Menyoal RUU Cipta Kerja

ITMAAMUL WAFAA SAMUDRA
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
25 Oktober 2020 13:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ITMAAMUL WAFAA SAMUDRA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
hukum dan rasa keadilan
zoom-in-whitePerbesar
hukum dan rasa keadilan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Melalui sidang paripurna tertanggal 5 oktober 2020 telah mengesahkan RUU Cipta Kerja yang menimbulkan protes publik dan berujung pada aksi demo disejumlah daerah, hal ini menunjukan bahwa publik tidak sepakat dengan disahkannya RUU Cipta kerja seharusnya menjadi sinyal bagi negara kebijakan yang diambil melalui UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kemunculan RUU Cipta kerja merupakan inisiatif presiden selaku kepala pemerintahan yang memandang RUU Cipta kerja harus diterbitkan untuk menjawab berbagai persoalan aturan hukum yang berbelit dan tumpang tindih. Persoalan krusial yang suarakan publik adalah minimnya partisipasi dalam proses legislasi karena dianggap menciderai prinsip-prinsip demokrasi. Mengutip dari buku karangan Prof. Mahfud MD yang berjudul politik hukum di Indonesia dijelaskan bahwa produk hukum yang terlahir dari konfigurasi politik demokratis bersifat responsif/populistik yakni dalam proses pembentukan suatu aturan perundang-undangan justru membuka pintu partisipasi publik selebar-lebarnya, sehingga mampu mengakomodir seluruh aspirasi kelompok sosial maupun individu di dalam masyarakat, sebaliknya produk hukum yang terlahir dari konfigurasi politik otoriter bersifat konservatif/elitis yakni dalam pembuatanya peran dan partisipasi kelompok sosial maupun individu di dalam masyarakat sangat kecil maka bisa dipastikan produk yang terlahir berkarakter elitis atau lebih mengutamakan kepentingan penguasa. Dengan disahkannya omnibus law Cipta Kerja ini penulis ingin melihat arah politik hukum Indonesia apakah masih memegang prinsip-prinsip demokrasi atau malah sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Proses legislasi Omnibus Law
Era reformasi lahir setelah tumbangnya masa orde baru tahun 1998, penulis melihat bahwa Indonesia berupaya keras melakukan lompatan radikal untuk keluar dari orde baru menuju reformasi dengan menciptakan sistem demokrasi yang lebih baik. Salah satunya dengan melakukan pemilihan langsung kepada sejumlah lembaga negara misalnya pemilihan presiden dan DPR. Presiden dipilih melalui mekanisme pemilihan umum yang bersifat LUBERJURDIL (langsung, umum, jujur, bebas dan rahasia), sistem demokrasi menuntut partisi publik seluas-luasnya untuk menentukan orang terbaik yang bisa membawa kepentingan rakyat seperti yang diamanatkan UUD 1945, seperti halnya DPR merupakan lembaga negara yang dihasilkan dari sistem demokrasi melalui mekanisme pemilihan langsung untuk mencetak orang terbaik yang dipilih untuk duduk di parlemen mewakili aspirasi dan kepentingan masyarakat dengan mengeluarkan peraturan undang-undang yang baik. Fungsi DPR salah satunya adalah fungsi legislasi, fungsi legislasi ini merupakan proses yang sangat krusial karena membuat kebijakan untuk seluruh rakyat Indonesia. DPR dan Presiden sama-sama terlahir dari rahim demokrasi untuk saling berkolaborasi untuk menciptakan kebijakan yang baik dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Agar terlahir sebuah kebijakan politik hukum Indonesia yang baik dan bisa mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat maka diperlukan sebuah aturan yang menunjukan proses demokratis. Proses legislasi di Indonesia sudah memiliki aturan main yang tertuang melalui UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU tersebut mencakup banyak ketentuan untuk melahirkan undang-undang yang pro-rakyat dengan melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya. Namun dalam tataran praktek seringkali proses legislasi jauh dari harapan publik malah justru menimbulkan polemik dan kontroversi misalnya UU KPK dan UU MK yang baru-baru ini disahkan oleh DPR.
ADVERTISEMENT
Kontroversi pengesahan omnibus law atau sering dikenal sebagai undang-undang sapu jagad memicu demo besar-besaran, hal ini menunjukan adanya kecurigaan publik dalam proses legislasi yang minim partisipasi dan terkesan kejar setoran untuk segera disahkan, dimana dalam tataran internasional seluruh negara yang terdampak covid-19 konsentrasi memecahkan masalah pandemi, berbeda dengan Indonesia justru mengesahkan RUU omnibus law yang mana RUU tersebut belum mengakomodir seluruh aspirasi masyarakat yang terdampak bila diberlakukan undang-undang tersebut.
Omnibus law merupakan model baru dalam perumusan peraturan perundang-undangan dengan mereduksi beberapa undang-undang, model tersebut tidak dikenal dalam kaidah UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, lazimnya pembentukan undang-undang di Indonesia dengan metode perubahan atau pencabutan suatu undang-undang yang diusulkan ke parlemen, sedangkan omnibus law ini menggunakan metode ganda yaitu merubah sekaligus mencabut beberapa undang-undang hanya dengan satu kali usulan ke parlmen.
ADVERTISEMENT
Politik Hukum pemerintah dan DPR selaku pembuat kebijakan tentunya menginginkan terobosan dibidang regulasi dan implementasi hukum dalam melakukan tatanan kenormalan baru bagi masyarakat untuk menghadapi tantangan global, namun pemangku kebijakan tidak boleh mengabaikan cita hukum (Idee Des Rect) dari sebuah aturan hukum seperti yang dikemukanan oleh Gustav Radbruch bahwa tiga unsur harus ada pada sebuah aturan hukum yaitu kepastian hukum (rechtssicherkeit), keadilan (gerechtigkeit) dan kemanfaatan (zweckmasigkeit). Dalam konteks UU Cipta kerja ini pemerintah dan DPR mengabaikan dua unsur penting yaitu keadilan dan kemanfaatan masyarakat dimasa mendatang bila diberlakukannya UU Cipta kerja. Selain itu, pembuat kebijakan tidak memegang prinsip-prinsip demokrasi untuk menciptakan pemerintahan yang baik (Good Governance) dengan lahirnya undang-undang yang bersifat populistik Pembuat kebijakan mengklaim bahwa kewajibannya menegakkan prinsip-prinsip demokrasi seperti transparansi dan partisipasi yang mengarah kepada Good Governance sudah dilakukan, akan tetapi pada faktanya keberatan publik disejumlah daerah terus bermunculan sehingga klaim tersebut masih perlu dipertanyakan.
ADVERTISEMENT
Politik Hukum didalam UU No. 12 tahun 2011
Penulis berpendapat bahwa politik hukum Indonesia saat ini menampilakan wajah yang menyebalkan dengan disahkannya RUU Cipta kerja ditegah wabah covid-19, keberatan publik bukan tanpa dasar, undang-undang No. 12 tahun 2011 mencerminkan konsep politik hukum yang demokratis partisipatif dalam membuat sebuah aturan hukum guna terciptanya tertib sosial, pentingnya posisi publik dalam proses legislasi tertuang pada BAB XI tentang Partisipasi Masyarakat dalam pembentukan perundang-undangan pasal 96 ayat (1) tertulis bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mekanisme masukan masyarakat yang dimaksud pasal 1 kemudian didetailkan di ayat (2) yaitu melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, dan/atau seminar, loka karya, dan/atau diskusi. Penolakan keras masyarakat kepada UU cipta kerja karena legislator mengabaikan peran partisipasi masyarakat selaku stakeholder utama. Oleh sebab itu, penulis memberikan solusi bahwa ada mekanisme konstitusional yang bisa ditempuh untuk melakukan keberatan yaitu dengan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi atau melalui Perppu yang diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang". dalam konteks ini presiden sebagai pemilik kewenangan diberikan diskresi penuh untuk menafsirkan kegentingan yang memaksa berdasarkan keyakinannya. Penolakan publik atas disahkannya RUU Cipta Kerja harus menjadi perhatian utama presiden, karena kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat, kepentingan politik presiden harus mencerminkan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Diakhir penulisan ini penulis memberikan solusi bahwa dengan melihat arus deras keberatan publik atas omnibus law Cipta Kerja harus direspon secara cepat oleh pemerintah untuk mengeluarkan executive review melalui perppu penundaan omnibus law cipta kerja sebelum terjadi pembangkangan sipil (Civil Disobedience) yang lebih luas, setelah presidan mengeluarkan perppu penundaan atas omnibus law bisa dilanjutkan kembali proses pembahasan substansi yang lebih dalam dan melibatkan partisi publik seluas-luasnya, sekaligus pemerintah beserta DPR melakukan evaluasi terhadap undang-undang yang sudah dan akan dikeluarkan lebih mengedepankan politik hukum yang berifat rensponsif/populistik bukan konservatif/elitis karena itu menjadi konsekuensi logis dari sistem demokrasi yang kita jalani.