Negara dan Kedaulatan

ITMAAMUL WAFAA SAMUDRA
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
5 Maret 2021 7:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ITMAAMUL WAFAA SAMUDRA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Negara dan Kedaulatan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Negara menjadi subjek hukum internasional mempunyai unsur yang tidak dimiliki oleh subjek hukum internasional lainnya yaitu kedaulatan. Kedaulatan mengandung arti bahwa negara mempunyai hak kekuasaan penuh untuk melaksanakan hak teritorialnya dalam batas wilayah teritorinya (Syahrin M.A, 2018: 48-57). Konvensi Montevideo memberikan kualifikasi negara yang berdaulat, unsur-unsur tersebut terdiri dari populasi yang permanen (permanent population), wilayah territorial (defined territory) dan pemerintah yang berdaulat (sovereign government). Prinsip non-intervensi sendiri merupakan suatu kewajiban bagi setiap negara berdaulat untuk tidak campur tangan dalam urusan negara lain. Prinsip ini dijalankan karena suatu negara memiliki kedaulatan penuh yang didasari oleh paham kemerdekaan dan persamaan derajat sesama negara, artinya bahwa negara berdaulat bebas dari negara lainnya dan juga sama derajatnya dengan yang lain (Rahmanto T.Y, 2017: 145-159). Pada perkembangannya komunitas Internasional gagal dalam melindungi populasi, sehingga masyarakat Internasional bersepakat untuk memerangi kejahatan kemanusiaan. Komitmen bersama antar masyarakat Internasional memunculkan prinsip yang disebut Responsibility to protect.
ADVERTISEMENT
Mengutip catatan putri L.H bahwa Responsibility to protect tidak terlepas dari tragedi kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1990-an. Di Kamboja, lebih kurang dua juta orang dibunuh di bawah rezim pemerintahan Khmer Merah (Red Khmer) pimpinan Polpot. Demikian pula dengan pembunuhan massal di Bosnia (1992-1995), Somalia (1993), Rwanda (1994), Congo (1998) dan Kosovo (1999). Keadaan ini menjadi bukti bahwa masyarakat internasional telah gagal mencegah terjadinya pemusnahan massal.
Nugraha L.G mengungkapkan yakni Responsibility to Protect adalah suatu norma. Dikatakan sebagai suatu norma karena Responsibility to Protect merupakan suatu pedoman, parameter atau patokan yang mengikat untuk berperilaku atau bersikap dalam kehidupan bermasyarakat sehingga dapat mencegah terjadinya pertentangan antar kepentingan atau gangguan-gangguan terhadap kepentingan dan keamanan manusia sehingga tercipta keharmonisan dan keteraturan.
ADVERTISEMENT
Ayunda M menuliskan bahwa dalam usaha untuk mencegah kejahatan kemanusiaan, responsibility to protect juga memiliki tanggung jawab yang menjadi landasan utama, yaitu responsibility to prevent, respondibility to react, dan responsibility to rebuild.
Malcom Shown menyebutkan prinsip tersebut tentunya menghilangkan prinsip state sovereignty, sebuah prinsip yang menentang adanya intervensi dari luar atas nama penghormatan kedaulatan suatu negara untuk menentukan nasibnya sendiri (self-determination). Komisi Hukum Internaional sudah menegaskan bahwa suatu negara harus menyediakan kesejahteraan dan perkembangannya bebas dari dominasi negara lain.
Penulis melihat masyarakat internasional dalam menanggapi norma Responsibility to protect terjadi pembelahan menjadi dua kelompok, yang menentang prinsip tersebut memiliki dasar kuat melalui ketentuan pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa “The organization is based on the principle of the sovereign equality of all its members” kelompok ini menilai bahwa persamaan dan kedaulatan menjadi hal yang tidak bisa diganggu gugat karena dianggap sebagai penyimpangan dalam hukum internasional bila terjadi intervensi negara lain di wilayah teritorinya, sedangkan yang mendukung prinsip tersebut menggunakan pasal 2 ayat 4 menyatakan bahwa “All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations”, mereka berdalil bahwa pasal di atas bukanlah larangan absolut akan tetapi sebuah batasan intervensi yang tidak melanggar seluruh ketentuan dalam wilayah teritorinya.
ADVERTISEMENT
Hal ini menunjukkan adanya pertentangan pasal yang ada dalam piagam PBB antara prinsip responsibility to protect dan prinsip state sovereignty, tentunya menjadi perdebatan serius di kalangan masyarakat internasional.
Prinsip Kedaulatan Negara melawan Responsibility to Protect
Mengutip catatan usman dalam jurnal Ad-daulah menuturkan bahwa Aristoteles mengartikan negara yaitu suatu kekuasaan masyarakat yang bertujuan untuk mencapai kebaikan tertinggi bagi umat manusia, kemudian Marsilius mengartikan negara sebagai suatu badan atau organisme yang mempunyai dasar-dasar hidup dan mempunyai tujuan tertinggi yaitu menyelenggarakan dan mempertahankan perdamaian, menurut ibnu khaldun negara adalah masyarakat yang mempunyai wazi (Kewibawaan) dan mulk (kekuasaan), sedangkan Al-Mawardi mengemukakan bahwa negara adalah sebuah lembaga politik sebagai pengganti fungsi kenabian guna melaksanakan urusan agama dan mengatur urusan dunia. Logemen berpendapat bahwa negara adalah suatu organisasi kemasyarakatan yang bertujuan dan dengan kekuasaannya mengatur dan mengurus suatu masyarakat tertentu, Mac Ivar merumuskan negara sebagai suatu asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah yang berdasarkan pada sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah dengan maksud memberikan kekuasaan yang memaksa, H.j Laski mengatakan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena memiliki wewenang yang bersifat memaksa dan secara sah lebih agung dariada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu.
ADVERTISEMENT
Melihat beragamnya pengertian dari negara penulis menyimpulkan bahwa negara merupakan organisasi masyarakat yang memiliki instrumen-instrumen yang secara sah untuk menegakan dan melanggengkan kekuasaannya pada wilayah kedaulatanya, sehingga negara memiliki kekuatan dan posisi yang tinggi dibandingkan individu atau kelompok masyarakat yang berada di dalam sebuah negara.
Adamson F dan Tsourapas G memaparkan berdasarkan fungsi negara bisa dilihat dari pendapat adamson mengutip dari torpay bahwa fungsi utama Negara yang berdaulat adalah managemen populasi. Negara modern tidak hanya memonopoli alat-alat untuk mendapatkan legitimasi tetapi juga alat-alat penggerak yang sah, sehingga negara yang berdaulat berkepentingan untuk menjaga dan mengendalikan batas negara sebagai aspek kedaulatan domestik.
Negara dalam hukum internasional memiliki legal personality atau legal capacity untuk bergerak di lingkup internasional dan diakui oleh negara-negara lain, namun negara dalam hukum internasional memiliki kriteria yang sudah disepakati oleh masyarakat internasional, sehingga bisa dikatakan negara yang memiliki legal personality atau legal capacity dalam bertindak melampaui wilayah territorialnya membutuhkan kriteria yang dibutuhkan Berdasarkan pasal 1 Montevideo Convention on Rights and Duties of States, 1933 bahwa negara memiliki kualifikasi sebagai berikut, adanya populasi yang permanen, wilayah yang ditentukan, pemerintah, kapasitas untuk menjalin hubungan dengan orang lain. The Arbitration Commission of the European Conference on Yugoslavia, Opinion I, menyatakan bahwa negara umumnya didefinisikan sebagai komunitas yang terdiri dari wilayah dan populasi yang tunduk pada otoritas politik yang terorganisir ditandai dengan adanya kedaulatan (Malcom N Shaw, 2008: 197-198).
ADVERTISEMENT
Melihat Konvensi Montevideo maupun Konferensi Yugoslavia penulis menyimpulkan bahwa negara sebagai entitas Internasional dengan kapasitasnya didunia Internasional dibuktikan dengan adanya wilayah yang dikuasai dan populasi permanen sehingga memunculkan satu konsep yaitu kedaulatan.
Mengutip Sigid Riyanto dalam jurnal Yustisia menerangkan bahwa ajaran filosofis yang paling mengesankan tentang kedaulatan adalah bahwa, kedaulatan merupakan kekuasaan absolute atas suatu wilayah tertentu. Kekuasaan absolute atas wilayah tersebut menjadi dasar bagi pembentukan negara. Pemahaman tentang konsep kedaulatan negara ini sangat membantu dalam mencermati dan mengevaluasi kedudukan negara dalam konteks hubungan internasional yang sangat dinamis. Konsep tentang kedaulatan adalah suatu hal yang berkaitan dengan hubungan antara kekuasaan politik dan bentuk-bentuk otoritas lainnya. Kedaulatan dapat dipahami dengan mencermati bahwa; pertama, kekuasaan politik adalah berbeda dengan kerangka organisasi atau otoritas lain di dalam masyarakat seperti religius, kekeluargaan dan ekonomi; kedua, kedaulatan menegaskan bahwa otoritas publik semacam ini bersifat otonom dan sangat luas (autonomous and preeminent) sehingga lebih tinggi (superior) dari institusi yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan dan independen atau bebas dari pihak luar. Adanya berbagai variasi tentang makna dan penggunaan konsep kedaulatan negara, tidak mengurangi arti penting konsep ini dalam sistem hukum internasional dan teori hubungan internasional. Kedaulatan merupakan salah satu konsep mendasar dalam hukum internasional (one of the fundamental concepts in international law). Dalam kerangka hubungan antar negara, kedaulatan juga merujuk pada pengertian kemerdekaan (independence) dan vice versa. Suatu negara merdeka adalah negara yang berdaulat. Negara yang berdaulat adalah negara merdeka dan tidak berada di bawah kekuasaan negara lain.
ADVERTISEMENT
Negara yang memiliki kedaulatan dan berdaulat merupakan negara yang tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun dalam kerangka hukum internasional karena negara yang berdaulat memiliki kedudukan yang sama (equality) dengan negara yang berdaulat lainnya, seperti yang tertuang dalam UN Charter Article 2 “The Organization and its Members, in pursuit of the Purposes stated in Article 1, shall act in accordance with the following Principles. The Organization is based on the principle of the sovereign equality of all its Members.” Dalam pasal tersebut prinsip utama bagi setiap negara yang berdaulat harus menghormati kesamaan derajat dalam hukum internasional, sehingga muncul teori non-intervensi.
Billy Esratian mencatat bahwa prinsip non-intervensi telah menjadi inti hubungan internasional selama lebih dari beberapa dekade. Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai organiasi internasional yang memiliki karakter universal, telah mengakui non-intervensi sebagai salah satu priniso inti di bawah piagamnya dengan menegaskan pentingnya negara dalam menahan diri dari setipa ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap negara lain. Prinsip non-intervensi memberi negara keleluasaan mutlak dalam mengatur wilayahnya sendiri tanpa ada kesempatan untuk diganggu oleh negara lain. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah berhasil mengadopsi resolusi yang mengakui prinnsip non-intervensi. Hal ini tercermin dalam resolusi-resolusinya seperti Resolusi 2131 (XX) tanggal 21 Desember 1965 dan Resolusi 2625 (XXV) 24 Oktober 1970.
ADVERTISEMENT
Resolusi 2131 (XX) membuahkan hasil larangan adanya intervensi dari negara manapun, “General Assembly resolution 2131 (XX) entitled Declaration on the Inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of States and the Protection of their Independence and Sovereignty was adopted on 21 December 1965, by a vote of 109 votes to none, with one abstention. In the preamble and its opening paragraph, the resolution cites the “gravity of the international situation and the increasing threat to universal peace due to armed intervention and other direct or indirect forms of interference threatening the sovereign personality and the political independence of States.”
Resolusi 2625 (XXV) menghasilkan “Every State has the duty to refrain from the threat or use of force to violate the existing international boundaries of another State or as a means of solving international disputes, including territorial disputes and problems concerning frontiers of States.”
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hasil Resolusi di atas menerangkan dengan sangat jelas bahwa prinsip non-intervensi dijunjung tinggi dalam keadaan apa pun, prinsip ini menjadi pedoman hukum internasional untuk tidak mengintervensi urusan domestik suatu negara. Kebebesan negara dalam mengatur wilayah teritorinya memiliki kewenagan absolute. Tentu hal ini menjadi perhatian bagi komunitas internasional agar tidak bertindak di dalam suatu batas wilayah negara yang berdaulat dan tidak membenarkan terjadinya intervensi di negara yang merdeka.
Namun dalam perkembangannya kedaulatan sudah bergeser, kedaulatan sudah bisa diintervensi oleh masyarakat internasional yang menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan dalil-dalil yang berada dalam piagam PBB dan lahirnya Responsibility to Protect dan Humanitarian Intervention. Fenomena intervensi PBB maupun negara lain melakukan intervensi ke wilayah domestik suatu negara yang merdeka menimbulkan problematika tersendiri. Sehingga perlu dilihat bagaimana prinsip Responsibility to Protect dan Humanitarian Intervention dilegalkan saat melakukan intervensi.
ADVERTISEMENT
Responsibility to protect adalah sebuah norma yang disepakati secara internasional guna melindungi warga negara dari suatu kejahatan. Norma ini tidak serta merta lahir dari rahim perjanjian internasional ataupun kebiasaan internasional, tetapi konsep ini lahir dari sejarah yang bermula pada tahun 1990-an. Pada saat itu, dunia dihebohkan dengan pembunuhan massal yang terjadi di Bosnia, Rwanda dan Kosovo. Salah satunya, pembunuhan terhadap suku Tutsi yang dipimpin oleh Akazu yang merupakan kelompok mayoritas dari suku Hutu di Rwanda. Tercatat peristiwa ini menelan korban sebanyak 850.000 orang. Sayangnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dinilai gagal dalam menindak kejahatan ini. Salah satu alasannya adalah perbedaan persepsi antar negara-negara anggota yang terbagi ke dalam dua kelompok. Salah satu kelompok berpendapat bahwa perlunya sikap intervensi kemanusiaan apabila terjadi pembunuhan massal, sedangkan kelompok lain tetap berpegang teguh terhadap konsep kedaulatan negara.
ADVERTISEMENT
Intervensi kemanusiaan muncul dalam kasus-kasus di mana pemerintah sebuah negara sudah menggunakan kekuatan senjata terhadap rakyatnya sendiri, atau di mana sebuah negara telah kolaps dan hukum tidak berlaku lagi (Wheeler N. J, 2000: 27). Pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dewasa ini sudah berkembang menjadi masalah internasional, tetapi apakah legitimasi menggunakan kekuatan senjata untuk mencegah pelanggaran itu terjadi dibenarkan atau tidak, itu yang menjadi permasalahan. R.J. Vincent mengatakan apabila sebuah negara secara sistematis dan masif melanggar hak asasi manusia, masyarakat internasional mempunyai tugas untuk melakukan intervensi kemanusiaan (R.J Vincent, 1986: 127).
Salah satu hal yang mendasar dalam pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) adalah perlindungan terhadap penduduk sipil. Dalam hukum internasional, melindungi penduduk sipil dalam konflik bersenjata merupakan kewajiban internasional dari setiap negara. Hal tersebut tertuang di dalam sejumlah konvensi internasional dan merupakan hukum kebiasaan internasional. Perlindungan penduduk sipil dalam hukum internasional terdiri dari perlindungan pada masa perang dan damai. Dalam masa perang, terangkum dalam Hukum Humaniter Internasional sedangkan dalam masa damai terdapat dalam Hukum Hak Asasi Manusia. Perlindungan terhadap penduduk sipil dalam hukum humaniter internasional terdapat dalam Konvensi Jenewa ke IV tahun 1949 dan dalam Protokol Tambahan tahun 1977. Instrumen perlindungan hak asasi manusia sesungguhnya telah diproklamirkan oleh beberapa negara jauh sebelum Franklin Delano Roosevelt mengumumkan pengakuan empat jenis kebebasan di tahun 1941, yaitu kebebasan mengutarakan pendapat (freedom of speech), kebebasan memeluk dan melaksanakan ajaran agama (freedom of religion), kebebasan dari penindasan (freedom from want) dan kebebasan dari rasa takut (freedom from fear). Empat hal tersebut yang kemudian menginspirasi terbentuknya Universal Declaration of Humans Rights pada tahun 1948, Perkembangan selanjutnya ditandai dengan lahirnya dua dokumen HAM internasional yaitu International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) (Nugraha L.G, 2000: 35).
ADVERTISEMENT
Humanitarioan Intervention menurut Verwey Bahwa “the threat or use of force by a state or states abroad, for the sole purpose of preventing or putting a halt to a serious violation of fundamental human rights, in particular the right to life of persons, regardless of their nationality, such protection taking place neither upon authorization by relevant organs of the United Nations nor with the permission by the legitimate government of the target state”. Holzgrefe berpendapat bahwa humanitarian intervention adalah “the threat or use of force across state borders by a state (or group of states) aimed at preventing or ending widespread and grave violations of the fundamental human rights of individuals other than its own citizens, without the permission of the state within whose territory force is applied”. Kofi Abiew mengatakan bahwa “Humanitarian intervention refers primarily to forcible means employed by a state, group of states, an international or regional organization, or humanitarian agencies with the aim (or at least one of its principal aims) of ending egregious human rights violations perpetrated by governments, or preventing or alleviating human suffering in situations of internal conflicts”. Dan yang terakhir dikemukakan oleh Andreas Krieg dalam bukunya memberikan contoh kasus di Nikaragua berkaitan dengan Humanitarian Intervention bahwa “a prohibited intervention must be one bearing on matters in which each State is permitted, by the principle of State sovereignty, to decide freely (for example the choice of a political, economic, social and cultural system, and formulation of foreign policy)” (Andreas Krieg, 2016: 68).
ADVERTISEMENT
Catatan Bebeb AK Djundjunan dan Rizal Wikara dimajalah opini bahwa prinsip Responsibility to Protect muncul sebagai reaksi atas realitas internasional yang terjadi berkaitan dengan pelanggaran berat HAM (Gross Violation of Human Right) yang semakin sering terjadi. Konsep ini berkembang sebagai respon atas kegagalan Humanitarian Intervention dalam menyelesaikan berbagai konflik kemanusiaan dan ketidak mampuannya untuk menggalang dukungan internasional. Hal ini antara lain disebabkan karena pelaksanaan 'humanitarian intervention' selalu diwarnai konflik kepentingan dari negara-negara tertentu sehingga sering kali dilakukan tanpa mandat dan legalitas yang jelas. Akibatnya, intervensi dipandang sebagai ilegal dan menjadi bukti arogansi kekuatan negara-negara besar yang menginjak kedaulatan negara-negara lemah (Thomas M Frank, 2003: 204-231).
Rahayu menuturkan bahwa terdapat kesamaan antara 'R to P' dengan 'humanitarian intervention', yaitu dalam hal memandang kedaulatan bukan sebagai sesuatu yang absolut, karena kedua doktrin tersebut membenarkan campur tangan asing bila suatu negara dianggap tidak mampu atau gagal menghentikan pelanggaran berat HAM. Bedanya, 'humanitarian intervention' lebih dianggap sebagai 'hak' negara-negara untuk bertindak secara 'koersif' terhadap negara lain untuk menghentikan kekejaman massal, sedangkan 'R to P' lebih merujuk pada tanggung jawab semua negara untuk melindungi rakyatnya sendiri, serta tanggung jawab masyarakat internasional untuk membantu negara-negara mewujudkan hal tersebut. Bila suatu negara gagal melindungi rakyatnya, maka sejumlah cara, baik itu politik, ekonomi maupun diplomatik akan digunakan untuk membantu negara tersebut. Hal ini dilakukan dengan menggunakan banyak cara termasuk capacity building, mediasi dan penerapan sanksi. Intervensi militer hanya mungkin digunakan sebagai upaya terakhir (last resort) untuk menghentikan kekejaman massal yang dilakukan secara multilateral dengan persetujuan Dewan Keamanan.
ADVERTISEMENT
Secara umum dapat dipahami bahwa 'R to P' adalah suatu norma atau prinsip yang didasarkan pada pemahaman bahwa kedaulatan bukanlah suatu hak (privilege) tapi merupakan suatu tanggung jawab (responsibility), atau dengan kata lain 'souvereignty as responsibility'. Hal ini berarti bahwa 'R to P' lebih mengutamakan kewajiban negara, baik secara nasional maupun sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam melindungi setiap individu yang berada di bawah kekuasaannya. Dengan demikian maka suatu pemerintah nasional yang berkedaulatan setidaknya mengemban 3 (tiga) tanggung jawab utama, yaitu:
a. Bertanggung jawab melaksanakan fungsi perlindungan terhadap keselamatan dan kehidupan warga negaranya, serta menjamin kesejahteraan mereka.
b. Bertanggung jawab terhadap warga negaranya dan masyarakat internasional melalui keanggotaannya di PBB.
ADVERTISEMENT
c. Pelaksana pemerintahan bertanggung jawab atas tindakan dan kebijakan yang diambilnya.
Dari pemaparan diatas penulis melihat kerangka Humanitarian Intervention dan responsibility to protect merupakan doktrin yang muncul akibat kegagalan PBB dalam menanggulangi kejahatan kemanusiaan yang berupa pembunuhan masal yang dilakukan oleh suatu negara, sehingga mendorong masyarakat internasional turut serta dalam mengatasi hal tersebut, namun itervensi tersebut tidak bertujuan untuk permaslahan prinsip yang berada diranah domestik seperti sosial, politik dan ekonomi. PBB selaku dewan keamaan memberikan bisa memberikan kuasa kepada masyarakat internasional untuk melangsukan intervensi menggunakan kekuatan militer sebagai jalan terakhir.
Negara dan Kedaulatan
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulannya bahwa Humanitarian Intervention dan Responsibility to Protect merupakan prinsip yang mengesampingkan prinsip kedaulatan atau non-intervensi hanya bila terjadi pelanggaran HAM, intervensi bisa dilakukan bila mendapatkan persetujuan oleh dewan keamaan PBB yang memiliki otoritas sebagai pimpinan perserikatan bangsa-bangsa. Oleh sebab itu, menurut penulis kedaulatan sudah tidak lagi sebagai kekuasaan absolute di sebuah negara, karena kedaulatan merupakan tanggung jawab bukanlah hak dari suatu negara, maka dari itu melindungi segenap rakyat yang berada di suatu negara yang berdaulat merupakan sebuah tanggung jawab yang harus dilakukan.
ADVERTISEMENT
Saran yang bisa diberikan bahwa PBB selaku dewan keamaan harus bisa memberikan batasan yang jelas pada intervensi yang dilakukan oleh mesyarakat internasional bukan hanya berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, melainkan di era Globalisasi saat ini kemungkinan terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia sudah berkembang begitu cepat, pelanggaran secara terstruktur di dunia bisnis, perdagangan manusia, narkotika, cyber, dan lain sebagainya, dan memberikan jaminan bahwa intervensi yang dilakukan tidak menimbulkan konflik kepentingan dalam tujuan menindas negara yang lemah pada saat keadaan dalam negeri tidak stabil.