yang jelas dan logis atas frasa "golongan" pada beberapa aturan pidana ujaran kebencian.
ADVERTISEMENT
Kemudian berdasarkan Surat Edaran Mabes Polri No:SE/6/X/2015 tentang penanganan ujaran kebencian nomor 2 huruf g mengklasifikasi kelompok masyarakat untuk mempertegas berdasarkan apa ujaran kebencian tersebut dilontarkan, di situ tertera 11 klasifikasi kelompok di antaranya, suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel (cacat), orientasi seksual. Namun, SK tersebut kembali lagi tidak menjelaskan secara jelas yang dimaksud “antargolongan”. Padahal SK tersebut sudah jelas merujuk Pasal 157 Ayat (1) KUHP yang memperlihatkan golongan-golongan rakyat di Indonesia, pasal tersebut mengatur, “Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat rupiah lima ratus rupiah”.
ADVERTISEMENT
Muhamad Rasyid Ridho menuturkan melalui tulisannya yakni secara historis, istilah "golongan" sebenarnya sudah dipakai dalam sistem hukum dan kedudukan ketatanegaraan Indonesia pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Hal ini dapat dirujuk pada ketentuan Pasal 163 Indische Staatsregeling, yang merupakan peraturan ketatanegaraan pada era kolonial. Pasal tersebut mengatur pembagian tiga golongan di hadapan hukum: golongan Eropa, pribumi, dan Timur Asing. Golongan Eropa mencakup warga Belanda, Eropa non-Belanda, Jepang, dan warga keturunan Eropa. Golongan pribumi mencakup orang Indonesia asli atau keturunannya yang melebur menjadi warga Indonesia asli. Adapun golongan Timur Asing mencakup orang Tionghoa dan non-Tionghoa, seperti India dan Arab.
Perlu diketahui bahwa dalam sebuah UU yang mengatur sanksi pidana harus jelas dan tegas dalam merumuskan delik serta tidak menimbulkan tafsir yang meluas sebagai wujud kepastian hukum di dalam asas legalitas. Menurut Jan Remmelink, lex certa artinya perumusan perbuatan pidana dalam undang-undang harus diuraikan unsur-unsurnya secara jelas dan rinci, lex stricta artinya harus didefinisikan secara jelas dan rigid tanpa samar-samar sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai suatu perbuatan pidana, sedangkan lex scripta artinya perumusan perbuatan pidana harus dituangkan secara tertulis dalam suatu perundang-undangan. (Agus Pohan, Topo Santoso, dan Martin Moerings, 2012:43-44)
ADVERTISEMENT
Interpretasi “antargolongan” di sistem peradilan Indonesia misalnya dalam kasus yang sudah disebutkan sebelumnya, perihal frasa “antargolongan” hakim memasukkan IDI masuk kategori yang dimaksudkan dalam pasal 28 jo pasal 45 UU ITE, celakanya lagi bahwa IDI ini kelompok profesi dokter yang bersifat publik bertugas melayani masyarakat, melihat dari historis zaman Hindia Belanda tentu IDI tidak masuk dalam kategori “antargolongan” yang dimaksud di dalam KUHP.
Beberapa perbandingan dalam menanggapi ujaran kebencian diberbagai negara seperti Amerika yang mana mereka akan membuat sebuah UU yang mengatur ujaran kebencian namun partai demokrat dan partai buruh cenderung menolak pembuatan UU tersebut karena orang kulit putih Amerika dapat diasumsikan masih rentan melakukan ujaran kebencian terhadap orang yang dipandang berbeda dari mereka baik dari sisi ras, agama, maupun jenis kelamin. Kemudian di India ujaran kebencian melahirkan permusuhan antara pemuda Islam dan yang menimbulkan kerusuhan berdarah selama 10 hari dan yang terakhir Penelitian terkait ujaran kebencian, baik yang difokuskan pada Duni Arab maupun lainnya dapat dilihat pada penelitian-penelitian berikut ini. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Elliot dalam sebuah laporan penelitian yang berjudul Hate Speech: Key Concepts Paper. Penelitian ini berupa analisis perbandingan terhadap kasus ujaran kebencian di empat negara: Mesir, Kenya, Serbia, dan Afrika Selatan. Penelitian ini menegaskan bahwa meskipun terdapat undang-undang yang mengatur tentang kebebasan berekspresi (freedom of speech), namun kebebasan itu sendiri dapat dibatasi apabila mengacu pada tindakan provokasi, diskriminasi, ataupun kekerasan. (Yoyo, Jurnal Bahasa dan Sastra, 2019: 120-139)
ADVERTISEMENT
Melihat konteks di atas bahwa ujaran kebencian “antargolongan” cakupan dan ruang lingkupnya sangat jelas sehingga bisa menjadi acuan dalam melakukan penafsiran atau interpretasi hukum Pasal 28 Jo pasal 45 UU ITE ujaran kebencian yang memuat frasa “antargolongan” sebaiknya membatasi diri pada hal Ras, Suku, Agama, Etinis gender, dan/atau kelompok minoritas yang memiliki definisi dan terminologi yang jelas.
Oleh karena itu, pembatasan penafsiran “antargolongan” di dalam UU a quo sangat penting untuk menghindari tafsir yang beragam dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dalam due process of law, sehingga memunculkan parameter yang konkret dalam menafsirkan ujaran kebencian sesuai dengan konvensi dan UU yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.
Kesimpulan
Penulis memberikan kesimpulan bahwa kemajuan teknologi dan Informasi saat ini berjalan sangat pesat, dalam perkembangannya hadirnya ITE memberikan dampak positif bagi kemajuan suatu bangsa, dan dampak negatif menimbulkan permasalahan hukum yang baru. Permasalahan hukum yang marak terjadi di masyarakat Indonesia baru-baru ini berkaitan dengan ujaran kebencian melalui media sosial yang mana mekanisme penyebarannya sangat mudah menjangkau masyarakat umum di belahan mana pun di mana di situ ada akses terhadap jaringan telekomunikasi maka akan mudah diterima. Namun dalam proses penanganan perkara ujaran kebencian berbasis elektronik pihak jaksa penutut umum mendakwa dengan pasal 28 jo pasal 45 UU ITE, yang mana di dalamnya termuat rumusan pidana ujaran kebencian berdasarkan ras, suku, agama dan antargolongan. Saat ujaran kebencian didasarkan pada suku, agama dan ras atau kelompok minoritas menjadi terang karena memiliki terminologi, definisi dan batasan yang konkret sesuai dengan konvensi maupun ratifikasi UU, sedangkan antargolongan yang masuk dalam rumusan pasal 28 jo pasal 45 tidak memberikan definisi yang konkret di dalam ketentuan umum UU ITE sehingga sangat berbahaya bila ditafsirkan secara meluas, karena akan bertentangan dengan asas legalitias yang memuat prinsip lex certa, lex scripata, lex stricta. Penulis pun menganggap MK gagal dalam memberikan kepastian hukum melalui putusan uji materi berkaitan dengan frasa “antargolongan”.
ADVERTISEMENT
Rekomendasi yang bisa diberikan penulis adalah pertama, dilakukan pendefinisian ulang apa yang dimaksud dengan “antargolongan” berdasarkan pada realitas sosial saat ini, sehingga terjadi kesamaan persepsi di kalangan ahli hukum. Kedua, sebelum ditemukan pendefinisian oleh para ahli hukum lebih baik dikembalikan kepada UU pokok yang tertera di dalam KUHP secara historis-sosiologis menerangkan bahwa “antargolongan” di pasal tersebut mengacu pada sejarah pembagian masyarakat pada zaman hindia belanda yaitu golongan Timur Asing, Eropa dan Pribumi. Ketiga, merevisi UU ITE dengan memberikan definisi yang jelas, rigit dan konkret frasa “antargolongan” dibagian umum sehingga tidak terjadi penafsiran yang meluas di dalam rumusan pidana pasal 28 Jo pasal 45 UU ITE.
Penafsiran antargolongn di UU ITE